Sunday, 10 March 2013

MRI

PRINSIP DASAR MRI
1. Spin
Spin adalah partikel bermuatan listrik yang berputar pada sumbunya
sehingga menimbulkan arus listrik di sekitar sumbu putarnya. Arus listrik ini
akan menginduksi medan magnet sehingga inti atom memiliki momen
magnetik mikroskopik. Pada unsur yang memiliki nomor atom genap momen
magnetik inti akan saling menghilangkan (mengenolkan). Untuk itu, agar
tetap diperoleh momen magnetik inti maka diperlukan unsur yang memiliki
nomor atom ganjil.
Hidrogen merupakan salah satu unsur dengan nomor atom ganjil yang
banyak digunakan dalam MRI klinik. Hidrogen ini digunakan karena
jumlahnya sangat melimpah di dalam tubuh manusia, dan karena bentuk
proton yang soliter maka dapat memberikan momen magnetik yang relatif
lebih besar dibanding atom unsur lain (Westbrook, 1998).
2. Interaksi Spin dengan Medan Magnet Luar
Apabila tubuh manusia berada pada medan magnet luar yang sangat
kuat (di dalam gantri MRI), maka yang terjadi adalah momen magnetik
masing-masing spin akan bergerak searah dan berlawanan arah terhadap arah
medan magnet luar. Bila materi itu berada pada tingkat energi rendah (suhu kamar)
maka total kuat magnetisasi (Net Magnetisation Vector = NMV)
adalah paralel dengan sumbu Z (sumbu arah medan magnet luar).
Gambar 1. Tubuh manusia (materi yang banyak mengandung spin) ketika
berada di dalam medan magnet utama (Bo). (Bushong, 1996 )
Keterangan gambar : 1. Arah garis medan magnet luar
2. Arah spin yang paralel dengan Bo
3. Arah spin yang anti paralel terhadap Bo
Disamping perubahan orientasi momen magnetik, secara individu spin
juga berputar menyerupai gasing yang disebut gerakan presesi (precession).
Frekuensi presesi dinamakan dengan frekuensi Larmor, dimana besarnya
frekuensi tergantung dari kuat medan magnet luar yang mempengaruhinya.
Untuk atom hidrogen frekuensi Larmor sebesar 42,6 MHz dalam kuat medan
magnet 1 tesla.
B. PROSES PEMBENTUKAN GAMBAR
Citra MRI dibentuk melalui pengolahan sinyal yang keluar dari obyek.
Sebagaimana gambar 1 di atas, sinyal MR (magnetic resonance) tidak mungkin
dapat diukur karena magnetisasi jaringan memiliki arah yang sama dengan medan
magnet luar. Sinyal baru dapat dideteksi apabila NMV diputar hingga bidang
transversal. Berikut ini adalah serangkaian proses pembentukan gambar :
1. Pulsa RF ( Radio Frequency ) dan Fenomena Resonansi
Pulsa RF merupakan gelombang elektromagnetik yang memiliki
frekuensi antara 1 – 80 MHz (Bushong, 1996). Apabila spin ditembak oleh
sejumlah pulsa yang mempunyai frekuensi sama dengan frekuensi Larmor,
maka resonansi akan terjadi. Spin memungkinkan menyerap energi pulsa dan
mengakibatkan sudut presesi semakin besar. Peristiwa tersebut dikenal dengan
Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Pada hidrogen, agar terjadi resonansi
maka frekuensi pulsa yang diaplikasikan harus sebesar frekuensi Larmornya.
Perubahan sudut presesi akibat pemberian pulsa RF tergantung dari
lama dan intensitas pulsa. Pulsa yang mengakibatkan sudut presesi menjadi
90° disebut pulsa 90°, pulsa yang mengakibatkan sudut 180° disebut pulsa
180°, pulsa yang mengakibatkan sudut < 90° disebut pulsa alpha flip.
Peristiwa resonansi mengakibatkan NMV berada pada bidang
transversal. Magnetisasi transversal akan menginduksi koil penerima sehingga
terbentuk sinyal. Sinyal ini disebut sinyal MR (magnetic resonance), dimana
besarnya frekuensi adalah sama dengan frekuensi Larmor (Westbrook, 1998).
2. Waktu Relaksasi Longitudinal ( T1 ) dan Tranversal ( T2 )
Pada waktu eksposi pulsa RF dihentikan, NMV akan bergerak menuju
bidang longitudinal. Masing-masing komponen magnetisasi mengalami
relaksasi secara bebas. Seiring dengan itu, maka nilai magnetisasi
longitudinal (ML) akan muncul kembali dan bertambah besar, tetapi nilai
komponen magnetisasi transversal (MT) semakin berkurang.
Waktu yang dibutuhkan NMV untuk kembalinya 63 % magnetisasi
lonitudinal disebut waktu relaksasi longitudinal atau T1 atau disebut juga
relaksasi spin-kisi. Sementara waktu yang dibutuhkan komponen magnetisasi
tranversal untuk meluruh hingga 37 % dari nilai awalnya disebut waktu
relaksasi tranversal atau T2 atau relaksasi spin-spin (Bushong, 1998).
3. Sinyal FID (Free Induction Decay)
Pada saat mengalami relaksasi, magnetisasi transversal perlahan-lahan
mengalami peluruhan. NMV memancarkan energi dalam bentuk peluruhan
sinyal RF. Eksposi pulsa 90° atau < 90° menghasilkan sinyal yang disebut
peluruhan induksi bebas (FID). Tetapi sinyal FID sulit dicatat, sehingga untuk
mendapatkan sinyal ekho dibutuhkan rephasing dengan pulsa 180° atau
dengan gradien. Sinyal ekho akan ditangkap antena penerima sebagai data
awal proses pembentukan citra.
4. Mekanisme Kekontrasan Gambar
Gambar akan memiliki kontras apabila ada perbedaan intensitas sinyal
yang ditangkap. Sinyal tinggi memberikan gambaran yang terang
(hiperintens) sedangkan sinyal yang rendah menghasilkan warna gelap
(hipointens) dan beberapa tempat ada yang intermediate (isointens). Jaringan
tampak terang jika memiliki komponen magnetisasi transversal yang besar,
sehingga amplitudo sinyal yang diterima koil besar pula. Begitu juga
sebaliknya dengan jaringan yang memiliki komponen magnetisasi transversal
yang kecil (Westbrook,1998)
Gambar 2. Grafik intensitas sinyal terhadap waktu (Sprawl, 1987).
Secara skematis, dengan aplikasi waktu TR dan TE maka kedua jaringan
(A dan B) mengalami pemulihan magnetisasi longitudinal dan peluruhan
magnetisasi transversal sebelum full recovery. Formasi ekho yang dihasilkan
memiliki perbedaan intensitas sehingga menghasilkan kontras gambar (dilihat
pada skala keabuan).
C. GRADIEN EKHO ATAU GRADIENT RECALLED ECHO (GRE)
1. Pengertian
Gradien ekho adalah urutan pulsa yang menggunakan variasi eksitasi
pulsa RF sehingga sudut pergerakan yang dilalui NMV dapat bermacammacam
(tidak hanya 90º). Sinyal FID yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh
ketidakhomogenan medan magnet, oleh karena itu dephasing T2* terjadi.
Selanjutnya, gradien akan melakukan rephasing momen magnetik ini sehingga
menghasilkan sinyal yang disebut gradient echo (Westbrook, 1998).
Gradien ekho dikembangkan pada pertengahan tahun 1980 dengan
tujuan mengurangi waktu pencitraan secara dramatis. Urutan pulsa gradien
ekho dirancang menggunakan pulsa RF eksitasi alpha flip, kemudian diikuti
pembalikan gradien untuk mendapatkan formasi ekho. (Woodward, 1995)
Keterangan gambar :
TR : (repetition time) waktu pengulangan pulsa
TE : (echo time) waktu pengambilan ekho
Mz : Magnetisasi longitudinal
2. Diagram Urutan Pulsa
Diagram urutan pulsa merupakan cara yang dipakai untuk menjelaskan
mekanisme yang terjadi selama proses akuisisi data, yaitu sebagai berikut :
Keterangan gambar :
TR : Waktu pengulangan pulsa
TE : Waktu pengambilan ekho
α : Pulsa alpha flip
RF : Pulsa frekuensi radio
Gz : Gradien slice select
Gy : Gradienphase encoding
Gx : Gradien readout
Gambar 3 . Diagram urutan pulsa gradien ekho (Hashemi, 1997).
a. Penentuan Potongan
Ketika pulsa alpha flip diaplikasikan pada waktu TR, maka saat itu
juga gradien Z aktif untuk menentukan letak irisan. Aktifnya gradien Z
mengakibatkan medan magnet utama (Bo) mengalami perubahan kuat
medan secara linier. Kondisi spin sepanjang sumbu Z akhirnya mengalami
perbedaan frekuensi presesi sesuai kuat magnet yang mempengaruhi.
Selanjutnya, potongan akan dipilih oleh band pulsa RF pada frekuensi
tertentu yang sesuai frekuensi Larmor setiap spin.
b. Frekuensi Enkoding
Frekuensi enkoding dilakukan setelah pemilihan potongan, yaitu
untuk mendapatkan informasi pada piksel tertentu. Dengan mengaktifkan
gradien frekuensi enkoding, maka spin pada potongan tertentu dan kolom
tertentu akan mengalami perbedaan gradien sehingga frekuensi presesi
setiap kolom pada potongan tersebut akan berbeda. Posisi kanan akan
mengalami medan gradien yang lebih besar dibanding posisi sebelah kiri.
c. Fase Enkoding
Gradien ini biasanya diaktifkan sebelum sinyal dibaca (gambar 3)
Untuk menentukan spatial information pada sumbu Y maka dibutuhkan
aplikasi phase encoding gradient. Pada saat gradien fase enkoding (Gy)
diaktifkan maka spin pada potongan tertentu, dan baris tertentu akan
mengalami perbedaan fase (phase shift). Perbedaan fase pada posisi
tertentu disebut dengan phase encoding (Hashemi, 1997).
Proses pembacaan ekho, yaitu setelah aplikasi Gx akan mengakhiri
proses akuisisi data. Spin masing-masing piksel yang mengalami beda fase
dan beda frekuensi setelah dilakukan fase enkoding dan frekuensi enkoding
akan diletakkan pada koordinat sumbu X dan Y matriks gambar.
3. Parameter
a. Parameter waktu (pulse timing parameters)
Parameter waktu terdiri dari TR dan TE. TR adalah interval waktu
antara pengulangan dua pulsa yang sama, sedangkan TE adalah interval
waktu dari saat terakhir eksitasi pulsa RF diberikan sampai terdeteksinya
puncak sinyal ekho gradien. Pada teknik gradien ekho, TR dan FA
mengontrol sejumlah T1 relaksasi yang terjadi sebelum pulsa berikutnya
diaplikasikan. Sementara TE mengontrol T2* sebelum ekho gradien
ditangkap koil. Berbeda dengan T2, T2* adalah peluruhan magnetisasi
transversal yang sangat dipengaruhi oleh medan magnet luar. Nilai T2*
selalu lebih kecil dari pada T2 (Westbrook, 1998).
b. FA ( Flip angle = sudut balik )
FA adalah sudut yang ditempuh NMV pada waktu relaksasi. Nilai
FA akan mempengaruhi kekontrasan gambar, dimana besar kecilnya dapat
dibagi menjadi:
1) Sudut balik kecil ( 5° – 30° )
Sudut balik kecil menghasilkan magnetisasi longitudinal besar
setelah aplikasi pulsa RF sehingga dapat mepersingkat waktu. Sudut
kecil juga menyebabkan magnetisasi transversal bernilai kecil sehingga
komponen steady state kecil pula. Keadaan seperti ini akan mengurangi
pembobotan T2*. Hasil gambar lebih didominasi oleh pembobotan PD
jika TR panjang dan TE pendek. Oleh karena itu untuk memperoleh
pembobotan T2* TR dan TE harus panjang.
2) Sudut balik besar
Sudut balik besar (75°– 90°, menurut Hashemi dan 70°-110°,
menurut Westbrook) akan menghasilkan perbedaan T1 karakteristik dua
jaringan dengan baik. Untuk memperoleh pembobotan T1 maka
perbedaan T1 jaringan harus maksimal dan perbedaan T2 nya harus
minimal. Pemulihan penuh (full recovery) harus dihindari. Hal ini bisa
dilakukan dengan mengatur parameter FA besar, TR dan TE pendek.
3) Sudut balik sedang ( 30° – 60° )
Jika pada pembobotan T1 memerlukan FA yang besar, maka pada
pembobotan T2* diperoleh dengan peningkatan steady state. Oleh
karena itu faktor TR harus dipertimbangkan. Jika TR pendek ( + 10
milidetik) maka NMV tidak cukup untuk melakukan peluruhan
magnetisasi transversal sebelum pulsa berikutnya. Sehingga sisa
magnetisasi transversal berkontribusi terhadap sinyal berikutnya. TR
pendek meningkatkan pembobotan T2*, sedangkan TE yang pendek
akan mengurangi pembobotan T2*.
c. Matriks
Matriks adalah jumlah elemen gambar (piksel) dalam satu FOV
(field of view). Ukuran matriks ditentukan oleh dua sisi gambar, yaitu sisi
yang berhubungan dengan jumlah sampel frekuensi yang diambil, dan sisi
yang berhubungan dengan fase enkoding yang dibentuk. Misalnya matrik
256 x 192, ini berarti bahwa ada 256 sampel frekuensi yang diambil selama
readout dan sebanyak 192 fase enkoding yang dibentuk. Banyaknya sampel
frekuensi dan fase enkoding menentukan banyaknya piksel dalam FOV.
Matriks kasar memiliki sedikit piksel dalam FOV, sedangkan matriks halus
berarti banyak piksel dalam FOV (Westbrook, 1998)
d. NEX (Number of Excitation)
NEX adalah nilai yang menunjukkan jumlah pengulangan
pencatatan data selama akuisisi dengan amplitudo dan fase enkoding yang
16
sama. NEX mengontrol sejumlah data yang masing-masing disimpan dalam
lajur K space. Data tersebut terdiri dari sinyal dan derau (noise). Data
tersebut terdiri dari sinyal dan derau. K space merupakan area frekuensi
spasial dimana sinyal berupa frekuensi yang berasal dari pasien akan
disimpan. (Westbrook, 1998). Sinonim NEX adalah NSA, Nacq = NA
(number of acquisition) atau average.
NEX adalah cara yang umum digunakan dalam meningkatkan SNR
(signal to noise ratio). Peningkatan NEX berati akan menambah sinyal
secara linier tetapi deraunya acak, sehingga menambah NEX sebesar 2 kali
hanya akan menambah SNR sebesar √2 kali, atau SNR = √ NEX
Gambar 4. Grafik peningkatan NEX teradap SNR (Westbrook, 1998)
e. Bandwidth
Bandwidth adalah rentang frekuensi yang digunakan untuk akuisisi
data. Lebar bandwidth ditentukan oleh kekuatan gradien readout dan data
sampling rate yang secara khusus berpengaruh pada sistem MRI.
Bandwidth tidak mempengaruhi kekuatan sinyal, tetapi berhubungan erat
dengan banyaknya derau. Jadi SNR dapat dipengaruhi oleh bandwidth.
Gradien ekho menggunakan parameter utama TR, TE dan FA, serta
menghasilkan gambar dengan pembobotan T1, T2* dan PD. Parameter teknis
yang digunakan adalah sebagaimana terdapat pada tabel 2 di bawah ini :
Tabel 1 . Parameter teknis GRE
Gradien ekho banyak diterapkan pada teknik pemeriksaan yang
memerlukan waktu singkat, misalnya pada teknik single-slice breath hold
acquisition pada abdomen, mediastinum, dan pemeriksaan dinamik.
Penggunaannya di beberapa pemeriksaan menghasilkan pembuluh darah
tampak hiperintense. Keuntungan yang lain adalah sangat tepat untuk akuisisi
tiga dimensi (3D) (Westbrook, 1998).
Pada gradien ekho, sensitivitas yang meningkat akibat pengaruh
suseptibilitas magnetik sehingga aplikasi teknik ini sangat sensitif terhadap
perdarahan (hemorrhage) (Hashemi, 1997).
5. Pengembangan Gradien Ekho
a. Stady State
Steady state adalah keadaan dimana nilai TR lebih pendek dari
waktu T1 maupun T2 jaringan. Oleh karena itu, tidak ada waktu bagi
komponen magnetisasi transversal untuk meluruh sebelum aplikasi pulsa
berikutnya. Ada dua teknik yang termasuk kelompok steady state , yaitu
1) Gradient Recalled Aquisition in the Stady State ( GRASS )
GRASS atau coherent residual transverse magnetization
menghasilkan pembobotan T2* sehingga cairan tampak terang, dan
berguna untuk pemeriksaan angiografi, mielografi dan arthrografi, dan
paten tidaknya pembuluh. TR yang singkat memungkinkan akuisisi
potongan per potongan atau 3D, dan irisan pun dapat diperoleh dengan
teknik single breath hold. Parameter yang digunakan adalah FA 30°–
45°, TR 20 - 50 ms, dan TE 15 – 25 ms.
2) Spoiled Gradient Recalled Aquisition in the Stady State ( SPGR )
Teknik SPGR atau incoherent (spoiled) residual transverse
magnetization memulai urutan pulsanya dengan eksitasi pulsa alfa flip
yang dilanjutkan aplikasi gradien rephasing untuk menghasilkan ekho.
Kondisi steady state tetap dijaga, demikian juga dengan residu
magnetisasi transversal yang masih tersisa dari repetisi sebelumnya.
Ada dua cara untuk menghasilkan spoiling, yaitu RF spoiling dan
gradient spoiling.
RF spoiling menghasilkan pembobotan T1 atau PD, dan pada
gradient spoiling menghasilkan pembobotan T2* (bila parameter sama
dengan GRE konvensional). Parameter yang biasa digunakan adalah FA
30° – 45° dan TR 20 – 50 ms untuk pemeliharaan, serta TE pendek
5 – 10 ms untuk memaksimalkan T2*. Rata-rata waktu yang dibutuhkan
1 detik per potongan, atau 4 – 15 menit per volume.
b. Stady State Free Precession ( SSFP )
SSFP adalah teknik pencitraan MRI yang mampu meningkatkan
kecepatan scanning tanpa memakai pulsa eksitasi dan rephasing, dan
menghasilkan pembobotan T2 (bukan T2*). SSFP bermanfaat untuk
pencitran otak dan sendi, serta beberapa sistem yang menggunakan
volumetric acquisition dengan 2D atau 3D. Parameter yang digunakan
adalah TR 20 – 50 ms dan FA 30° – 45° untuk mempertahankan steady
state (Hashemi, 1997).
c. Teknik Multi Planar
GRASS dan SPGR dapat digunakan untuk teknik multi planar, yaitu
dengan mengatur TR yang panjang (beberapa ratus milidetik). Teknik ini
disebut MPGR (multi planar GRASS) dan MPSPGR (multi planar SPGR).
Teknik multi planar dapat menghasilkan pembobotan T1, T2* dan PD
tergantung besarnya flip angle. FA kecil akan menghasilkan pembobotan
PD sedangkan FA besar menghasilkan pembobotan T1 (Hashemi, 1997).
20
d. Teknik Fast Gradient Echo
Teknik Fast Gradient Echo disebut juga dengan fast GRASS, atau
turbo FISP, atau fast SPGR. Untuk memperkecil waktu pencitraan teknik
ini menggunakan fractional echo, RF dan NEX, serta mengurangi samping
time dengan cara meningkatkan bandwidth. Secara mendasar, dengan
menggunakan fractional echo dan fractional RF dapat menurunkan TE
sedangkan meningkatkan bandwidth (misalnya dari + 16 kKHz ke + 32
kKHz) akan mengurangi sampling time (Hashemi, 1997).
D. PERBEDAAN ANTARA GRADIEN EKHO DENGAN SPIN EKHO
Secara mendasar, perbedaan antara gradien ekho dan spin ekho meliputi :
1. Urutan pulsa (pulse sequence)
Pada gradien ekho urutan pulsanya adalah pulsa alpha flip diikuti oleh
gradien. Gradien melakukan rephasing terhadap momen magnetik setelah spin
mengalami dephasing. Sinyal yang diterima koil tersebut dinamakan gradien
ekho (Westbrook, 1998)
Pada teknik spin ekho (SE) urutan pulsanya diawali dengan pulsa 90º
eksitasi yang dilanjutkan dengan pulsa 180º. Pusla RF 180º akan melakukan
rephasing untuk membangkitkan ekho setelah spin mengalami dephasing.
Dari prinsip dasar tersebut, teknik SE mengalami perkembangan luas sehingga
muncul teknik-teknik pencitraan MRI lain, misalnya fast spin echo (FSE),
Inversion Recovery (IR), STIR (Short Tau Inversion Recovery), FLAIR (Fluid
Attenuated Inversion Recovery), dan lain sebagainya.
Secara skematis, perbandingan urutan pulsa kedua teknik pencitraan
MRI tersebut dapat dilihat melalui gambar, sebagai berikut :
Gambar 5. Perbedaan pulsa sekuens spin ekho dan gradien ekho (a) Pulsa
sekuens spin ekho (b) Pulsa sekuens gradien ekho (Woodward, 1995).
Keterangan :
RF : Pulsa frekuensi radio
Gss : Gradien slice select
Gro : Gradien readout
Gpe : Gradien phase encoding
2. Waktu
Secara umum, hubungan antara waktu pencitraan dengan parameter
lain dijelaskan melalui persamaan :
waktu pencitraan = TR X Ny X NEX,
dimana : TR adalah waktu pengulangan pulsa,
Ny merupakan jumlah fase enkoding per step = besarnya matriks
NEX (= NSA) menyatakan jumlah pengulangan pencatatan data
selama akuisisi.
Jika melihat persamaan di atas, untuk mempersingkat waktu ada tiga
kemungkinan mengubah variabel. Oleh karena itu, pada teknik GRE cara
untuk menurunkan TR adalah dengan melakukan variasi terhadap FA.
sudut balik kurang dari 90° dan TR yang kecil maka akan menghasilkan waktu
pemeriksaan yang relatif lebih singkat.
Sedangkan pada spin ekho, untuk mempersingkat waktu dilakukan
dengan melakukan lebih dari satu kali fase enkoding per TR, sehingga cara ini
dikenal dengan teknik Fast Spin Echo (FSE). FSE merupakan bentuk pulsa
sekuens pengembangan dari spin ekho. Parameter untuk meningkatkan
kecepatan scanning dikenal dengan nama echo train length (ETL)
Gambar 6. Grafik pulsa sekuens. (a) Gradien ekho, FA yang kecil memungkinkan
penggunaan TR pendek (< 50 ms) sehingga bisa mempersingkat waktu (Hashemi,
1997). (b) Spin ekho, untuk mempersingkat waktu dikembangkan teknik FSE, yaitu
aplikasi multipel pulsa RF 180º rephasing (Westbrook, 1998).
Keterangan :
Mo : Total medan magnet Mxy : Magnetisasi bidang transversal
Mz : Magnetisasi bidang longitudinal α : sudut balik (FA)
3. Keuntungan
Keuntungan teknik gradien ekho adalah kecepatan waktu pencitraan
yang tinggi, sangat sensitif terhadap flow, dan dapat digunakan untuk akuisisi
volume. Sedangkan keuntungan spin ekho meliputi kualitas gambar yang baik,
dapat digunakan pada hampir semua pemerksaan, dan menghasilkan
pembobotan T2 yang baik untuk gambaran patologi (Westbrook, 1998).

4. Kerugian
Kerugian gradien ekho adalah miskin SNR pada akuisisi dua dimensi
(2D), timbulnya artefak karena suseptibilitas magnet, dan timbulnya suara
keras dari sistem gradien. Sedangkan kerugian pada spin ekho adalah waktu
pemeriksaan yang relatif panjang (Westbrook, 1998).
E. PENGARUH PENGATURAN PARAMETER
Hal-hal di bawah ini merupakan sesuatu yang harus diperhatikan sebagai
akibat dari pengaturan beberapa parameter (Westbrook, 1998), yaitu :
1. Signal to Noise Ratio (SNR)
Yang dimaksud SNR adalah perbandingan antara besarnya amplitudo
sinyal dengan amplitudo derau. Nilai SNR dipengaruhi oleh :
a. Densitas proton daerah yang diperiksa, yaitu semakin tinggi densitas
proton semakin tinggi nilai SNR
b. Voksel volume, yaitu semakin besar ukuran ketebalan potongan maka
semakin tinggi pula nilai SNR
c. TR, TE dan FA
1) FA yang besar semakin meningkatkan SNR.
2) TR yang panjang akan meningkatkan SNR, sedangkan TR yang
pendek menurunkan SNR.
3) Sebaliknya, TE yang panjang akan menurunkan SNR dan TE yang
pendek akan meningkatkan SNR.
d. NEX ganda berarti jumlah data yang tersimpan pada K-space juga ganda.
Namun karena deraunya acak yaitu dimana saja data dicatat, sedangkan
sinyalnya tetap maka NEX ganda hanya meningkatkan SNR sebesar 1,4.
e. Receive bandwidth ( RBw )
Semakin kecil bandwidth maka deraunya akan semakin mengecil.
f. Penggunaan koil yang dipasang sedekat mungkin dengan obyek
2. Contrast to Noise Ratio (CNR)
CNR adalah perbedaan SNR antara organ yang saling berdekatan.
CNR yang baik dapat menunjukkan perbedaan daerah yang patologis dan
daerah sehat. Dalam hal ini, CNR dapat ditingkatkan dengan cara :
a. Menggunakan kontras media
b. Menggunakan pembobotan gambar T2
c. memilih magnetization transfer
d. Menghilangkan gambaran jaringan normal dengan spectral pre-saturation.
3. Spatial Resolution
Spatial resolution adalah kemampuan untuk membedakan antara dua
titik secara terpisah dan jelas. Semakin kecil ukuran voksel resolusi akan
semakin baik Spatial resolution dapat ditingkatkan dengan :
a. Irisan yang tipis
b. Matriks yang halus atau kecil
c. FOV kecil
d. Menggunakan rectanguler/asymetric FOV bila memungkinkan.
4. Waktu Pencitraan
Waktu pencitraan dipengaruhi oleh TR, jumlah phase encoding (Ny),
dan NEX . Sehingga untuk mengurangi waktu dilakukan dengan cara :
a. TR sependek mungkin
b. Matriks yang kasar
c. NEX sekecil mungkin
F. TEKNIK GRADIEN EKHO PADA VERTEBRAE LUMBAL
1. Anatomi vertebrae lumbal
Vertebrae lumbal merupakan bagian dari kolumna vertebrae yang
berstruktur lentur, disusun oleh sejumlah tulang yang disebut vertebrae atau
ruas tulang belakang. Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat
yang berada dalam foramen vertebralis. Medula spinalis meruncing sebagai
konus medulari hingga lumbal dua. Kauda equina merupakan berkas yang
terdiri dari akar-akar saraf spinalis yang bergerak turun dari tempat kaitannya
pada meduls spinslis lewat kanalis spinalis. kemudian muncul melalui
foramen intervertebralis.
Pada gambar MRI lumbal dengan teknik GRE, dengan parameter
TR 25, TE 13, FA 6º akan menghasilkan efek mielografi. Cairan atau flow
tampak terang. Diskus normal tampak hiperintens karena mengandung banyak
cairan. Vena basivertebralis (panah putih) tampak terang karena flow. Korpus
vertebralis, prosesus spinosus, dan kortek tampak hipointens. (Edelman,1990).
Gambar 7. Lumbal potongan sagital
(a) Hasil citra GRE dengan TR 25, TE 13, FA 6º, menghasilkan efek
mielografi. (Edelman,1990)
(b) Aspek sagital ; konus medularis, kauda ekuina, dan filum terminal.
(c) T2 SE tampak konus medularis, kauda ekuina, ligamen longitudinal
anterior dan posterior (Kelly, 1997).
Keterangan gambar :
s : prosesus spinosus lumbal pll : Ligamen longitudinal posterior
S1 : Sakrum 1 con : konus medularis
all : Ligamen longitudinal anterior eq : kauda ekuina
2. Beberapa Aplikasi Teknik GRE Pada Pemeriksaan Lumbal Sagital
Menurut Westbrook (1998), aplikasi coherent GRE T2* pada lumbal
sagital adalah teknik yang diusulkan. manghasilkan gambar yang baik untuk
menilai diskus intervertebralis, medula spinalis dan CSF.
Sedangkan menurut Edelman (1990), teknik GRE untuk pembobotan
T1 dan T2 dapat diaplikasikan pada pemeriksaan lumbal. Parameter dasar yang
meliputi matriks 256x256 atau 256x128 dan NEX 2 – 4 atau 4 – 6 untuk
GRASS. Tebal irisan 5 mm dengan lebar gap 1 mm memakai FOV 24 cm
dirancang untuk  mendapatkan resolusi spasial yang baik. Berikut ini
adalah beberapa gambar yang dihasilkan dari teknik gradien ekho :
Gambar 8. T2* GRE lumbal sagital. (Edelman, 1990)
(A). Dengan TR 33 mdt, TE 13 mdt, dan FA 8° tampak diskus telah ditahan
oleh sesuatu yang beisi cairan, tetapi sinyal yang tinggi meluas ke bagian
posterior (panah) dari bagian yang normal. Bandingkan dengan gambar
C, yaitu L3 – L4 dan L4 – L5.
(B). TR 33 mdt, TE 13 mdt, dan FA 8° tampak hernia diskus (panah) L4-L5.
Kedua diskus, yaitu L4-L5 dan L5-S1 mengalami degenerasi dengan
penurunan intensitas sinyal. Hipointense di dalam diskus berarti
representasi adanya udara atau kalsifikasi.
(C). Gambar stenosis medula spinalis, dimana dengan TR 33 mdt, TE 15 mdt
dan FA 15° mendemonstrasikan tekanan pada medula spinalis pada
multiple bulging dan degenerasi diskus. Hipertrofi ligamentum flavum
memberikan kontribusi stenosis L4-L5.
G. OPTIMISASI GAMBAR PADA PEMERIKSAAN LUMBAL
Di bawah ini adalah hal-hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
kualitas gambar pada pemeriksaan lumbal, yaitu (Westbrook,1999) :
1. Optimisasi pada Teknik
SNR pada bagian posterior tergantung dari kualitas koil. Koil spinal
posterior akan mengembalikan sinyal yang tinggi pada daerah lumbar kanal
dan korpus vertebra, tetapi sinyal yang sangat kuat pada daerah pantat akan
mengacaukan gambar. Phase array coil dianjurkan untuk imejing torakal dan
lumbal dengan menghasilkan SNR dan resolusi yang baik. Teknik FSE secara
rutin dapat dugunakan. Matriks halus (fine matrix) dapat diaplikasikan untuk
meningkatkan resolusi spasial yang signifikan. Resolusi juga dapat
ditingkatkan dengan menggunakan FOV rektangular pada potongan sagital,
dan FOV kecil pada potongan aksial.
2. Optimisasi untuk Mengatasi Artefak
Artefak yang berasal dari aorta, vena kava inferior (IVC) dan
pembuluh darah lumbal dapat diatasi dengan meletakkan pulsa spasial presaturasi
pada superior, inferior dan anterior di dalam FOV pada potongan
sagital. Pulsa spasial pre-saturasi juga perlu dipasang pada anterior, kanan (R),
dan kiri (L) pada posisi potongan aksial atau oblik untuk mengurangi artefak
bayang-bayang (phase ghosting). Gradien Moment Nulling (GNM) dapat
mengurangi artefak karena aliran (flow) tetapi dapat meningkatkan sinyal
pada cairan serebrospinal (CSF) penggunaannya pada pembobotan T2 dan T2*
Menukar sumbu fase SI ke posisi AP pada potongan sagital adalah
cara yang paling baik untuk menghilangkan artefak yang berasal dari medula
spinalis. Tetapi pada FOV rektanguler, hal itu tidak dapat digunakan ketika
sumbu panjangnya diletakkan secara horisontal. Pada saat memperkecil
ukuran FOV pada arah fase, maka aliasing akan timbul. Oleh karena itu,
penggunaan oversampling dapat dilakukan untuk mengurangi artefak ini.
Multipel pulsa RF 180º pada FSE juga menyebabkan lemak tampak
hiperintens pada pembobotan T2 yang menyebabkan sulit mendeteksi kelainan
pada sistem saraf. Teknik STIR (Short Tau Inversion Recovery) perlu
digunakan pada kasus metastase.

No comments:

Post a Comment