Wednesday, 6 June 2012

PROTOKOL KENDALI MUTU PERALATAN RADIOLOGI
Quality Control Peralatan Sinar-x Intervensional Radiologi
1.      Pengertian
Interventional radiology (umumnya disingkat dengan  IR atau kadang di singkat pula dengan  VIR yakni  Vascular and Interventional Radiology; istilah ini juga dikenal dengan Image-Guided Surgery atau  Surgical Radiology) adalah satu subspesialisasi dari Radiology yang menyangkut prosedur-prosedur pemeriksaan bersifat minimal invasive menggunakan  image guidance. Beberapa prosedur IR dikerjakan hanya murni untuk tujuan-tujuan diagnostik (contoh: angiogram), sementara beberapa prosedut IR lainnya adalah dikerjakan untuk tujuan-tujuan treatmen atau pengobatan (contoh: angioplasty).
Pada dasarnya  yang menjadi tujuan dari IR adalah untuk mendiagnosa atau  melakukan treatment terhadap keadaan pathology  dari pasien dengan  mempertibangkan kemungkinan penerapan teknik invasive yang paling minimal. Gambaran dan pencitraan yang dipakai biasanya diperlukan untuk memandu pelaksanaan dari prosedur inyervensional tersebut yang mana biasanya dikerjakan dengan menggunakan jarum-jarum suntik dan kateter.  Penerapan dari teknik pencitraan dalam prosedur IR memberikan road maps yang memudahkan ahli intervensional Radiology  (Interventional radiologist) untuk mengarahkan instrument-instrumen kateterisasi didalam tubuh menuju ke target area yang   mengandung penyakit atau kelainan. Dengan meminimalkan trauma secara fisik terhadap pasien, intervensi  pada daerah peripheral dapat mereduksi prosentasi kemungkinan terjadinya infeksi dan waktu penyembuhan secepat mungkin sehingga turut mempersingkat waktu inap di Rumah Sakit.
IR telah  berkembang pesat dan menjadi area penting dalam prosedur radiology, proses penggambaran dan pencitraan yang biasanya dipakai adalah digital radiografi Intevensional. Khusus untuk prosedur IR,  banyak melibatkan teknik-teknik  mengunakan peralatan fluoroskopi  baik yang bersifat analog cine fluoroscopy, digital radiography,  digital fluoroscopy dan bahkan menggunakan Digital  Subtraction Angiography (DSA) yang mana kesemua dari teknik dan prosedur pencitraan ini dimaksudkan untuk tujuan therapeutic atau diagnostic guided.
Dalam prosedur pemeriksan IR, disamping membutuhkan disain dan spesifikasi peralatan radiology yang bersifat khusus, prosedur ini juga melibatkan paparan radiasi yang sangat tinggi baik yang akan mengenai petugas ataupun dan pasien.
Teknik-teknik IR (fluoroscopically-guided) telah banyak diterapkan oleh para klinisi, namun pada umumnya  mereka tidak mendapatkan training yang cukup memadai dalam hal  pengetahuan keselamatan radiasi (radiation safety) atau biologi radiasi (radiobiology). Sehingga tidak sedikit pasien-pasien yang menjalani tindakan (treatment) IR tanpa disadari menderita kerusakan jaringan kulit akibat terpapar dosis radiasi tinggi yang tidak perlu.
Dampak radiasi stokastik ini sangat nyata terutama bila yang mengalami treatment terutama adalah pasien  anak-anak (pediatric). Dengan demikian potensi menghadapi resiko terkena kanker  akibat efek tunda (late effect) radiasi atau keterbelakangan mental pada generasi lanjut kehidupan pasien juga turut terancam pada masa yang akan dating.
Banyak para interventionists kurang memperhatikan tentang kerusakan jaringan sebagai dampak dari prosedur IR, yang mana pada dasarnya  dampak ini dapat di tekan seminim mungkin tentunya dengan metode sederhana yakni  dengan menerapkan strategi pengendalian dosis (dose control strategies). Disamping itu, tidak sedikit  pula pasien-pasien IR tidak memlalui suatu proses persiapan  menjalani konseling terlebih dahulu terkait resiko radiasi dalam IR, termasuk efek-efek dini akibat terkena radiasi, terutama pada prosedur-prosedur IR yang sulit dan memerlukan penyinaran tambahan dan berakibat dosis paparan tinggi pada pasien.
Dosis okupasi dalam prosedur IR tentunya dapat reduksi jika dosis yang tidak perlu diterima oleh pasien dapat ditekan seminimal mungkin.  dengan 2 strategi pengendalian dosis okupasi yakni pertama, memastikan kinerja/performa peralatan yang dipergunakan dalam prosedur IR adalah dalam keadaan prima dan reliable; dan yang kedua adalah menerapkan program-program proteksi radiasi dan upaya-upaya  keselamatan radiasi dalam pemeriksaan secara efektip. Oleh Karen itu adalah penting tim pelaksana yang terlibat dalam prosedur IR memiliki kecakapan pemahaman yang baik tentang karakteristik persyaratan teknis IR, performa fisis dari perangkat peralatan IR serta prosedur administrasi mutu yang diperlukan dalam IR , termasuk pemahaman yang baik tentang proteksi radiasi dengan tujuan agar optimalisasi Proteksi Radiasi berlangsung dengan efektip.
Pedoman Quality Assurance/Quality Control disusun sebagai bagian dari Keputusan Kementerian Kesehatan ini,  secara umum menetapkan  ruang lingkup, prosedur administrasi mutu, Program QA/QC pada konteks penerapanya di lingkungan IR,  Justifikasi dan optimasi prosedur IR, aturan prosedur dan keselamatan, Rekaman dokumen pemeriksaan IR, karakteristik disain persyaratan teknis system peralatan sinar-x dan modalitas imajing IR, termasuk aspek proteksi radiasi efektip yang patut diperhatikan, dan secara khusus menetapkan protokol Quality Control untuk uji performa fisis system peralatan sinar-x berikut modalitas pencitraan IR.
2.        Ruang lingkup program QA/QC untuk IR
Ruang lingkup dari Progarm QA/QC untuk IR pada dasarmya menekankan  pada aspek penggunaan paparan radiasi medik yang terjadi dalam setiap prosedur pemeriksaan intervensional dimana melibatkan paparan tinggi dan dapt membahayakan petugas maupun pasien bila tidak terkendali dengan baik atau kurang memperhatikan factor keselamatan radiasi. Oleh karena nya lingkup kegiatan nya setidaknya antara lain:
a.    Pengukuran-pengukuran terhadap parameter fisis dari generator sinar-x termasuk parameter fisis peralatan imejing yang ada pada saat uji commissioning maupun pada uji periodik lebih lanjut .
b.    Verifikasi kesesuaian faktor-faktor fisis dan klinis untuk IR yang mana dipergunakan dalam menegakan diagnosa atau memberikan perlakuan terhadap pasien.
c.    Penyediaan dokumen-dolumen tertulis bagi semua prosedur maupun hasil  yang relevan dengan IR
d.    Verifikasi kesesuaian kaliberasi dan kondisi penerapan dosimetri maupun monitoring terhadap peralatan IR
e.    Audit Mutu (quality audit) secara reguler dan melakukan evaluasi diri (internal audit) secara mandiri terhadap program QA/QC yang dilaksanakan di bagian IR
3.        Prosedur administrasi QA/QC yang diperlukan dalam IR.
Berdasarkan ruang lingkup program QA/QC yang ada, maka diperlukan pengelolan dan pengadministrasian yang baik dan terstruktur dalam operasionalisasi kegiatan. Oleh karena nya Standar Operasinal Prosedur (SOP) secara kritis perlu dipersiapkan agar supaya mampu mendukung penjaminan mutu terhadap kualitas pengadminstrasian dari program yang pada giliran nya  akan mampu menyajikan informasi atau data secara akurat guna langkah tindak lanjut. Prosedur-prosedur standard dimaksud adalah meliputi:
a.       Penunjukan bagi penanggungjawab kegiatan QA
b.      Penetapan Quality standar bagi peralatan untuk fasilitas IR
c.       Penyediaan diklat yang memadai
d.      Pemilihan peralatan IR yang sesuai bagi setiap tujuan prosedur pemeriksaan
4.        Program QA/QC di lingkungan IR
Progam QC adalah bagian dari Program QA yang lebih luas dan komprehensip, program ini di dirancang secara lebih spesifik dengan tujuan untuk memastikan bahwa peralatan IR  adalah layak operasinal  dan mampu menghasilkan informasi diagnostik yang dikehendaki. Program QC dalam IR meliputi teknik-teknik Quality Control untuk menguji sistem komponen peralatan IR dan metoda-metoda untuk melakukan verifikasi hasil uji. Dalam program ini semua prosedur administratip dan upaya pengelolaan  Quality Control IR di disain untuk memastikan bahwa:
a.       Teknik-teknik Quality control dikerjakan dengan benar dan mengacu pada  jadwal waktu yang telah direncanakan
b.      Hasil-hasil  pengujian dievaluasi dengan tepat dan segera
c.       Nilai-nilai korektip digunakan untuk pembanding hasil uji tersedia
d.      Asas Justifikasi dan optimasi diterapkan pada prosedur IR
1)      Dosimetri psien dan evaluasi kualitas gambar
2)      Reject analysis
3)      Prosedur-prosedur QC test ( Acceptance test and commissioning, Constancy tests, Status tests, Verifikasi proteksi radiasi, peralatan QC test dan material lainnya), rencana tindak lanjut tidakan koreksi hasil pengujian
4)      Penempatan staf dan pemberian tanggungjawab
5)      Ketersediaan tata aturan dan prosedur keselamatan tentang prosedur pembelian peralatan radiologi, penggunaan peralatan Radiologi dan keamanan alat, monitoring paparan radiasi Individu, kaliberasi alat-alat ukur, inspeksi dan perawatan perlatan, pemantauan ruang kerja
e.       Rekaman-rekaman  dokumen:
1)      Sertifikat otorisasi;
2)      Nama petugas yang bertanggungjawab terhadap program QA/QC IR;
3)      Catatan dosis pegawai secara individu;
4)      Hasil-hasil survey paparan radiasi ruangan
5)      Hasil-hasil kalioberasi dan verifikasi alat ukur
6)     Hasil-hasil  uji penerimaan dan uji QC
7)      Hasil-hasil dosimetri pasien dan perbandingan nya terhadap guidance (reference) levels
8)      Inventory system  X ray.
9)      Laporan investigasi kejadian dan kecelakaan radiasi
10)  Audit dan review Program-program QA/QC and Keslematan radiasi
11)  Installation, maintenance dan pekerjaan perbaikan
12)  Modifikasi terhdap Fasilitas
13)  Diklat yang ditawarkan (initial and continuous)
5.        Karakteristik disain persyaratan teknis system peralatan sinar-x dan modalitas imajing IR
Karakteristik persyaratan teknis disain bagi system peralatan sinar-x dan modalitas imajing pendukung diagnostik/terpeutik IR adalah penting untuk dipenuhi bagi pihak registran/pengusaha/pengelola/menejemen Rumah Sakit yang menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan Radiologi. Perhatian khusus dalam hal ini ditujukan agar supaya dapat memenuhi persyaratan relomendasi keselamatan radiasi dan proteksi radiasi IAEA bagi tim petugas yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam prosedur IR, dan yang lebih penting lagi adalah bagi pasien. Agar supaya petugas dan pasien tidak terkena paparan radiasi tinggi yang tidak perlu diluar kebutuhan diagnostik/terapeutik IR maka persyaratan disain dan spesifkasi teknis dari system layaknya dipenuhi.  Tidak dipenuhinya kedua persyatan ini berdampak langsung pada rendahnya kualitas  fungsi kerja alat dan modalitas bila dipergunakan untuk prosedur IR karena performa teknis yang tidak memadai.
1)      Persyaratan disain peralatan sinar-x dan modalitas imejing IR
a)                  Generator  sinar-x konstant
b)                  Arc system (X-ray tube down)
c)                  Image intensifier efficiency  tingi
d)                  System pengendali dan pengoperasian yang mudah
e)                  Kemampuan yang baik untuk memanggil dan menyimpan gambar/citra
2)      Persyaratan teknis dan Spesifikasi pembelian/pengadaan peralatan sinar-x dan modalitas imejing IR menurut rekomendasi IAEA.
Tabel 1. Persyaratan teknis
No
Persyaratan teknis
1.        
Tersedianya fasilitas alarm atau audible peringatan dosis atau laju dosis yang tidak membingungkan pengguna

Tabung sinar-x dan Generator:
Focal spot tabung sinar-x:      
-          cardiology                           1.2/0.5 mm
-          neuroradiology                  1.2/0.4 mm
-          peripheral vascular          1.2/0.5 mm
Minimum Jarak focus ke kulit 30 cm
Heat capacity  tabung sinar-x sebaiknya yang cukup mampu untuk mengantisipasi semua prosedur IR tanpa ada time delay

Generator sinar-x:  
80 kW generator
Constant potential generator
Pulsed fluoroscopy facility available
Automatic collimator to the size of the I.I. surface:
-          Cardiology:         25 cm;  max. dose rate : 0.6 µGy/s
-          Neuroradiology:                30 cm;  max. dose rate : 0.6 µGy/s
Peripheral vascular35-40 cm;  max. dose rate : 0.2 µGy/s Note : dose rate in normal mode, should be measured at the entrance surface of Image Intensifier :
-          2 x magnification available
-          low dose rate and boost modes available
-          Manual selection of the AEC
-          Operational design of the AEC must be specifie
-          Image Intensifier

Tube potential - tube current characteristic of the AEC (or automatic dose-rate control) should be a user selectable feature

The delay between depressing the footswitch and seeing the displayed image should be less than 1 s
-          Last image hold
-          Diaphragm position indicator on the last image hold is desirable.




2.        
Dosis dan Kualitas gambar: variabel-variable yang dapat dipilih oleh user

3.        
Tersedia filtrasi tambahan dan fasiktas grid yang dapat dipindah tempatkan sesuai kebutuhan

4.        
Tersedi modus Pulsed fluoroscopy dan Image hold system

5.        
Flexibilitas untuk penggunaan AEC (IMAGE atau DOSE weighted)

6.        
Kemampuan untuk Recursive atau temporal filtering: temporal averaging dalam  fluoroskopi (mereduksi dosis, meningkatkan f SNR)
* Roadmapping (use of a reference image on which the current image is overlayed)
* Image simulation (impact of changes in technique factors displayed prospectively, effect of semitransparent filters simulated)
* Region of Interest (ROI) fluoroscopy: a low noise image in the centre is presented surrounded by a low dose (noisy) region.
* provision of additional shielding to optimize occupational protection:, etc.

7.        
Overcouch image intensifier

8.        
Distance tracking jarak Source intensifier

9.        
Meja bentuk Concave untuk kenyamanan patient

10.     
Dose-area product  (DAP) meter

11.     
Tersedia protective shielding bagi staf

12.     
Display untuk waktu fluoroskopi, total dose-area product (fluoroskopi and radiografi) dan perkiraan ESD

13.     
Computer interface untuk  information dosimetri

14.     
Tersedia diagram  iso-scatter distribution untuk mode normal dan boost

15.     
Kejelasan label-label pada semua instrumentasi dan saklar  

16.     
Kapasitas minimum image store

17.     
Roadmapping facility

18.
Availability of an automatic injector is desirable

19.
Means of patient immobilization






Tabel 2. Spesifikasi pembelian/pengadaan
No
Spesifikasi pembelian/pengadaan





Contoh : unit C-arm system

Dimensions, weight and C-arm movements
Steering (control for movement)
Generator and X-ray tube
Tank unit
Iris collimator
Grid and Semi-transparent shutters
Image intensifier
Video camera, Monitors
Digital processor
Print and recording options
Plumbicon TV cameras:
-          have much less Image Lag than VIDICON cameras
-          Lower Image Lag permits motion to be followed with minimal Blurring but QUANTUM NOISE is increased (cameras for cardiology)
Digital Fluoroscopy:
-          Digital fluoroscopy SPOT films are usually limited by their poor resolution, which is determined by the TV camera and is no better than about 2 lp/mm for a 1000 line TV system
-          If the TV system is a nominal 525 line, one frame generally consists of 525² = 250000 pixels. Each pixel needs 1 byte (8 bits) or 2 bytes (16 bits) of space to record the signal level
3)        Aspek proteksi radiasi efektip
Aspek proteksi radiasi yang paling utama dan patut untuk diperhatikan adalah upaya melakukan  pencegahan (prevention) untuk tidak melakukan paparan radiasi yang tidak diperlukan.
Upaya-upaya keselamatan radiasi dalam prosedur-prosedur IR agar supaya optimal dibedakan sebagai upaya praktis pengendalian dosis, upaya pengendalian dosis staf danupaya pengendalian dosis pasien.  
1)      Upaya praktis pengendalian dosis:
a)      Gunakan berkas penyinaran secara tepat pada kondisi  minimun yang absolut
b)      Terapkan The Golden Rule untuk mengontrol  dosis bagi pasien and staf
c)      Ingat bahwa laju dosis  akan menjadi lebih besar dan dosis akan berakumulasi secara cepat  pada pasien-pasien yang tebal
d)      Tetap menjaga agar supaya tabung sinar-x pada jarak maksimal dari pasien dengan cara:
·        Jaga posisi image intensifier sedapat mungkin pada posisi terdekat terhadap pasien
·        Tidak banyak menerapkan teknik magnifikasi geometric
·        Lepas grid jika prosedur dilakukan terhadap pasien-pasien dengan ukuran kecil atau jika image intensifier tidak dapat diatur dekat dengan pasien .
e)      Selalu melakukan kolimasi sesuai dengan area yang di observasi
f)        Jika prosedur tidak diharapkan untuk diperpanjang, pertimbangkan faktor posisi pasien atau mengganti lapangan sinar atau dengan kata lain megubah sudut penyinaran berkas sinar-x sehingga area kulit yang sama tidak terkena sinar-x langsung secara kontinu
g)      Untuk berbagai jenis alat, laju dosis berbvariasi selang IR prosedur
h)      Waktu fluoroskopi tidaklah dapat sepenuhnya menjadi patokan kerusakan radiasi yang terjadi karena merupakan indikator kasar.
i)        Ukurann pasien dan aspek-aspek prosedur , seperti lokasi penyinaran, sudut penyinaran,  laju dosis normal/tinggi, jarak tabugn-pasien, dan banyaknya akuisisi  gambar dapat menyebabkan dosis kulit pasien maksimum menjadai 10 kali berbeda dari total waktu satu fluoroskopi
2)      Upaya pengendalian dosis staff
a)      Personnel harus mengenakan protective aprons, gunakan shielding, monitor dosis-dosis pekerja, dan mengetahui bagaimana memposisikan diri sendiri dan peralatan agar dosis yang diterima minimum
b)      Jika menggunakan arah sinar horisontal atau mendekati horisontal, sebaiknya operator berdiri pada sisi image untuk mereduksi dosis yang diterima.
c)      Jika berkas sinar vertical, atau mendekati vertical, pertahankan tabung berada dibawah pasien.
3)      Upaya pengendalian dosis pasien
a)      Pasien sebaiknya menjalani konseling terlebih dahulu terkait resiko-resiko radiasi jika dalam prosedur nanti  akan mengakibatkan resiko yang signifikan seperti kerusakan jaringan.
b)      Rekam data eksposi sebaiknya disimpan jika dosis estimasi maximum komulatip pada kulit adalah 3Gy atau lebih.
c)      Semua pasien dengan estimasi dosis kulit 3 Gy atau lebih sebaiknya di followed up 10 sd 14 hari setelah terekspos.
d)      Dokter klinisi sebaiknya mengetahui informasi efek radiasi  yang mungkin terjadi terhadap pasien yang dikirimnya bahwa:
·         Dosis radiasi dapat menyebabkan efek yang nyata,
·         Pasien sebaiknya dikonsultasikan stelah prosedur IR
·        Diperlukannya suatu sistem untuk mengidentifikasi ada/tidaknya pengulangan prosedur IR sebaik nya dibangun
6.        Protokol Quality Control system peralatan sinar-x dan modalitas pendukung pencitraan IR  
1)      Pengertian protocol QC
Protocol QC adalah urutan langkah pelaksanaan pengujian teknis operasional dan fisis yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis terhadap  peralatan sinar-x dan modalitas pendukung pencitraan IR
2)      Protokol QC peralatan sinar-x dan modalitas pendukung IR
a)    QC peralatan fluoroskopi unit:
Reproduksibilitas eksposi
(1)   Tujuan
Untuk mengevaluasi performa reproduksibilitas sinar-x yang keluar dari tabung sinar-x yang digunakan pada fluoroskopi. Jika peralatan fluoroskopi memungkinkan, pengujian dilakukan pada dua posisi arah sinar horisontal dan vertikal.
(2)   Frekwensi pengujian
6 bulan sekali (semiannually)
(3)   Alat dan bahan
(a)    Homogeous phantom
(b)   Dosimeter (electrometer)
(c)    Pita meteran
(4)   Prosedur
(a)    Letakan Homogeous phantom diatas meja fluoroskopi dan posisikan probe dosimeter antara permukaan phantom dan input area dari image intensifier. Pilih nilai mA dan kVp sesuai yang tersedia pada fluoroskopi unit
(b)    Pusatkan probe dosimeter pertengan berkas sinar-x fluoroskopi, tekan tombol eksposi fluoskopi selama 10 detik (gunakan stopwacth)  dan catat bacaan pengukuran.
(c)    Reset dosimeter dan lakukan pengukuran berulang sampai 2 kali
(d)   Tentukan nilai rasio mR/mAs untuk setiap 10 detik eksposi, bandingkan hasil-hasil bacaan dan hitung nilai varians reproduksibiltas:
(mRmax-mRmin)
Percent mR/mAs variasi  =  --------------------- x 100%
    mRmAs max
(5)   Analisis dan Evaluasi
Variasi reproduksibilitas  < 15%, variasi yang terjadi melampaui rekomendasi ini dapat menyebabkan fluktuasi kualitas gambar dan dosis pasien.

Focal Spot size
(1)   Tujuan
Mengukur dan menlakukan evaluasi terhadap performa ukuran bidang fokus efektip tabung sinar-x
(2)  Frekuensi pengujian
6 bulan sekali (semiannual)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    Focal spot test tool
(b)   Satu lembar non-screen film dalam amplip film kedap cahaya
(c)    Manual tool dan tabel rujukan hasil penghitungan.
(d)   Pita meteran
(4)   Prosedur
(a)    Focal spot test tool diatas homogenous phantom yang telah berada diatas meja fluoroskopi.  Pusatkan berkas sinar-x pada layar fluoroskopi dan atur mA dan kVp sesuai dengan prosedur rutin yang biasa diterapkan.
(b)   Pastikan nilai Magnifikasi (M) adalah 4/3. Focal spot test tool diatas homogenous phantom yang telah berada diatas meja fluoroskopi.  Pusatkan berkas sinar-x pada layar fluoroskopi dan atur mA dan kVp sesuai dengan prosedur rutin yang biasa diterapkan.
(c)    Focal spot test tool diatas homogenous phantom yang telah berada diatas meja fluoroskopi.  Pusatkan berkas sinar-x pada layar fluoroskopi dan atur mA dan kVp sesuai dengan prosedur rutin yang biasa diterapkan.
(d)   Tempelkan  satu lembar nonscreen film pada permukaan image intensifier, kemudian lakukan eksposi selama 10 detik
(e)    Setelah film diproses, hitung besar ukuran focal spot dengan mengikuti instruksi manual dari alat.
(5)   Analisis dan Evaluasi
(a)    Tetapkan kelompok (grup) pasangan garis vertical dan horizontal terkecil yang masih dapat di observasi dengan jelas, lihat tabel 3 berikut dan tentukan perkiraan ukuran focal spot saat ini.
(b)   Bandingkan ukuran focal spot saat ini dengan ukuran sebagaimana tertulis dalam spesifikasi tabung sinar-x tersebut.
Tabel 3. Panduan referensi ukuran focal spot
Grup terkecil dapat
di observasi
Pasangan garis/mm dalam grup
Dimensi focal spot efektip (mm)
1
0,84
4,3
2
1
3,7
3
1,19
3,1
4
1,41
2,6
5
1,68
2,2
6
2
1,8
7
2,38
1,5
8
2,83
1,3
9
3,36
1,1
10
4
0,9
11
4,76
0,8
12
5,66
0,7
Filtration check
(1)   Tujuan
Menlakukan evaluasi terhadap filtrasi intensitas sinar-x yakni dengan mengukur HVL (half value layer)
(2)  Frekuensi pengujian
1 tahun sekali (annually)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    Dosimeter dan probe
(b)   Beberapa  lembaran allumunium dengan tingkat kemurnian 1100 dan dengan ketebalan 1 mm.
(c)    Pita meteran
(4)   Prosedur
(a)    Letakan probe dosimeter pada suupport stand (statik) yang berfungsi menyangga alat ini agar memiliki jarak yang cukup antara tabung sinar-x terhadap  permukaan meja pemeriksan dan imeg intersifier kemudian batasi lapangan sinar cukup selebar lebih kecil dari lebar lembar allumunium.
(b)   karena nilai tegangan tabung pada fluoroskopi biasanya lebih tinggi dari pada nilai yang biasa di pakai dalam radiografi, lakukan eksposi tanpa filter terpasang dengan nilai besaran tabung  100 kVp, kemudian catat nilai besaran radiasi yang ada.
(c)    Reset bacaan dosimeter, lakukan prosedur (b) diatas dengan menambahkan lembaran filter Al pertama kemudian catat nilai besaran radiasi yang terbaca oleh dosimeter. Lakukan prosedur berulang untuk setiap penambahan 1 mm fil Al hingga total mencapai 6-8 mm.
(d)   Data di tabulasikan dan selanjutnya diplot grafik XY diatas kertas semilog graf, dimana sumbu Y adalah representasi bacaan hasil pengukuran intensitas (mR) dan sumbu X merepresentasikan penambahan ketebalan filter Al.
(5)   Analisis dan Evaluasi
(a)    Nilai HVL ditentukan setelah gambar garis pada semilog graf selesai, yakni dengan menetapkan titik koordinat pada garis yang menunjukan nilai ½ dari total 100%  intensitas bacaan dosimeter, selanjutnya ditarik garis tegak lurus terhadap sumbu Y.
(b)   Bandingkan ukuran nilai HVL pada 100 kVp menurut tabel 4 adalah 2,7. Filtrasi untuk fluoroskopi  dengan nilai HVL yang direkomendasikan akan berakibat pada peningkatan dosis kulit bagi pasien.
Tabel 4. HVL fluoroskopi
Tegangan tabung
HVL minimum dalam mm Al
80
2,3
90
2,5
100
2,7
110
3
120
3,2
130
3,5
140
3,8
150
4,1
kV (peak) akurasi
(1)   Tujuan
Melakukan pengukuran terhadap ketepatan besaran tegangan tabung  sinar-x yakni antara nilai tegangan dipilih dengan nilai tegangan terukur.
(2)  Frekuensi pengujian
1 tahun sekali (annually)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    Digital kVp meter
(b)   Pita meteran
(4)   Prosedur
(a)    Letakan sensor detektor  digital kVp meter diatas meja pemeriksaan pada jarak pemotretan yang lazim dipakai ketika fluoroskopi, kemudian batasi lapangan sinar cukup selebar area detektor sebagaimana direkomendasikan oleh manual alat ukur tersebut.
(b)   Eksposi dilakukan pada kVp pada 80 kVp dan menggunakan waktu paparan 2 detik. Lakukan 2 x pengukuran atau lebih. Ulangi prosedur yang sama untuk 90, 100, 110 dan 120 kVp, dicatat dan ditabulasi.
(5)   Analisis dan Evaluasi
(a)    Hitung nilai rerata dari setiap 3 x pengukuran yang sama. Lakukan penghitungan nilai variance kVp dengan rumus sebagai berikut:
 (kVpmax-kVpmin)
Prosentasi  kVp variasi  =         ------------------------  x 100%
(kVpmax+kVpmin)
(b)   Perbedaaan nilai variasi kVp antara pengaturan dengan pengukuran adalah <  5 % (0,05)
miliamper linierity
(1)   Tujuan
Melakukan pengukuran terhadap  linieritas arus tabung  sinar-x .
(2)  Frekuensi pengujian
1 tahun sekali (annually)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    Dosimeter dan probe detektor radiasi
(b)   Homogeneous phantom
(c)    Pita meteran
(4)   Prosedur
(a)      Letakkan dosimeter berikut probe detektor radiasinya pada posisi antara phantom dan image intensifier, arah sinar dipusatkan menuju pertengahan bidang sinar-x fluoroskopi.
(b)     Lakukan eksposi selama 10 detik pada mA 0,5 kemudian catat bacaan hasil pengukuran kemudian  nilai mR/mAs nya.
(c)      Ulangi prosedur yang sama untuk mA 1 dan 2, catat bacaan hasil pengukuran kemudian  nilai mR/mAs nya untuk setiap mA station yang di ujiAnalisis dan
(5)   Evaluasi
(a)    Hitung  nilai variasi linieritas dengan rumus sebagai berikut:
 (mR/mAs max-mR/mAs min)
Prosentasi  variasi  linieritas =  -----------------------------------      / 2
(mR/mAs avg)

(b)   Perbedaaan nilai variasi kVp Nilai penerimaan linieritas mA adalah ±0,1 (10%)
X-ray tube heat sensor
(1)   Tujuan
Melakukan pengujian/pengukuran terhadap  sensor pengukur akumulasi panas  yang terjadi pada tabung  sinar-x fluoroskopi.
(2)  Frekuensi pengujian
6 bulan sekali (semiannually)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    Dosimeter dan probe detektor radiasi
(b)   Homogeneous phantom
(c)    Pita meteran
(4)   Prosedur
(d)     Letakkan dosimeter berikut probe detektor radiasinya pada posisi antara phantom dan image intensifier, arah sinar dipusatkan menuju pertengahan bidang sinar-x fluoroskopi.
(e)      Lakukan eksposi selama 30 detik pada maksimum kVp dan maksimum mA fluoroskopi, kemudian catat bacaan hasil pengukuran kemudian  nilai mR/mAs nya. Gunakan stopwatch untuk menentukan durasi waktu eksposi yang dipergunakan dalam fluoroskopi.
(f)       Jika diperlukan, lanjutkan proses pengukuran fluoroskopi sampai dengan mencapai 75% dari maksimum unit panas untuk memastikan sistem alaram
(g)      Pencatatan dosimetri tetap dilakukan baik untuk langkah (e) ataupun (f)
(5)   Analisis dan Evaluasi
(a)   Hitung  nilai unit panas (heat unit) untuk durasi waktu eksposi 30 detik pada maksimum kVp dan maksimum  mA fluoroskopi, kemudian bandingkan dengan nilai yang tercantum dalam spesifikasi pabrikan.
(b)   Pastikan juga bahwa ada kesesuaian jika lampu sensor LED yang menunjukan overheat menyala adalah sesuai dengan indikator prosentasi heat unit pada panel pengendali,
(c)    Jika unit panas tabung telah mencapai 75%, pastikan sistem kerja alaram penanda bahaya berfungsi/tidak
Grid uniformity and alignment
(1)   Tujuan
Melakukan pengukuran kesesuaian grid terhadap pusat berkas sinar-x unit fluoroskopi dan tingkat homogenitas distribusi densitas film/ tingkat kontras gambar pada display monitor.
(2)  Frekuensi pengujian
1 tahun sekali (annually)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    Grid alingment test tools
(b)   Homogenous phantom
(c)    Densitometer
(d)   Pita meteran, dan pita perekat
(4)   Prosedur
(a)    Lekatkan dengan pita perekat Grid alingment test tools pada posisi bagian atas/dibawah image intensifier, dengan menyertakan homogenous phantom dalam proses  pengujian dengan penyinaran.
(b)    Arah sinar dipusatkan menuju titik pertengahan lubang yang paling tengah, dan untuk setiap penegambilan gambar lubang gunakan teknik pengambilan gambar spot film sinar-x dari fasilitas fluoroskopi unit.
(5)   Analisis dan Evaluasi
(a)    Kesesuaian posisi grid terhadap pusat berkas sinar-x fluoroskopi dapat diketahui dengan mengindentifikasi densitas optis pada gambar lubang bagian tengah  alat dan membandingkan dengan pasangan densitas optis di sisi kanan-kiri  gambar lubang bagian tengah  alat
(b)   nilai densitas optis pada gambar lubang bagian tengah  alat harus yang tertinggi diantara gambaran pasangan lubang lainnya, dan simetrik densitas optis hendaknya teridentifikasi pada setiap pasangan gambaran lubang yang di ukur.
Automatic Brigthness Stabilization (ABS ) system
(1)   Tujuan
Melakukan pengujian performa fasilitas ABS dalam mengatur penyesuaian parameter teknis (kVp, mA, dan pulse width) secara otomatis untuk setiap perubahan ketebalan obyek pemeriksaan.
(2)  Frekuensi pengujian
6 bulan sekali (semiannually)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    Dosimeter dan probe
(b)   Homogenous phantom dengan variasi ketebalan yang dapat dipilih (acrylic plastic (lucite)
(4)   Prosedur
(a)    Letakkan dosimeter berikut probe detektor radiasinya pada posisi antara phantom dan image intensifier, arah sinar dipusatkan menuju pertengahan bidang sinar-x fluoroskopi. Gunakan phantom acrylic plastic (lucite) denganketebalan 7,5 cm untuk mengsimulasikan atenuasi radiasi.
(c)    Lakukan eksposi penyinaran selama 10 detik, kemudaian catat bacaan nilai paparan yang terbaca pada layar dosimeter
(d)   Tambahkan 7,5 cm ketebalan phantom hingga total ketebalan menjadi 15 cm, kemudian lakukan pengukuran kembali sebagaimana prosedur (a) dan (b).
(5)   Analisis dan Evaluasi
(c)    Sistem ABS dinyatakan berfungsi dengan baik bila, nilai besaran paparan radiasi dari bacaan dosimeter pada prosedur (d) seharusnya adalah 2 kali dari bacaan dosimeter ketika 7,5 cm phantom digunakan sebagai simulasi atenuasi radiasi.
Automatic Gain Control (AGC) system
(1)   Tujuan
Beberapa sistem fluoroskopi ada yang dilengkapi dengan AGC system. Sistem ini hanya beroperasi untuk melakukan penyesuaian gain dari sistem video secara otomatis dan tidak berhubungan langsung dengan faktor-faktor teknis sebagaimana pada pengujian ABS. Tujuan dari pengujian ini adalah mengetahui performa fasilitas AGC pada layar monitor dalam menjaga kosistensi dari brightness gambar. 
(2)  Frekuensi pengujian
6 bulan sekali (semiannually)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    Dosimeter dan probe
(b)   Homogenous phantom dengan variasi ketebalan yang dapat dipilih (acrylic plastic (lucite)
(4)   Prosedur
(a)    Letakkan dosimeter berikut probe detektor radiasinya pada posisi antara phantom (ketebalan 7,5 cm) dan image intensifier, arah sinar dipusatkan menuju pertengahan bidang sinar-x fluoroskopi. Pemakaian phantom acrylic plastic (lucite) adalah untuk mengsimulasikan atenuasi radiasi.
(e)    Lakukan eksposi penyinaran selama 10 detik, kemudaian perhatikan brighness gambar pada layar monitor.
(f)     Lakukan pengukuran kembali pada ketebalan phantom 15 cm, dan catat bacaan dosimeter termasuk brightness gambar.
(5)   Analisis dan Evaluasi
(d)   Sistem AGC dinyatakan berfungsi dengan baik bila, meskipun nilai bacaan radiasi dari dosimeter adalah tidak sama namun kondisi brightness gambar seharusnya adalah sama karena fungsi-fungsi AGC menyesuaikan kebutuhan sinyal (gain) untuk visualisasi video sistem.
Maximum exposure rate
(1)   Tujuan
Maksimum ekposur rate adalah merupakan kemungkinan nilai laju eksposi yang dapat terjadi baik sistem fluoroskopi dengan posisi imege intersifier berada diatas tau dibawah meja pemeriksaan. Tujuan dari pengujian ini adalah mengetahui laju eksposi dengan metoda pengukuran dosis yakni pengukuran air-kerma (kerma adalah singkatan dari kinetic energy released in matter; dan di ukur di udara) dalam satuan besaran rad atau satuan besaran SI gray (Gy), baik untuk  semua jenis fluoroskopi unit, spot film camera pada photofluorografi, dan frame filmings pada cinefluorografi.   
(2)  Frekuensi pengujian
1 tahun sekali (annually)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    Dosimeter dan probe
(b)   2 lembar plat Pb ketebalan 3 mm
(4)   Prosedur
(a)    Letakkan dosimeter berikut probe detektor radiasinya pada posisi diatas 2 lapis lembaran Pb 3 mm di atas meja pemeriksaan dan di depan permukaan input image internsifier. Untuk unit fluoroskopi dengan posisi image intensifier dibawah meja, sebaiknya probe detektor radiasi ditempatkan setinggi 30 cm dari meja pemeriksan.
(g)    Lakukan eksposi penyinaran selama 30 detik, menggunakan kVp maksimum dan mA yang tersedia pada alat. Kemudian catat bacaan dosimeter dalam satuan Roentgens (C/kg) dikalikan dengan 2 untuk mendapatkan nilai Roentgen per menit (C/kg/min).
(5)   Analisis dan Evaluasi
(a)    Bandingkan nilai dosis hasil pengukuran dengan nilai batasan bacaan dosis sebagai berikut:
·        Semua jenis unit fluoroskopi: laju air-kerma < 5 cGy/min atau < 5 rad/min
·        Untuk spot film camera pada photofluorografi: entrance kerma pada image intensfier (maksimum kVp dan mA) < 0,0003 cGy (0,3 rad)/eksposi.
·        Untuk frmae filmings pada cinefluorografi:   : entrance kerma pada image intensfier (maksimum kVp dan mA) < 0,3 µGy (0,03 rad)/frame.
·        Untuk Multifield image intersifier dan high Level Control (HLC) fluoroskopi: batasan maksimum entrance exposure rate adalah 20 R/menit khusunya bila proses penggambaran fluoroskopi menyertakan peralatan rekaman gambar.  
Pg 138-142
Standard Entrance Exposure rates
(1)   Tujuan
Nilai standar laju paparan yang masuk kedalam image intersifier perlu diukur dengan cermat. Tujuan pengujian/pengukuran nilai standar laju paparan entrance ini adalah untuk mengetahui besarnya paparan entrance standard dengan kejadian kualitas gambar fluoroskopi.
(2)  Frekuensi pengujian
6 bulan sekali (semiannually)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    Dosimeter dan probe
(b)   2 lembar plat Pb ketebalan 3 mm
(4)   Prosedur
(a)    Letakkan dosimeter berikut probe detektor radiasinya pada posisi diatas 2 lapis lembaran Pb 3 mm di atas meja pemeriksaan dan di depan permukaan input image internsifier. Untuk unit fluoroskopi dengan posisi image intensifier dibawah meja, sebaiknya probe detektor radiasi ditempatkan setinggi 30 cm dari meja pemeriksan.
(h)    Lakukan eksposi penyinaran selama 30 detik, menggunakan kVp maksimum dan mA yang tersedia pada alat.
(b)   Hasil bacaan dosimeter dalam satuan Roentgens (C/kg) dikalikan dengan 2 untuk mendapatkan nilai Roentgen per menit (C/kg/min). Nilai equivalent air kerma yang  direkomendasikan adalah 8,7 – 26 mGy/min (0,87-2,6 rad/menit). Nilai paparan air kerma dapat meningkat 1,5-2 kali lebih tinggi bila dalam eksposi melibatkan penggunaan grid scatter.
(5)   Analisis dan Evaluasi
(a)    Bandingkan nilai dosis hasil pengukuran dengan nilai batasan standar laju entrance exposure sebagai berikut:
·        Photofluorospot camera: laju entrance exposure sebaiknya di monitor dengan homogeneus phantom dengan eksposi pada rentang 50-200 µR per gambar (13-52 nC/kg per gambar)
·        Cine film exposure: minimum laju entrance exposure sebaiknya eksposi pada 15 µR per frame (4 nC/kg per frame) berlaku untuk mode pemakaian image intensifier dengan diameter 23 cm;  dan 35 µR per frame (9 nC/kg per frame) berlaku untuk mode pemakaian image intensifier dengan diameter 15 cm
(b)   Standar laju entrance exposure sbaiknya konstan untuk setiap ruangan dari waktu ke waktu, jika dibandingkan antar ruangan variasi yang diperkenankan adalah ± 25%
High contras resolution
(1)   Tujuan
High contrast resolution adalah kemampuan sistem fluoroskopi untuk menampilkan obyek-obyek yang kecil, halus/tipis, daerah-daerah hitam dan putih dengan baik dan jelas. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengevaluasi resolusi spatial gambar yang diperoleh dari pengoperasina peralatan fluoroskopi.
(2)  Frekuensi pengujian
6 bulan sekali (semiannually)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    Coper mass pattern dengan ukuran lubang per inch 16, 20,24, 30, 35, 40, 50 dan 60.
(4)   Prosedur
(a)    Letakan dan plester alat uji diatas petengahan image intensifier, kemudian pilih nilai kVp terendah
(i)      Lakukan eksposi penyinaran selama 30 detik, menggunakan kVp maksimum dan mA yang tersedia pada alat.
(b)   Hasil bacaan dosimeter dalam satuan Roentgens (C/kg) dikalikan dengan 2 untuk mendapatkan nilai Roentgen per menit (C/kg/min). Nilai equivalent air kerma yang  direkomendasikan adalah 8,7 – 26 mGy/min (0,87-2,6 rad/menit). Nilai paparan air kerma dapat meningkat 1,5-2 kali lebih tinggi bila dalam eksposi melibatkan penggunaan grid scatter.
(5)   Analisis dan Evaluasi
(a)    Bandingkan nilai dosis hasil pengukuran dengan nilai batasan standar laju entrance exposure sebagai berikut:
·        Photofluorospot camera: laju entrance exposure sebaiknya di monitor dengan homogeneus phantom dengan eksposi pada rentang 50-200 µR per gambar (13-52 nC/kg per gambar)
·        Cine film exposure: minimum laju entrance exposure sebaiknya eksposi pada 15 µR per frame (4 nC/kg per frame) berlaku untuk mode pemakaian image intensifier dengan diameter 23 cm;  dan 35 µR per frame (9 nC/kg per frame) berlaku untuk mode pemakaian image intensifier dengan diameter 15 cm
(c)    Standar laju entrance exposure sbaiknya konstan untuk setiap ruangan dari waktu ke waktu, jika dibandingkan antar ruangan variasi yang diperkenankan adalah ± 25%
Low-contrast resolution
(1)   Tujuan
High contrast resolution adalah kemampuan sistem fluoroskopi untuk menampilkan obyek-obyek yang relatip besar dan sedikit perbedaanya secara radiolosen terhadap area sekitar. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengevaluasi resolusi spatial gambar yang diperoleh dari pengoperasina peralatan fluoroskopi.
(2)  Frekuensi pengujian
6 bulan sekali (semiannually)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    Dosimeter dan probe
(b)   2 lembar plat Pb ketebalan 3 mm
(4)   Prosedur
(a)    Letakkan dosimeter berikut probe detektor radiasinya pada posisi diatas 2 lapis lembaran Pb 3 mm di atas meja pemeriksaan dan di depan permukaan input image internsifier. Untuk unit fluoroskopi dengan posisi image intensifier dibawah meja, sebaiknya probe detektor radiasi ditempatkan setinggi 30 cm dari meja pemeriksan.
(j)     Lakukan eksposi penyinaran selama 30 detik, menggunakan kVp maksimum dan mA yang tersedia pada alat.
(b)   Hasil bacaan dosimeter dalam satuan Roentgens (C/kg) dikalikan dengan 2 untuk mendapatkan nilai Roentgen per menit (C/kg/min). Nilai equivalent air kerma yang  direkomendasikan adalah 8,7 – 26 mGy/min (0,87-2,6 rad/menit). Nilai paparan air kerma dapat meningkat 1,5-2 kali lebih tinggi bila dalam eksposi melibatkan penggunaan grid scatter.
(5)   Analisis dan Evaluasi
(b)   Bandingkan nilai dosis hasil pengukuran dengan nilai batasan standar laju entrance exposure sebagai berikut:
·        Photofluorospot camera: laju entrance exposure sebaiknya di monitor dengan homogeneus phantom dengan eksposi pada rentang 50-200 µR per gambar (13-52 nC/kg per gambar)
·        Cine film exposure: minimum laju entrance exposure sebaiknya eksposi pada 15 µR per frame (4 nC/kg per frame) berlaku untuk mode pemakaian image intensifier dengan diameter 23 cm;  dan 35 µR per frame (9 nC/kg per frame) berlaku untuk mode pemakaian image intensifier dengan diameter 15 cm
(d)   Standar laju entrance exposure sbaiknya konstan untuk setiap ruangan dari waktu ke waktu, jika dibandingkan antar ruangan variasi yang diperkenankan adalah ± 25%
b)    QC peralatan digital fluoroskopi unit:
Electronic display devices
(1)   Tujuan
Melakukan pengujian terhadap performa optimum  peralatan display elektronik untuk semua jenis pencitraan digital.
(2)  Frekuensi pengujian
1 bulan sekali (monthly)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    SMPTE test pattern  atau
(b)   AAPM TG18-QC test pattern
(4)   Prosedur
(a)    Hidupkan monitor CRT pada posisi pengoperasian normal, biarkan dalam konsidi hidup selama 30 detik untuk warm up
(b)   Periksa bagian depan skren monitor dari kemungkinan adanya layar yang kotor, jika kotor segera dibersihkan mengikuti instruksi manual pabrik
(c)    Reduksi semua kemungkinan terjadinya refleksi banyangan monitor lain atau efek refleksi cahaya pada permukaan monitor yang akan di uji
(a)    Lakukan asessment secara cermat parameter-parameter kualitas gambar (luminicense; luminicense unifromity; spatial distortion; spatial resolution; low contrast resolution; gray scale uniformity; display artifact; dan contrast ratio) ketika mengobservasi gambar SMPTE test pattern  atau AAPM TG18-QC test pattern
(5)   Anlisa dan Evaluasi
(a)    Luminicense;
·        Gunakan photometer untuk mengukur luminicese pada bagian tengah monitor. Monitor CRT harus memenuhi kriteria luminicensi > 170 nit (50 foot-lambertrs), sementara untuk LCD monitor kriteria luminicensi > 100nit (30 foot-lamberts). Jika luminicense tidak melampau batas yang di rekomendasikan, maka brightnes control pada monitor  masih dapat diatur.
(b)   Luminicense unifromity;
·        Gunakan photometer untuk khususnya mengukur luminicese  high contrast resolution pacth di bagian tengah dan di ke-empat sudut  dari display monitor.  bagian tengah monitor. Ke-lima hasil bacaan pengukuran luminicense sebaiknya perbedaannya antara satu dengan yang lain berkisar  20%
(c)    Spatial distortion;
·        Perhatikan gambar kotak-kotak hitam pattern pada layar monitor. Semua nya harus terlihat sebagai gambar kotak yang sempurna pada seluruh permukaan layar. Sebuah mistar plastik dapat dipakai untuk mengukur lebar dan ketinggian setiap gambar kotak. Semua harus diukur pada masing-masing kuadaran termasuk bagian tengah dari monitor. Perbedaan antara ukuran panjang yang seharusnya dengan hasil ukur yang ada tidak melampaui 2 % perbedaan untuk monitor utama, dan 5% perbedaan untuk antar monitor tambahan.
(d)   Spatial resolution;
·        Perhatikan gambar kontras tinggi yang terlihat dalam lingkaran (seperti: teks putih diatas latar hitam), dan verifikasi bahwa semua terlihat dengan baik. Atur monitor control agar semua terlihat jelas.
(e)    Low contrast resolution;
·        Verifikasi bahwa 5 % perbedaan kontras adalah dapat diperoleh atau visibel  terlihat  bagi 100% video-white square  dan 0% bagi video-black square
(f)     Gray scale uniformity;
·        Verifikasi bahwa latar belakang skala kelabu (gray scale) pada gambar SMPTE test pattern adalah berwarna seragam kelabu pada seluruh permukaan display monitor.
(g)    Display artifact;
·        Verifikasi bahwa display tidak menampakan adanya tanda gambaran-gambaran percikan, garis, atau bayangan-bayanagan celah hitam atau cerah, juga perhatikan ada tidaknya gambar titik kecil hitam pada layar yang mana menunjukan ketidak berfungsian pixel gambar.
(h)    Contrast ratio;
·        Gunakan photometer untuk mengukur luminicese tingkat kehitaman minimum (Lmin) dan tingkat kecerahan maksimum (Lmax) yang terjadai pada layar monitor. Perhitungan rasio kontras adalah sebagai berikut:
Lmax
Lmin
Nilai rasio kontras sebaiknya > 250
Multi format cameras
(1)   Tujuan
Melakukan evaluasi terhadap performa kamera multi format.
(2)  Frekuensi pengujian
1 hari sekali (daily)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    SMPTE test pattern 
(4)   Prosedur
(d)   Dengan gambar SMPTE pattern pad layar monitor CRT, brightness, contrast, dan waktu eksposi sebaiknya diatur pada tingkat yang optimum. Hardcopy gambar tersebut sebaiknya di cetak untuk dipakai dalam evaluasi parameter resolusi dan contrast gray scale.
(e)    Pengaturan-pengaturan brightness, contrast, waktu eksposi sebaiknya turut terkam dalam film yang dicetak untuk kebutuhan data pada masa akan datang sebagai referensi.
(f)     Sebuah densitometer adalah diperlukan dan digunakan untuk mengukur densitas optis pada daerah-daerah 40% pacth, 10% dan 70% pacth dan 90% patch
(5)   Anlisa dan Evaluasi
(a)    Densitas optis pada daerah-daerah:
·        40% pacth: nilai ini menetukan tingkat mid density atau speen indicator yang mana sebaiknya mendekati nilai 1,15
·        10% dan 70% pacth: selisih nilai densitas optis pada kedua area ini adalah dihitung guna mengetahui contrast indicator. Nilai cintrast indicator sebaiknya adalah 1,2
·        90% patch: nilai ini adalah sedikit diatas nilai base+fog, dan sebaiknya nilai ini sekitar 0,1±0,25
(b)   Setiap film SMPTE pattern di cetak sebaiknya selalu dibandingkan dengan standar variasi yang direkomendasikan pabrikan
Laser cameras
(1)   Tujuan
Melakukan evaluasi terhadap performa kamera laser.
(2)  Frekuensi pengujian
1 hari sekali (daily)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    SMPTE test pattern 
(4)   Prosedur
(a)    Pada dasarnya perosedur pengujian dan evaluasi performa bagi laser cameraqs adalah tidak berbeda dengan pengujian performa multi format camera.
(b)   Dengan multi format generator, gunakan untuk memproduksi gambar SMPTE pattern pada layar monitor CRT
(c)    Hard-copy images sebainnya di buat dan dianalisa dengan cara dan metode sebagaimana apa yang diterapkan pada pengujian performa multi format camera.
(5)   Anlisa dan Evaluasi
(a)    Densitas optis pada daerah-daerah:
·        40% pacth: nilai ini menetukan tingkat mid density atau speen indicator yang mana sebaiknya mendekati nilai 1,15
·        10% dan 70% pacth: selisih nilai densitas optis pada kedua area ini adalah dihitung guna mengetahui contrast indicator. Nilai cintrast indicator sebaiknya adalah 1,2
·        90% patch: nilai ini adalah sedikit diatas nilai base+fog, dan sebaiknya nilai ini sekitar 0,1±0,25
(b)   Setiap film SMPTE pattern di cetak sebaiknya selalu dibandingkan dengan standar variasi yang direkomendasikan pabrikan
(c)    Jika pemroses film otomatik juga terhubung dengan system yang diuji, maka alat ini (laser camera) sebaiknya dievaluasi dan di perbaiki dengan cara yang sama dengan apa yang dikerjakan terhadap film processor standard.
Analog and digital recorder
(1)   Tujuan
Melakukan evaluasi terhadap performa sistem perekam gambar analog video recorder dan videodisk.
(2)  Frekuensi pengujian
6 bulan sekali (semiannually)  atau mengacu pada rekomendasi peraturan yang sedang berlaku.
(3)   Alat dan bahan
(a)    SMPTE test pattern 
(4)   Prosedur
(a)    Pada dasarnya perosedur pengujian dan evaluasi performa bagi laser cameraqs adalah tidak berbeda dengan pengujian performa multi format camera.
(b)   Dengan multi format generator, gunakan untuk memproduksi gambar SMPTE pattern pada layar monitor CRT
(5)   Anlisa dan Evaluasi
·        Daerah10% pacth: semua gambar pada prosentasi ini sebaiknya terrlihat, dengan nilai distorsi yang minimal.
·        Skala kontras dan skala kelabu dalam gambar yang direkam sebaiknya adalah sama dengan gambar aslinya.
1.      SSD;
2.      Distortion dan Iimage lag;
3.      image noise;
4.      relative convertion factor;
5.      veiling glare;
6.      fluoroscopic system for cardiac chateterization  and interventional procedures
7.      video monitor performance
Film changer
Pressure injector (Pak Edi Rumhedi)

No comments:

Post a Comment