Saturday, 25 February 2012

Lebih Dekat dengan Kedokteran Nuklir
Posted: 27 November 2011 by Blog Nuklir in Nuklir Indonesia, Teknologi Nuklir
Tag:Kedokteran Nuklir
 
Kompas.com – Tak kenal maka tak sayang. Demikianlah pepatah yang bisa menggambarkan mengapa masih banyak kecurigaan terhadap teknologi nuklir, termasuk dalam bidang kesehatan.
Meski nuklir sudah banyak dimanfaatkan dalam pengunaan damai namun masyarakat selalu mengaitkan nuklir dengan bom nuklir yang mematikan.
Padahal aplikasi teknik nuklir sudahdipakai secara luas dalam berbagai bidang mulai dari pertanian sampai kesehatan.Di bidang kedokteran, teknologi pemindaian berbasis nuklir dinilai memberi data yang lebih akurat dalam deteksi penyakit dibanding cara konvensional. Karenanya hampir semua rumah sakit di negara maju memiliki unit kedokteran nuklir, termasuk di Indonesia, khususnya di kota besar.
Kedokteran nuklir merupakan ilmu kedokteran yang dalam kegiatannya menggunakan radioaktif terbuka, baik untuk diagnosis maupun dalam pengobatan penyakit, atau dalam penelitian. Walau sudah dikembangkan di tanah air sejak tahun 1960-an, nyatanya citra seram terlanjur melekat pada kata nuklir.
Ketakutan masyarakat akan nuklir diakui oleh dr.Fadil Nazir, Sp.KN. "Kalau pasien datang pertama kali mereka ragu jika diminta melakukan pemeriksaan dengan kedokteran nuklir. Baru setelah diberi penjelasan dan melakukan pemeriksaan mereka sadar ketakutan mereka berlebihan," katanya.
Dalam mendiagnosis penyakit seseorang sangat dibutuhkan fasilitas penunjang yang baik dengan akurasi tinggi. Tujuannya, agar pasien mendapat penanganan terbaik, cepat dan tepat sehingga waktu perawatan lebih cepat, penderitaan pasien berkurang, serta biaya perawatan lebih hemat.
Menurut Fadil, dibandingkan dengan teknik diagnostik radiasi lainnya, pemeriksaan dengan kedokteran nuklir jauh lebih nyaman, akurat, dan dampak paparannya lebih kecil.
Teknik diangostik dengan kedokteran nuklir yang banyak dipakai dalam dunia kedokteran antara lain pencitraan medis PET (positron emission tomography), MRI (magnetic resonance imaging), CT-Scan (computed tomography), dan masih banyak lagi.  Yang terakhir sedang dikembangkan adalah nano scan-PET. Ditambahkan Fadil, dengan teknologi tersebut kini berbagai jenis kanker serta gangguan jantung dan pembuluh darah bisa dideteksi lokasinya secara lebih tepat sehingga pengobatannya pun efektif.
Dalam penyakit kanker, prosedur diagnosis kanker bertujuan untuk mengidentifikasi jenis dan lokasi kanker. Setiap jenis kanker memiliki kecepatan laju pertumbuhan sendiri-sendiri, kecenderungan perkembangan, maupun jenis organ tubuh tertentu yang mudah terkena penyebarannya.
Dengan mengidentifikasi jenis kanker dan penyebarannya, dokter bisa mengantisipasi kemungkinan sifat kanker tersebut, sehingga dokter bersama pasien bisa melakukan rencana pengobatan yang tepat.
Sementara itu terapi radiasi sendiri sudah menjadi pilihan lain untuk menghancurkan sel kanker. Radiasi yang dipakai dalam terapi ini hanya bereaksi pada sel-sel kanker yang berlokasi di daerah yang terkena radiasi. Biasanya digunakan sebelum dilakukan pembedahan untuk memperkecil tumor ganas, atau sehabis pembedahan untuk menghancurkan sel kanker yang mungkin tersisa.
Radiasi kecil
Kekhawatiran utama akan teknologi nuklir adalah efek radiasinya. Dalam kedokteran nuklir, menurut Fadil risikonya justru lebih kecil. "Pada umumnya peralatan yang dipakai tidak mengandung radiasi. Sementara pasien sendiri diberikan sumber radiasi terbuka namun penggunaannya sesuai standar," katanya.
Hal senada diungkapkan Johan S.Masjhur, guru besar dari FK-Universitas Padjajaran. "Penggunaannya dengan prinsip kehati-hatian dan dalam batas aman," katanya dalam sebuah kesempatan.
Standar keamanan alat yang dipakai di Indonesia mengikuti standar IAEA (International Atomicenergy Agency) dan juga ICRP (International Commision on Radiation Protection) dengan prinsip serendah dan seminimal mungkin. Semuanya dibawah pengawasan Batan dan Bapeten.
"Dampak yang tidak diinginkan bisa saja akibat faktor kelalain, tapi kami sudah memiliki standar baku untuk mendeteksi paparan yang terjadi dan tindakan yang harus dilakukan," tegas Fadil.
Masih tertinggal
Perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia, menurut Fadil, jauh tertinggal dibandingkan dengan bidang spesialis lainnya. Sampai saat ini baru terdapat 16 pusat kedokteran nuklir, baik milik pemerintah atau swasta di berbagai provinsi.
"Dari jumlah tersebut sekitar 4 pusat kedokteran nuklir sudah tidak berfungsi lagi karena perangkat pendukung utamanya sudah tua," kata ahli kedokteran nuklir dari Batan ini.
Bukan hanya peralatan yang tertinggal, jumlah sumber daya manusianya juga kekurangan. Kondisi tersebut semata-mata karena sampai saat ini institusi pendidikan yang menghasilkan spesialis kedokteran nuklir hanya satu, yakni Universitas Padjajaran di Bandung. "Sampai tahun ini yang selesai pendidikan ada 14 orang, dan 19 orang masih dalam pendidikan," imbuhnya.
Kendati begitu, Fadil menolak jika dari sisi keilmuwan kita dianggap ketinggalan. "Kebutuhan kasusnya meningkat terus, sementara perkembangan fasilitas canggih seperti PET yang dimiliki rumah sakit terus bertambah," paparnya.
SEJARAH KEDOKTERAN NUKLIR
Kedokteran Nuklir merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang mengalami perkembangan pesat seiring dengan kemajuan penelitian dibidang pemnfaatan tenaga nuklir untuk kepentingan damai.
Dalam proses perkembangannya, kedokteran nuklir merupakan hasil dari kontribusi dari para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda, mulai dari ilmu fisika, kimia, teknik, dan kedokteran.
Momentum paling penting dalam perkembangan kedokteran nuklir adalah penemuan radionuklida buatan Frédéric Joliot-Curie dan Irène Joliot-Curie pada tahun 1934.  Pada bulan Februari 1934, Joliot-Currie mempubllikasikan bahan radioaktiv buatan yang pertama dalam jurnal Nature. Penemuan mereka diilhami hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wilhelm Konrad Roentgen tentang  X-ray, Henri Becquerel tentang garam radioaktif uranium, dan Marie Curie (ibu Irene Curie) tentang thorium radioaktif, polonium serta pengaruh penggunaan koin dalam radioaktivitas.
Pada tahun 1930, Taro Takemi mempelajari penerapan fisika nuklir dalam bidang pengobatan.
Pada tanggal 7 Desember 1946, Kedokteran Nuklir mendapat pengakuan lebih luas ketika sebuah artikel yang ditulis oleh Sam Seidin diterbitkan dalam Journal of American Medical Association. Dalam artikel tersebut diuraikan kesuksesan penggunaan radioiod (I-131) terhadap pasien dengan metastasis kanker tiroid. Hal ini dianggap oleh banyak sejarahwan sebagai artikel yang paling penting yang pernah diterbitkan dalam Kedokteran Nuklir. Walaupun, pada awal penggunaan I-131 dikhususkan untuk terapi kanker tiroid, dalam perkembangannya penggunaan I-131 kemudian berkembang untuk pencitraan kelenjar tiroid,kuantifikasi fungsi tiroid, dan terapi untuk hipertiroidisme.
Semakin meluasnya penggunaan secara klinis, Kedokteran Nuklir dimulai pada awal 1950-an, sehingga pengetahuan tentang radionuklida , deteksi radioaktivitas, dan penggunaan radionuklida tertentu untuk melacak proses-proses biokimia semakin diperluas dan diperdalam oleh para ahli. Benediktus Cassen adalah perintis dalam mengembangkan scanner pertama dan Hal O Anger' mengembangkan kamera scintilasi dan  memperluas applikasi  Kedokteran Nuklir dengan  spesialisasi pencitraan medis.
Pada tahun-tahun awal pertumbuhan kedokteran nuklir sangat fenomenal. Pada tahun 1954, Perhimpunan Kedokteran Nuklir dibentuk di Spokane, Washington, USA. Pada tahun 1960, Perhimpunan tersebut mulai mempublikasikan Jurnal Kedokteran Nuklir yang merupkan salah satu  jurnal ilmiah terkemuka Amerika.
Di antara banyak radionuklida yang ditemukan, dalam aplikasi medis, penemuan dan pengembangan Technetium-99m merupakan hal yang sangat penting. Penemuan Technitium pertama kali ditemukan pada tahun 1937 oleh C. Perrier dan E. Segre sebagai unsur buatan. Saat ini, Technetium-99m adalah unsur yang paling dimanfaatkan dalam Kedokteran Nuklir dan berperan dalam berbagai studi pencitraan Kedokteran Nuklir.
Pada tahun 1970-an sebagian besar organ tubuh dapat divisualisasikan menggunakan metode Kedokteran Nuklir. Pada tahun 1971, American Medical Association resmi mengakui kedokteran nuklir sebagai spesialisasi medis, dan pada 1980-an, radiofarmasi dirancang untuk digunakan dalam diagnosis penyakit jantung. Teknik pencitraan tomografi telah dikembangkan lebih lanjut di Washington University School of Medicine.
(Akhmad Khusyairi, M.Eng)
SEJARAH KEDOKTERAN NUKLIR
Sejarah kedokteran nuklir kaya dengan kontribusi dari para ilmuwan berbakat di seluruh disiplin ilmu yang berbeda dalam fisika, kimia, teknik, dan kedokteran.
Sifat multidisiplin Kedokteran Nuklir membuat sulit bagi sejarawan medis untuk menentukan tanggal lahir Kedokteran Nuklir.
Ini mungkin dapat menjadi yang terbaik ditempatkan di antara penemuan radioaktivitas buatan pada tahun 1934 dan produksi radionuklida oleh Oak Ridge National Laboratory untuk menggunakan obat terkait, pada tahun 1946.
Banyak sejarawan menganggap penemuan radioisotop buatan yang dihasilkan oleh Frédéric Joliot-Curie dan Irène Joliot-Curie pada tahun 1934 sebagai tonggak paling signifikan dalam Kedokteran Nuklir.
Meskipun, penggunaan awal dari I-131 dikhususkan untuk terapi kanker tiroid, penggunaannya kemudian diperluas untuk mencakup pencitraan kelenjar tiroid, kuantifikasi fungsi tiroid, dan terapi untuk hipertiroidisme.
Meluasnya penggunaan klinis Kedokteran Nuklir dimulai pada awal 1950-an, sebagai pengetahuan diperluas tentang radionuklida, deteksi radioaktivitas, dan menggunakan radionuklida tertentu untuk melacak proses-proses biokimia.
Karya perintis oleh Benediktus Cassen dalam mengembangkan pemindai bujursangkar pertama dan Kemarahan Hal O. 's kamera kilau (kamera Kemarahan) memperluas disiplin muda Kedokteran Nuklir ke spesialisasi pencitraan medis penuh.
Dalam tahun-tahun Kedokteran Nuklir, pertumbuhan adalah fenomenal. Masyarakat Kedokteran Nuklir dibentuk pada tahun 1954 di Spokane, Washington, Amerika Serikat.
Pada tahun 1960, Masyarakat mulai penerbitan Jurnal Kedokteran Nuklir, jurnal ilmiah terkemuka untuk disiplin di Amerika.
Ada sebuah kebingungan penelitian dan pengembangan baru dan radiofarmasi radionuklida untuk digunakan dengan perangkat pencitraan dan untuk in-vitro studies5.
Di antara banyak radionuklida yang ditemukan untuk medis digunakan, tidak ada yang sama pentingnya dengan penemuan dan pengembangan Technetium-99m.
Ini pertama kali ditemukan pada tahun 1937 oleh C. Perrier dan E. Segre sebagai unsur buatan untuk mengisi ruang nomor 43 dalam Tabel Periodik.
Pengembangan sistem generator untuk menghasilkan Technetium-99m pada tahun 1960 menjadi metode praktis untuk penggunaan medis.
Hari ini, Technetium-99m adalah unsur yang paling dimanfaatkan dalam Kedokteran Nuklir dan digunakan dalam berbagai studi pencitraan Kedokteran Nuklir.
Pada tahun 1970-an sebagian besar organ tubuh dapat divisualisasikan menggunakan prosedur Kedokteran Nuklir. Pada tahun 1971, American Medical Association resmi diakui kedokteran nuklir sebagai spesialisasi medis.
Pada tahun 1972, American Board of Kedokteran Nuklir didirikan, memperkuat Kedokteran Nuklir sebagai spesialisasi medis.
Pada 1980-an, radiofarmasi dirancang untuk digunakan dalam diagnosis penyakit jantung. Perkembangan tomografi emisi foton tunggal, sekitar waktu yang sama, menyebabkan rekonstruksi tiga dimensi dari jantung dan pembentukan bidang Kardiologi Nuklir.
Perkembangan lebih baru dalam Kedokteran Nuklir meliputi penemuan positron emisi tomografi pertama pemindai (PET).
Konsep tomografi emisi dan transmisi, kemudian berkembang menjadi emisi photon tunggal computed tomography (SPECT), diperkenalkan oleh David E. Kuhl dan Roy Edwards di akhir 1950-an.
Pekerjaan mereka mengarah pada desain dan konstruksi instrumen tomografi beberapa di University of Pennsylvania. Teknik pencitraan tomografi telah dikembangkan lebih lanjut di Washington University School of Medicine.
Inovasi ini menyebabkan fusi imaging dengan SPECT dan CT oleh Bruce Hasegawa dari University of California San Francisco (UCSF), dan PET pertama / CT prototipe oleh DW Townsend dari Universitas Pittsburgh tahun 1998.
PET dan PET / CT imaging mengalami pertumbuhan yang lambat di tahun-tahun awal karena biaya modalitas dan persyaratan untuk sebuah situs di-atau siklotron dekatnya.
Namun, keputusan administratif untuk menyetujui penggantian medis dari aplikasi PET dan PET / CT terbatas dalam onkologi telah menyebabkan pertumbuhan fenomenal dan diterima secara luas selama beberapa tahun terakhir.
PET / CT imaging sekarang merupakan bagian integral dari onkologi untuk monitoring diagnosis, pementasan dan pengobatan.

KEDOKTERAN NUKLIR

Kedokteran Nuklir itu apa sih? hmm...kalian pasti pernah mendengar tentang nuklir dan pandangan kalian sebagian besar nuklir itu akan berdampak negatif terhadap kehidupan, karena yang kita dengar nuklir itu identik dengan bom atom yang siap untuk menghancurkan segala hal yang ada di sekitarnya, eit..eit..jangan berpikir negatif dulu ya!!ternyata eh ternyata...nuklir itu banyak juga manfaatnya untuk kehidupan kita, salah satunya bisa diterapkan dalam bidang kedokteran, apanya sih yang bisa diaplikasikan untuk bidang kedokteran.
Kedokteran Nuklir menggunakan isotop radioaktif untuk melakukan diagnosa dan terapi yang dihasilkan dari reaktor nuklir, radioaktif yang sering digunakan diantaranya adalah Tc 99 m yang memiliki sifat ideal dari segi proteksi radiasi, selain itu dapat diperoleh dengan mudah dan harganya relatif murah dan I 131 untuk penggunaan penyakit kanker kelenjar tiroid serta radioisotop lainnya yang bisa dimanfaatkan untuk kesembuhan penyakit tertentu . Penggunaan radioisotop ke dalam tubuh manusia tersebut akan sangat bermanfaat untuk penyembuhan berbagai penyakit yang ada di dalam tubuh.
Proses pemasukan radioisotop ke dalam tubuh manusia terdiri atas 2 cara :
  • Studi in-vivo
  • Studi in-vitro
  1. Studi in vivo : Memasukkan radioaktof tersebut ke dalam tubuh pasien melalui mulut, suntikan  atau inhalasi hal yang diperoleh berupa citra atau gambar bagian tubuh pasien, kurva-kurva kinetika radioisotop
  2. Studi in vitro : Dari tubuh pasien diambil sejumlah tertentu bahan biologis misalnya 1 ml darah, cuplikan biologis itu dicampur dengan zat radioisotop kemudian diperiksa melalui detektor radiasi gamma ditambah sistem instrumentasi, studi in vitro ini dilakukan untuk mengetahui kandungan hormon-hormon tertentu dalam tubuh pasien.
Radioisotop yang digunakan untuk diagnosis memiliki dosis yang kecil, sedangkan untuk terapi memiliki dosis yang besar, berikut syarat-syarat rancangan radiofarmaka yang digunakan untuk diagnostik dan terapi :
  • Diagnostik : 
- Waktu paruh pendek
- Aktivitas serendah mungkin
- Pemancar gamma
- Suntikan harus steril
- Energi yang dipancarkan 30-600 keV
  • Terapi 
- Waktu paruh panjang
- Aktivitas disesuaikan dengan perhitungan yang diperlukan
- Pemancaran beta murni
-Terlokalisir di tempat yang diobati
- Energi yang dipancarkan antara 500-1000 keV
Terus apa bedanya kedokteran nuklir dengan radiologi ???
                             
KedokteranNuklir
Radiologi
Sumber Radiasi
Zat radioaktif yang terbuka
Pesawat pembangkit radiasi
Pembentukan Citra
Emisi radiasi, perbedaan akumulasi radioisotop dalam berbagai bagian tubuh
Transmisi radiasi, perbedaan daya tembus radiasi terhadap berbagai bagian tubuh
Informasi yang diberikan
Fungsional
Anatomis-morfologis
Keperluan terapi
pesawat Cobalt-60
Pesawat LINAC. sinar-x, CT-scan
Miracle of Life 

No comments:

Post a Comment