Sunday 29 January 2012

Single photon emission computed tomography (SPECT)

SPECT membentuk citra transversal distribusi nuklida pemancar sinar x atau gamma dalam pasien. Citra proyeksi planar standar diperoleh dari putaran 180° (umumnya SPECT untuk jantung) dan 360° (untuk SPECT bukan jantung). Umumnya SPECT menggunakan satu atau lebih head/kepala sintilasi kamera yang bergerak mengelilingi pasien.



Dalam tomografi dengan emisi ada 3 keterbatasan fundamental yang harus diperhatikan. Pertama collection effeciency, radiasi gamma dipancarkan ke segala arah lapisan, namun hanya yang masuk ke detektor yang dipakai untuk pencitraan. Oleh karenanya efesiensi sangat terbatas, kecuali bila pasien dapat dikelilingi oleh detektor. Kedua atenuasi radiasi gamma oleh pasien. Penyederhanaan telah dilakukan dengan menjumlahkan pencacahan dari dua detektor yang berhadapan ataupun dari beberapa detektor. Oleh karenanya perlu faktor koreksi. Namun koreksi atenuasi teliti tidak diperlukan dalam SPECT. Ketiga adalah masalah umum dalam kedokteran nuklir, yakni waktu koleksi hanya merupakan fraksi waktu radiasi gamma dipancarkan. Dengan demikian citra dibentuk dengan foton yang sangat terbatas.

Pembentukan citra dilakukan dengan kepala kamera bergerak mengelilingi pasien mengambil data dari berbagai sudut. Pengambilan data dapat secara kontinu (continues acquisition) selama kepala kamera bergerak, ataupun pada saat kepala kamera berhenti pada suatu sudut tertentu (step and shoot acquisition). Bila kepala kamera dapat membentuk citra ideal, maka gerakan kepala kamera dari atas dan bawah pasien secara berbarengan dengan gerakan 180° harusnya telah dapat dipakai untuk rekonstruksi citra transversal.

Atenuation medium (setengah ketebalan pasien) mengurangi foton yang sampai pada head detektor, mengakibatkan blur/kekaburan citra yang dipengaruhi oleh jarak dari kolimator. Untuk mengurangi blur akibat gerakan kepala kamera, pesawat model baru dilengkapi dengan sistem untuk gerakan kamera mengikuti body contouring. 



Untuk brain SPECT, memungkinkan gerakan kepala kamera dengan radius relatif lebih pendek, sehingga resolusi spasial dalam citra menjadi tinggi. Pada pesawat lama, pemeriksaan kepala yang memasukkan base of the brain (pangkal otak) yang harus melewati bahu, mendapatkan kesulitan. Namun pada pesawat modern sudah dapat dilakukan pencitraan kepala/brain dengan memasukkan bahu pasien pada lapangan gerakan kepala kamera.

Dari data piksel citra lapisan transversal dapat dibentuk citra coronal dan sagital. Untuk pencitraan jantung, diperlukan citra oblique dengan arah paralel ataupun tegak lurus sumbu panjang ventrical kiri. Karena anatomi setiap pasien unik, maka sumbu panjang jantung pada monitor harus ditandai terlebih dahulu.

Kolimator yang umum digunakan pada pesawat SPECT adalah kolimator parallel-hole. Namun telah diciptakan pula berbagai kolimator khusus. Sebagai contoh, fan beam kolimator yang merupakan hibrida dari kolimator konvergen dan paralel. Setiap baris piksel pada paralel kolimator arah y sesuai dengan satu slice citra proyeksi. Dengan kolimator konvergen, citra hasil citra akan mempunyai resolusi spasial lebih tinggi dibanding dengan arah kolimator parale-hole.  


Untuk mengurangi keterbatasan SPECT akibat kolimator dan waktu pengambilan data, telah dibuat SPECT yang dilengkapi dengan dua atau tiga kamera sintilasi yang dapat bergerak mengelilingi pasien. Dengan multi kepala kamera dimungkinkan untuk menggunakan kolimator resolusi relatif tinggi pada suatu batas kuantum mottle dalam pencitraan dibanding dengan kepala kamera tunggal.

Kepala kamera dobel saling berhadapan (180°) cocok untuk kepala dan leher, serta seluruh tubuh. Triple head, fixed angle camera bagus untuk head and neck serta tubuh, namun tidak cocok untuk planar seluruh tubuh, karena keterbatasan lebar kristal. Double head, dengan sudut variabel sudut lebih serba guna, dapat untuk pencitraan head and neck, whole body planar dengan konfigurasi 180°, serta untuk jantung dengan konfigurasi 90°. Bila dua kamera pada posisi 90°, keduanya tidak dapat dekat pasien tanpa sebagian tubuh pasien berada di luar FOV. Oleh karenanya diciptakan SPECT yang dilengkapi dengan kepala kamera dengan konfigurasi saling membentuk sudut 76°.


Positron Emission Tomography (PET)

PET membentuk citra distribusi nuklida pemancar positron dalam tubuh. Pada PET scanner beberapa barisan lingkar detektor mengelilingi pasien. Pencitraan menggunakan annihilation coincidence detection (ACD) sebagai pengganti kolimator untuk memperoleh proyeksi distribusi aktivitas dalam tubuh. Sistem komputer merekonstruksi citra tranversal dari data proyeksi. PET modern merupakan pesawat multislice, dapat mengambil citra sebanyak 45 slice sepanjang 16 cm. Meskipun berbagai radiofarmaka pemancar positron yang dapat digunakan dalam pemeriksaan dengan PET, namun yang umum dipakai saat ini adalah 18 fluorodeoxyglucose (FDG), glukosa yang dapat untuk membedakan neoplasma malignant dan jaringan jinak, staging neoplasma malignant, dan berbagai aplikasi lainnya.

Pancaran positron mengikuti reaksi inti berikut:


Sebagai contoh unsur 18F yang memancarkan positron,


Positron dengan kinetik energi akan berinteraksi dengan medium sekelilingnya, menghasilkan ionisasi dan eksitasi. Pada saat energinya habis, mendekati diam, positron akan menangkap elektron diam, dan berubah menjadi 2 foton, masing-masing dengan energi 0.511 MeV dengan arah saling berlawanan. Proses demikian dikenal sebagai proses annihilasi. Dalam zat cair ataupun padat sebelum proses annihilasi positron bergerak hanya dalam jarak dekat.


Bila kedua foton hasil anihilasi berinteraksi dengan detektor, maka kedua detektor tentunya akan berada pada satu garis sesuai dengan arah kedua foton. Rangkaian yang dapat mengidentifikasi interaksi dalam waktu bersamaan disebut annihilation coincidence detection (ACD).


A true coincidence merupakan interaksi simultan berasal dari satu transformasi nukklir. A random coincidence yang sering juga disebut accidental atau chance coincidence, menyerupai koinsidens sebenarnya, terjadi pada saat pancaran dari transformasi nuklir berbeda berinteraksi dengan detektor secara simultan. A scatter coincidence terjadi bila satu atau kedua foton dari satu anihilasi dihamburkan, tetapi keduanya terdeteksi. Koinsidens hamburan dan koinsidens sembarang menjadi noise dalam pembentukan citra dan mengurangi kontras citra.


Kristal sintilasi yang digabung dengan PMT (photomultiplier) dipakai sebagai detektor dalam PET. Pada permulaan PET scanner, setiap kristal sintilasi dihubungkan dengan satu PMT, ukuran kristal berkontribusi besar dalam menentukan resolusi spasial citra, sehingga mengurangi ukuran kristal akan menaikkan resolusi, namun menambah jumlah kristal. Desain PET modern menggunakan kristal besar dengan lebih dari satu PMT.

Material sintilasi harus memancarkan cahaya secepatnya agar interaksi koinsidens sebenarnya dapat dibedakan dengan koinsidens sembarang dan mengurangi kehilangan cacahan dalam laju interaksi tinggi akibat dead-time. Selain itu untuk meningkatkan efesiensi, material harus mempunyai koefesien linier atenuasi tinggi untuk foton 0.511 MeV.Saat ini PET umumnya menggunakan kristal bismuth germanate (Bi4Ge3O12) yang sering disingkat sebagai BGO. Output cahaya BGO hanya 12% - 14% dari NaI(Tl), namun densitas dan nomer atom efektif yang lebih tinggi mengakibatkan efesiensi mendeteksi foton 0.51 MeV meningkat. Material sintilasi lain adalah lutetium oxyorthosilicate (Lu2SiO4O) yang disingkat LSO dan gadolinium oxyorthosilicate (Gd2SiO4O) disingkat GSO, dan keduanya diaktivasi dengan cerium. Keduanya menghasilkan cahaya lebih cepat sehingga dapat memiliki kinerja yang lebih baik pada laju interaksi tinggi, mengurangi efek dead time dalam membedakan koinsidens sebenarnya dan sembarang. Sayangnya LSO sedikit mengandung radioisotop (Lu alami mengandung 2.6% Lu 176 yang radioaktif)




No comments:

Post a Comment