DASAR-DASAR PENGETAHUAN MRI
1. Konsep Dasar Inti Atom Hidrogen
Pada dasarnya setiap materi dengan jumlah proton dan netron ganjil
akan mempunyai nilai momen magnetik yang dikenal dengan MR nuklei
sedangkan inti yang mempunyai jumlah proton dan netron genap akan mempunyai
momen magnetik yang bernilai nol. Atom hidrogen terdapat dalam tubuh
dalam jumlah yang melimpah, kurang lebih 80% penyusun tubuh manusia adalah atom
hidrogen. Setiap atom hidrogen mempunyai satu inti bermuatan tunggal yang mempunyai
nilai magnetisasi. Oleh karena itu maka inti atom hidrogen mempunyai peranan
yang sangat besar pada MRI (Westbrook dan kuat, 1999).
2. Presesi dan Frekuensi Larmor Jaringan
Di dalam medan magnet eksternal inti atom akan mengalami gerakan perputaran
menyerupai gerakan sebuah gasing. Gasing berputar di atas sumbu bidang vertikal
yang bergerak membuat bentuk seperti sebuah kerucut. Gerakan ini disebut dengan
presesi. Frekuensi presesi ini besarnya sebanding dengan kekuatan medan magnet
eksternal dan nilai gyromagnetic inti atom. Apabila atom dengan frekuensi
gyromagnetic yang berbeda berada dalam suatu medan magnet eksternal yang sama
maka masing-masing atom mempunyai frekuensi presesi yang
berbeda. Sebaliknya walaupun atomnya sama (misalnya atom hidrogen),
namun bila diletakkan dalam medan magnet eksternal dengan kekuatan yang
berbeda maka akan menghasilkan frekuensi presesi yang berbeda pula. Inti
atom hidrogen mempunyai frekuensi presesi 42,6 MHz/ Tesla. Frekuensi presesi
ini disebut juga dengan frekuensi Larmor jaringan.
Tiap-tiap inti hidrogen membentuk NMV spin pada sumbu atau porosnya.
Pengaruh dari Bo akan menghasilkan spin sekunder atau ”gerakan” NMV
mengelilingi Bo. Spin sekunder ini disebut precession, dan menyebabkan
momen magnetik bergerak secara sirkuler mengelilingi Bo. Jalur sirkulasi
pergerakan itu disebut ”precessional path” dan kecepatan gerakan
NMV mengelilingi Bo disebut ”frekuensi presesi” . Satuan frekuensinya MHz,
dimana 1 Hz = 1 putaran per detik.
Kecepatan atau frekuensi presesi proton atom hidrogen tergantung pada kuat
medan magnet yang diberikan pada jaringan. Semakin kuat medan semakin cepat
presesi proton dan frekuensi presesi yang tergantung pada kuat medan magnet
disebut dengan frekuensi Larmor yang mengikuti persamaan :
ω = γ B
dimana:
ω adalah frekuensi Larmor proton,
γ adalah properti
inti gyromagnetik, dan
B adalah medan magnet eksternal (Westbrook,C,
dan Kaut,C, 1999).
Gambar 5
: Presesi (Westbrook,C, dan Kaut,C, 1999).
1.
Resonansi
Resonansi adalah peristiwa bergetarnya suatu materi
akibat getaran materi lain yang mempunyai frekuensi yang sama. Dalam MRI
resonansi merupakan peristiwa perpindahan energi dari pulsa RF ke proton
hidrogen karena kesamaan frekuensi. Karena adanya penyerapan energi dari RF
inilah pada dasarnya yang mengakibatkan terjadinya magnetisasi transversal
sehingga magnetisasi yang diakibatkan oleh pembangkit magnet eksternal dapat
diukur berupa pulsa signal MRI. Signal MRI dikenal dengan FID (free
induction decay).
Resonansi terjadi bila atom hidrogen dikenai pulsa
radiofrekuensi (RF) yang memiliki frekuensi yang sama dengan frekuensi Larmor
atom hidrogen tersebut. Normalnya tubuh manusia mempunyai muatan magnet yang
arahnya acak sehingga Net Magnetization Vektor (NMV) nilainya nol,
Apabila tubuh manusia dimasukkan dalam medan magnet eksternal yang sangat kuat
sebagaimana pada pemeriksaan MRI, maka akan terjadi magnetisasi longitudinal
pada inti-inti atom hidrogen. Magnetisasi longitudinal ini sangat kecil bila
dibandingkan dengan kuat medan magnet eksternal dari pesawat MRI dan oleh
karenanya belum dapat diukur. Untuk dapat mengetahui besarnya magnetisasi
inti-inti atom Hidrogen maka inti-inti atom Hidrogen harus mempunyai
magnetisasi yang arahnya berbeda dengan medan magnet eksternal. Resonansi pulsa
RF mengakibatkan terjadinya magnetisasi transversal yang secara vektor
mempunyai arah berbeda dengan medan magnet eksternal sehinga memungkinkan
dilakukannya pengukuran NMV.
Untuk dapat terjadi proses resonansi maka besarnya
frekuensi RF harus disesuaikan dengan kekuatan medan magnet eksternal dan
frekuensi Larmor jaringan. Agar resonansi terjadi pada atom hidrogen pada medan
magnet eksternal dengan kekuatan 1 Tesla (10.000 Gauss), maka frekuensi RF yang
diberikan adalah 42.6 MHz sedang untuk medan magnet eksternal dengan kekuatan
1.5 Tesla diperlukan 63.2 MHz. Hasil dari peristiwa resonansi adalah
adanya perubahan arah NMV pada magnetisasi longitudinal ke arah
magnetisasi transversal dan magnetik moment menjadi dalam keadaan in phase.
Peristiwa resonansi ini pada dasarnya adalah suatu transfer energi dari
gelombang RF ke inti atom Hidrogen yang mengalami magnetisasi oleh pembangkit
magnet eksternal.
2.
Signal MRI
Pada saat terjadi magnetisasi transversal maka terjadi
pula keadaan in phase pada bidang transversal sehingga akan
terjadi induksi dari medan magnet terhadap koil penerima yang akan tercatat
sebagai sinyal. Kuat dan lemahnya magnetisasi pada bidang transversal ini akan
berpengaruh pada kekuatan signal MRI dan berpengaruh pada intensitas gelap dan
terang pada citra MRI. Bila signal MRI kuat maka akan memberikan gambaran citra
yang terang atau hiperintens, sedangkan apabila signal MRI lemah akan
memberikan citra MRI gelap atau hipointens.
Bila pulsa RF dihentikan, magnetik moment pada bidang
transversal yang dalam keadaan in phase akan mengalami dephase
kembali sehingga magnetisasi pada bidang transversal akan menurun, akibatnya
induksi pada koil penerima juga akan semakin melemah yang dikenal dengan sinyal
Free Induction Decay (FID).
3.
Fenomena T1 dan T2
Setelah RF diberikan dan terjadi peristiwa resonansi
maka pulsa lalu dihentikan (off) maka NMV kehilangan energi yang dikenal dengan
relaksasi. Ada dua fenomena yang terjadi pada peristiwa relaksasi, yaitu jumlah
magnetisasi pada bidang longitudinal meningkat kembali atau recovery dan
pada saat yang sama jumlah magnetisasi pada bidang transversal akan meluruh
yang dikenal dengan decay.
Recovery magnetisasi
longitudinal disebabkan oleh suatu proses yang disebut dengan T1 recovery,
dan decay pada magnetisasi transversal disebabkan suatu proses yang
disebut dengan T2 decay. T1 recovery
disebabkan oleh karena nuklei memberikan energinya pada lingkungan sekitarnya
atau lattice, sehingga disebut juga dengan Spin-Lattice Relaxation.
Energi yang dibebaskan ke lingkungan sekitar akan menyebabkan magnetisasi
bidang longitudinal akan semakin lama semakin menguat dengan waktu recovery
yang disebut waktu relaksasi T1. T1 didefinisikan sebagai
waktu yang diperlukan suatu jaringan untuk mencapai pemulihan magnetisasi
longitudinal hingga mencapai 63% dari nilai awalnya.
Sebagai contoh adalah lemak dan cairan cerebrospinal.
Lemak memiliki waktu relaksasi T1 yang pendek sekitar 180 ms
sedangkan cairan cerebrospinal memiliki waktu relaksasi T1
cukup panjang berkisar 2000 ms. Sehingga waktu relaksasi T1 lemak
lebih cepat dibandingkan dengan waktu relaksasi cairan cerebrospinal.
Dengan demikian untuk pembobotan T1, jaringan dengan waktu relaksasi
T1 pendek (lemak) akan tampak terang (hiperintens) dan jaringan
dengan waktu relaksasi T1 panjang (cairan cerebrospinal) akan tampak
lebih gelap (hipo-intens).
Relaksasi T2 disebabkan oleh adanya
pertukaran energi antara inti atom hidrogen dengan inti atom di sekitarnya.
Pertukaran energi antar nuklei ini dikenal dengan Spin-Spin Relaxation
dan akan menghasilkan decay pada magnetisasi transversal. Waktu yang
diperlukan suatu jaringan untuk kehilangan energinya hingga 37% dikenal dengan
waktu relaksasi T2 (Snopek, 1992). Waktu relaksasi T2
akan lebih pendek dari pada waktu relaksasi T1. Pada pembobotan T2
dengan waktu relaksasi T2 panjang (seperti cairan cerebrospinal
sekitar 300 ms) akan tampak terang (hiperintens) dan jaringan dengan waktu
relaksasi T2 pendek (seperti lemak sekitar 90 ms) akan tampak lebih
gelap (hipo-intens) .
Komponen Sistem MRI
Komputer pada MRI merupakan otak dan komponen utama
yang digunakan untuk memproses sinyal, menyimpan data dan menampilkan gambar
yang dihasilkan. Selain sistem komputer komponen utama pada pesawat MRI adalah:
pembangkit magnet utama, koil gradien, koil penyelaras (shim’s coils),
antena atau koil pemancar dan penerima, serta sistem akuisisi data dalam
komputer.
1.
Magnet Utama
Untuk keperluan diagnosa klinis diperlukan magnet
utama yang memproduksi kuat medan magnet besar antara 0.1 – 3.0 Tesla
(Bontrager, 2001). Pembangkitan medan magnet untuk MRI menggunakan salah
satu dari beberapa tipe magnet, yaitu magnet permanen, magnet resistif dan
magnet superkonduktor.
2.
Shims Coils
Untuk menjaga kestabilan, keseragaman atau homogenitas
medan magnet utama maka dipasang koil elektromagnetik tambahan yang disebut
dengan shim coil. Inhomogenitas magnet diharapkan tidak melebihi 10 ppm
(Westbrook,C, dan Kaut,C, 1999).
3.
Gradien Coils
Terdapat tiga buah koil gradien yang merupakan
penghasil gradien magnet yaitu gradien x, y dan z masing-masing mengarahkan
medan magnet pada sumbu x, y dan z. Ketiganya dapat dioperasikan sesuai
dengan kebutuhan arah irisan pada tubuh yang diperiksa.
4.
Antena
Koil radiofrekuensi (RF) terdiri dari dua tipe koil
yaitu koil pemancar (transmitter) dan koil penerima (receiver).
Fungsinya lebih mirip sebagai antena. Koil pemancar berfungsi untuk memancarkan
gelombang RF pada inti yang terlokalisir dengan frekuensi tertentu sehingga
terjadi proses resonansi, sedangkan koil penerima berfungsi untuk menerima
sinyal output dari sistem. Bentuk dan ukuran koil penerima ini telah
dirancang disesuaikan dengan bagian tubuh yang akan diperiksa,
misalnya koil untuk kepala, vertebra atau ekstremitas.
Jenisnya ada 3 yaitu koil volume, koil surface dan koil phased array.
Pulsa Sekuen dan Spin Echo
Spin Echo adalah sekuens yang diperoleh dengan
menggunakan aplikasi pulsa RF 90 diikuti dengan aplikasi pulsa RF 180 untuk
rephase agar sinyal dapat dicatat dalam masing masing K-space agar diperoleh
citra MRI. Pulsa sekuens Spin Echo paling banyak digunakan pada pemeriksaan MRI
(Bushong, 1996). Diagram Pulsa sekuens Spin Echo secara sederhana dapat dilihat
pada gambar di bawah ini. Komponen utama dari pulsa sekuens tersebut adalah
Time Repetition (TR) dan Time Echo (TE).
Gambar 6 : Spin
Echo sekuens (Westbrook,C, dan Kaut,C, 1999).
TR adalah waktu pengulangan aplikasi pulsa RF 90
terhadap aplikasi pulsa RF 90 berikutnya, dengan satuan millisecon (ms). TR
akan menentukan waktu relaksasi T1 yang akan terjadi. TR yang
digunakan dalam MRI bisa dipilih oleh radiografer mulai berkisar 200 ms hingga
lebih dari 2000 ms tergantung pada teknik pembobotan yang dipilih. TE adalah waktu antara eksitasi pulsa dengan echo yang terjadi.
Echo dihasilkan dari aplikasi pulsa RF
90 sampai dengan sinyal terkuat dari aplikasi rephase pulsa
RF 180 saat menginduksi koil. Waktu TE dapat diubah
tergantung pembobotan citra yang dikehendaki. Waktu TE berkisar antara 10 ms
hingga lebih dari 80 ms.
Kontras Citra SE
Kontras citra pada MRI dibentuk oleh perbedaan gelap dan terang yang
diakibatkan karena perbedaan kuat signal MRI. Signal MRI yang kuat akan
mengakibatkan bayangan terang atau dikatakan hiperintens, sedangkan signal MRI
yang lemah akan menyebabkan bayangan yang gelap atau hipointens. Suatu daerah
yang diperiksa bisa menjadi hiperintens atau hipointens tergantung pada pembobotan
citra yang dipilih. Secara umum ada tiga pembobotan citra yaitu: T1-Weighted
Image, T2-Weighted Image, dan proton density.
1. Kontras Citra T1 -Weighted Image
Pada pembobotan T1 WI diberikan TR yang cukup pendek sehingga
baik jaringan lemak maupun air tidak cukup waktu untuk dapat kembali recovery
pada nilai magnetisasi awal (B0), dengan demikian terjadi perbedaan
yang cukup besar pada signal MR dari air dan lemak. Pada T1WI
air mempunyai signal yang lemah sehingga memiliki gambaran yang kurang terang,
gelap atau hipointens, sedangkan lemak mempunyai signal yang lebih kuat
sehingga memiliki gambaran yang lebih terang atau hiperintens.
Waktu relaksasi T1 lemak lebih pendek (180 ms) dari pada
waktu relaksasi T1 air (2500 ms), maka recovery lemak akan
lebih cepat dari pada air sehingga komponen magnetisasi lemak pada bidang
longitudinal lebih besar dari pada magnetisasi longitudinal pada air.
Dengan demikian lemak memiliki intensitas
sinyal yang lebih tinggi dan tampak terang pada kontras citra T1.
Sebaliknya air akan tampak dengan intensitas sinyal yang rendah dan tampak
gelap pada kontras citra T1. Citra yang demikian itu (lemak
tampak terang dan air tampak gelap) dalam MRI dikenal dengan T1-Weighted
Image (T1 WI). Jadi untuk menghasilkan kontras citra T1
WI, dipilih parameter waktu TR yang pendek (berkisar antara 300-600 ms) dan
waktu TE yang pendek (berkisar antara 10 -20 ms).
2. Kontras Citra T2-Weighted Image
Pada pembobotan T2WI air mempunyai signal yang lebih kuat sehingga
memiliki gambaran lebih terang atau hiperintens sedangkan lemak
mempunyai signal yang lebih lemah sehingga memiliki gambaran yang lebih kurang
terang, gelap atau hipointens. Hal ini disebabkan pada pembobotan T2
WI diatur TE yang cukup panjang sehingga baik air maupun lemak cukup
waktu untuk mengalami decay dan mengakibatkan terjadinya perbedaan
signal yang cukup besar.
Karena waktu relaksasi T2 lemak
(90 ms) lebih pendek dari pada air
(2500 ms), maka komponen magnetisasi transversal lemak
akan decay lebih cepat dari pada air sehingga akan menghasilkan
intensitas sinyal yang kuat dan akan tampak terang pada kontras citra T2.
Sebaliknya magnetisasi transversal pada lemak lebih kecil dan
menghasilkan citra intensitas rendah dan tampak gelap pada kontras citra T2.
Citra yang demikian itu (lemak tampak gelap dan air tampak terang) dalam MRI
dikenal dengan T2-Weighted Image (T2 WI). Jadi untuk
menghasilkan kontras citra T2 WI, dipilih waktu TR yang panjang (800
ms hingga 2000 ms atau lebih) dan waktu TE yang panjang (lebih dari 80 ms).
3.
Kontras
Citra Proton Density-Weighted Image
Apabila diberikan
TR cukup panjang maka baik air maupun lemak akan sama-sama mempunyai cukup
waktu untuk mengalami recovery menuju magnetisasi longitudinal awal sehingga
menghilangkan gambaran pembobotan T1. Apabila pada saat yang
bersamaan juga diberikan TE yang sangat pendek maka tidak cukup waktu bagi air
maupun lemak untuk terjadinya relaksasi transversal sehingga menghilangkan
gambaran pembobotan T2. Dengan demikian apabila TR panjang dan TE
pendek maka gambaran yang terjadi bukan T1 WI ataupun T2
WI. Gambaran yang terjadi semata mata diakibatkan oleh perbedaan densitas atau
kerapatan proton, yaitu jumlah proton persatuan volume. Suatu area dengan kerapatan
proton yang tinggi akan memberikan gambaran yang terang atau hiperintens
sebaliknya suatu area dengan kerapatan proton yang rendah akan tampak gelap
atau hipointens.
Gambaran Proton
Density-Weighted Image (PDWI) bergantung dari banyak sedikitnya jumlah proton
per unit volume. Kontras citra diperoleh berdasarkan perbedaan banyak
sedikitnya proton pada masing-masing jaringan. Misalnya jaringan otak dengan
proton yang tinggi akan menghasilkan komponen magnetisasi transversal besar dan
tampak terang pada kontras citra PDWI. Sedangkan tulang memiliki proton yang
rendah dan tampak gelap pada kontras citra PDWI. Untuk memilih kontras citra
PDWI, diatur dengan waktu TR yang panjang dan waktu TE yang pendek.
Waktu Scanning
Waktu scanning pada
sekuens Spin Echo dapat dihitung dengan rumus :
Waktu scanning SE
= (TR) x (jumlah tahapan phase encode) x (NEX)
Dimana
:
TR
: Time
Repetition dalam ms.
Jumlah phase encode
: jumlah phase yang digunakan.
NEX
: jumlah eksitasi pulsa.
Misalnya pencitraan dengan TR 550 ms, jumlah phase encode 256,
dan NEX 1 maka waktu scanning adalah 2 menit 35 detik.
Teknik DWI
Difusi adalah istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan pergerakan
molekul secara acak pada jaringan. Gerakan ini dibatasi oleh batas-batas
seperti ligamen, membran dan makromolekul. Kadangkala terjadinya pembatasan
difusi adalah secara langsung tergantung pada struktur
jaringan. Pada stroke yang masih
dini, yaitu segera setelah terjadinya iskemia tapi sebelum terjadinya infark
atau kerusakan permanen pada jaringan otak, sel-sel membengkak dan menyerap air
dari ruang extraseluler. Ketika sel-sel penuh oleh molekul air dan dibatasi
oleh membran, maka difusi yang terjadi akan terbatas dan nilai rata-rata difusi
pada jaringan tersebut akan berkurang.
Imejing dengan sekuen spin echo dapat memperlihatkan struktur dengan
tanda-tanda difusi pada jaringan. Gambaran difusi dapat diperoleh dengan lebih
efektif dengan mengkombinasikan dua pulsa gradien yang diaplikasikan setelah
eksitasi. Pulsa gradien digunakan untuk saling mempengaruhi pada spin-spin yang
tidak bergerak sementara spin-spin yang bergerak pada jaringan normal tidak
dipengaruhi. Ini sebabnya mengapa pada gambaran difusi sinyal yang mengalami
atenuasi terjadi pada jaringan normal dengan pergerakan difusi yang random dan
jaringan normal akan tampak lebih gelap, dan sinyal yang intensitasnya tinggi
terjadi pada jaringan dengan difusinya yang terbatas (restriksi) seperti yang
tejadi pada stroke akut.
Banyaknya atenuasi tergantung pada amplitudo dan arah dari aplikasi gradien
difusi. Pulsa gradient dapat diaplikasikan searah dengan sumbu X, Y, dan Z.
Arah difusi pada sumbu X, Y, dan Z dikombinasikan untuk menghasilkan gambaran
difusi weighted. Ketika gradien difusi hanya diaplikasikan sepanjang sumbu Y,
atau pada arah sumbu X, perubahan sinyal yang terjadi hanya sedikit. Istilah
isotropic difusion dipakai untuk menggambarkan bahwa gradien difusi diaplikasikan
pada ketiga sumbu tersebut. Gradien difusi harus panjang dan kuat untuk dapat
memperoleh citra dengan pembobotan difusi (difusion weighting).
Sensitivitas dan intensitas sinyal difusi dikontrol oleh parameter ’b’. Nilai
’b’ menentukan atenuasi difusi dengan memodifikasi durasi dan amplitudo dari
gradien difusi. Nilai ’b’ dapat dinyatakan dalam satuan s/ mm2.
Rentang ‘b’ value adalah 500 s/mm2 sampai 1000 s/mm2
(Westbrook,C, dan Kaut,C, 1999). ‘b’ value dipengaruhi oleh kekuatan magnet
gradien yang terdapat pada pesawat MRI itu sendiri.
Semakin tinggi ‘b’ value maka intensitas sinyal difusi dan sensitifitas
difusi akan meningkat, intensitas sinyal difusi yang meningkat pada jaringan
otak normal akan tampak lebih gelap pada citra otak yang ditampilkan.
Sensitifitas difusi yang dimaksud disini adalah kemampuan difusi tersebut untuk
mendeteksi adanya difusi yang terbatas pada jaringan otak. Jika terdapat
kelainan stroke maka jaringan otak yang difusinya terbatas akan menghasilkan
intensitas sinyal yang terlihat terang dibandingkan jaringan yang normal (GE
Signa Horizon DW-EPI Operator Manual, 1998).
Untuk pencitraan
difusi jika menggunakan sekuen multi-shot maka perubahan phase akan berbeda
untuk garis-garis yang berbeda pada K-space dan hal ini akan menghasilkan
artefak yang terlihat sepanjang phase direction. Karena alasan ini maka
citra MRI dengan pembobotan difusi pada umumnya diperoleh dengan teknik SE-EPI
yang dilakukan dengan gradien yang kuat. Echo tambahan yang dikenal sebagai
navigator echo dapat dihasilkan dan kemudian digunakan untuk mengkoreksi
artefak selama post processing. Aplikasi klinis pencitraan difusi secara
langsung adalah untuk mendiagnosa stroke. Lesi-lesi iskemik yang masih dini
dapat diperlihatkan dengan pencitraan MRI difusi sebagai daerah dengan difusi
air yang lebih lambat akibat akumulasi cairan atau akibat pengurangan ruang
extra seluler. Pencitraan MR difusi dapat memperlihatkan lesi-lesi iskemik baik
yang irreversible maupun yang reversible, sehingga potensial dapat membedakan
jaringan otak yang masih dapat diperbaiki dengan jaringan yang mengalami
kerusakan irreversible sebelum dilakukan tindakan
therapy.
Gambar 7 : Jaringan dengan cairan yang berdifusi
normal (gambar kiri), dan jaringan yang
difusinya terbatas (gambar kanan)
(Westbrook,C, dan Kaut,C, 1999).
No comments:
Post a Comment