PENGUKURAN DENSITAS TULANG
Dengan meningkatnya kepedulian
masyarakat terhadap masalah osteoporosis dan juga berkembangnya berbagai
jenis pengobatan, memerlukan pembuktian untuk manfaat dan
kemanjurannya. Kenyataan ini menuntut adanya fasilitas diagnosis dan
penilaian osteoporosis dengan lebih tepat. Pengukuran mineral tulang
merupakan komponen utama dan merupakan salah satu penentu dalam
menegakkan diagnosis osteoporosis. Dalam menghadapi tantangan tersebut,
telah berkembang banyak sekali teknik-teknik untuk mengukur massa
tulang, mineral tulang atau aspek lain yang berkaitan dengan massa atau
stabilitas tulang kerangka. Dari berbagai kemajuan teknik dan
penemuan-penemuan terbaru yang mendapatkan perhatian sangat besar dan
mempunyai validitas biologik adalah Dual Energy Absorptiometry (DEXA).
Alat tersebut sampai saat ini yang dipakai sebagai baku emas dalam
menegakkan diagnosis osteoporosis.
Berbagai Teknik Pengukuran BMD
Single energy absorptiometry digunakan
untuk mengukur densitas tulang pada sisi atau bagian perifer, misalnya
tumit atau lengan bawah. Single photon absorptio-metry (SPA) memakai
sumber photon antara lain iodine125 dan pancaran photon akan menembus
sejumlah jaringan mineral tulang yang akan dihitung dan dilaporkan
sebagai densitas mineral. Single energy X-ray Absorptiometry (SXA) pada
saat ini telah digantikan dengan Single Photon Absorptiometry (SPA) dan
teknik ini digunakan untuk scanning pergelangan tangan saja sedang untuk
mengukur densitas vertebra dan panggul teknik ini tidak dapat
memberikan hasil secara tepat. Vertebra dan panggul hanya dapat diukur
dengan tepat memakai teknik dual energy absorptiometry memakai photon
(DPA) atau x-ray (DXA atau DEXA). Sejumlah kalsium yang berada pada
tempat yang diukur disebut Bone Mineral Content (BMC). Apabila BMC
didapat dengan cara pengukuran area atau volume (region of interest =
ROI) maka akan didapatkan nilai BMD. Pada Single ataupun Dual energy
absorptiometry tidak dapat mengukur BMD secara volumetrik akan tetapi
secara areal dengan satuan g/cm2.
Metoda Quantitative Ultrasound (QUS)
termasuk Broad-band Ultrasound Attenuation (BUA), Speed of Sound (SOS)
atau Ultrasound Velocity (UV) akhir-akhir ini telah dipasarkan dan telah
dilakukan evaluasi secara luas manfaatnya untuk mengukur status tulang
(osteoporosis) pada tumit dan jari. Hal yang menarik dalam pemakaian
alat ini adalah pada biaya (low cost), mudah dibawa (portability) dan
tanpa radiasi, serta disamping dapat memberikan informasi mengenai massa
tulang juga dapat menilai organisasi struktur tulang. Teknik ini
disarankan untuk dipakai mengukur risiko fraktur pada manula, dimana
nilai prognostiknya hampir sama dengan pengukuran memakai teknik DEXA.
Sedang aplikasi klinis lain dari QUS misalnya untuk memonitor
progresivitas BMD atau menilai respon terhadap terapi masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
Computerised Tomography (CT) telah
dipakai untuk mengukur densitas tulang baik pada tulang tangan maupun
pada vertebra. Keuntungan utama metoda ini dalam mengukur densitas
tulang trabekula, menunjukkan densitas tulang secara volumetrik murni,
berbeda dengan DEXA yang hanya mampu memberikan densitas tulang areal.
Tulang trabekula lebih responsif terhadap berbagai intervensi dari pada
tulang kortikal, jadi dengan teknik ini sangat baik untuk memonitor
hasil terapi. Walaupun demikian pada penyakit degeneratif yaitu
osteoartritis vertebrae teknik CT tidak dapat memberikan hasil yang
cukup baik seperti halnya pada teknik DEXA. Kerugian teknik ini adalah
adanya radiasi dan biaya pemeriksaannya mahal.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat
mendeteksi densitas tulang secara tidak langsung. Kelemahan teknik ini
adalah bahwa penderita harus dalam posisi tetap diam dalam waktu yang
lama serta biaya pemeriksaanya mahal. Pada saat ini pemeriksaan MRI
tulang tetap dipakai untuk keperluan penelitian. (Kanis et al,1996)
Berbagai teknik untuk pengukuran massa
tulang, mineral tulang atau aspek yang berhubungan dengan massa atau
struktur tulang telah berkembang dengan pesat. Dari berbagai teknik
tersebut yang mendapatkan perhatian sangat besar sehubungan dengan
perkembangan teknik dan validitas biologi adalah dual energy
absorptiometry (DEXA) dan sampai saat ini merupakan baku emas untuk
keperluan tersebut.
Aspek Klinis
Dalam kaitannya dengan osteoporosis,
pengukuran densitas tulang dapat dipakai untuk menentukan 3 hal, yaitu:
1)diagnosis, 2)menilai prognosis dan 3)memonitor penderita dengan atau
tanpa pengobatan.(Kanis JA,2002)
1. Diagnosis osteoporosis
Sejak beberapa tahun yang lalu telah
diambil kesepakatan tentang definisi osteoporosis, yaitu penyakit
sistemik progresif, ditandai dengan massa tulang yang rendah disertai
kerusakan mikroarsitektur jaringan tulang dengan risiko terjadinya
fragilitas tulang dan rentan terhadap fraktur.(Kanis et al,1996)
Dari definisi tersebut diatas densitas
tulang yang rendah merupakan komponen penting untuk terjadinya risiko
fraktur walaupun demikian disamping itu fraktur dapat pula terjadi
sebagai akibat atau faktor diluar skeleton yaitu terjatuh (mudah
terjatuh). Walaupun demikian hanya densitas tulang saja yang dapat
diukur dengan tepat dan akurat oleh karena itu pengukuran densitas
tulang dipakai sebagai dasar untuk menegakkan diagnosis osteoporosis.
Atas dasar pengukuran densitas tulang memakai DEXA, secara umum WHO
telah mengemukakan 4 kriteria diagnostik : (WHO,1994)
1. Normal. Apabila nilai densitas tulang sebesar sampai dengan – 1SD dari rata-rata densitas tulang wanita usia muda.
2. Massa tulang rendah (osteopeni). Apabila nilai densitas tulang lebih kecil dari – 1SD dan lebih besar dari – 2,5 SD.
3. Osteoporosis. Apabila nilai densitas tulang sama atau lebih kecil dari – 2,5 SD.
4. Osteoporosis berat. Apabila nilai densitas tulang sama atau lebih kecil dari
5. – 2,5 SD disertai dengan satu atau lebih fraktur (fraktur oleh karena osteoporosis).
2. Massa tulang rendah (osteopeni). Apabila nilai densitas tulang lebih kecil dari – 1SD dan lebih besar dari – 2,5 SD.
3. Osteoporosis. Apabila nilai densitas tulang sama atau lebih kecil dari – 2,5 SD.
4. Osteoporosis berat. Apabila nilai densitas tulang sama atau lebih kecil dari
5. – 2,5 SD disertai dengan satu atau lebih fraktur (fraktur oleh karena osteoporosis).
Pada kaum wanita bone loss terjadi lebih
nyata terutama sesudah menopause. Karena distribusi massa tulang pada
populasi tersebut normal, proporsi wanita yang terkena osteoporosis
(pada sisi atau bagian manapun) naik secara mencolok dengan bertambahnya
umur yang hampir sama kejadiannya dengan risiko fraktur yang meningkat
juga dengan bertambahnya umur. (Kanis et all,1996; Kanis,2002)
Apabila pengukuran dibuat pada satu
sisi, contohnya pada panggul, maka prevalensi osteoporosis pada panggul
kurang lebih satu dibanding enam wanita Kaukasia dan sebanding pula
dengan risiko fraktur pada panggul. Jika pengukuran dibuat pada bagian
tubuh yang rentan terhadap terjadinya fraktur (tulang belakang,
pergelangan tangan atau panggul) maka prevalensinya adalah 30-40%
sebanding dengan risiko fraktur.
Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis
pada pria berdasarkan pengukuran densitas tulang dipakai cutoff point
sama dengan pada wanita yaitu –2,5 SD dibawah rata-rata untuk
wanita.(Kanis et al,1996)
Menurut Lundeen et al (2001), pengukuran
BMD dengan teknik DEXA pada tulang trabekuler merupakan prediktor kuat
untuk osteoporosis akan tetapi tidak pada tulang kortikal walaupun
perubahannya sangat signifikan pada kelompok usia tua.
Keakuratan diagnosis
Densitas mineral tulang dalam populasi
didistribusikan secara normal. Kegunaan DEXA atau alat lain untuk
menegakkan diagnosis osteoporosis sangat tergantung pada keakuratan alat
tersebut. Diagnosis osteoporosis yang ditegakkan berdasarkan atas cara
tersebut dibagi dalam 3 tingkatan nilai densitas tulang dengan tepat,
oleh karena itu alat-alat tersebut harus mempunyai tingkat keakuratan
yang baik. Tingkat keakuratan alat-alat tersebut ditentukan oleh alatnya
sendiri dan pemakainya atau penerapan cara pemakaian alat tersebut.
Kesalahan dalam keakuratan (accuracy error) pengukuran densitas tulang
memakai teknik absorptiometrik berkisar antara 2-10% dan kesalahan yang
paling besar terjadi pada pengukuran vertebrae lumbal. Pada keadaan
dimana terjadi osteoartritis vertebrae lumbal, kalsifikasi vaskuler
(aorta abdominalis) dan fraktur yang pernah terjadi pada vertebrae
lumbal akan mengacaukan hasil pengukuran pada tempat tersebut.
Heterogenitas yang disebabkan oleh osteoartitis atau fraktur sebelumnya
pada umumnya dapat dideteksi dengan melakukan scanning atau pemeriksaan
radiologik sederhana sebelum dilakukan pemeriksaan densitas tulang dan
apabila terdapat hal-hal seperti tersebut diatas maka bagian yang
mengalami kelainan tersebut tidak dimasukkan dalam analisa. Menurut
penelitian Paiva LC et al (2002) adanya osteofit ataupun fraktur pada
vertebrae lumbal pada pemeriksaan BMD akan memberikan hasil yang terlalu
tinggi. Untuk mengetahui apakah vertebrae tersebut utuh, terutama pada
kelompok lansia dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan radilogik
sederhana terlebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan BMD. Dengan
alasan tersebut diatas untuk menegakkan diagnosis osteoporosis lebih
disarankan untuk mengukur daerah panggul. Yang penting lagi dalam
pemakaian DEXA sebagai alat bantu diagnosis adalah menentukan densitas
tulang pada populasi setempat untuk dipakai sebagai referensi dari pada
memakai referensi yang telah disediakan oleh pabrik. (Kanis et al,1996)
Menurut penelitian Goldstein &
Nachtigall (1999) pemeriksaan ultrasonometri pada tumit untuk
mengidentifikasi osteoporosis pada penderita dengan risiko tinggi maupun
risiko rendah dapat dipakai dengan efektivitas sebesar 74%, dan akan
memberikan positif semu sebesar 10% dan negatif semu sebesar 6%.
2. Prognosis
Pemeriksaan densitas tulang disamping
berguna untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, dapat juga dipakai
untuk menentukan risiko fraktur dengan menentukan nilai batas densitas
tulang (cutoff for BMD) pada penderita-penderita dengan fraktur oleh
karena faktor osteoporosis. Dengan demikian pengukuran densitas tulang
juga dipakai untuk mengukur atau menentukan risiko fraktur sehingga
diperlukan lebih dari satu nilai batas (cutoff point).
Secara klinis makna dari osteoporosis
terletak pada makin meningkatnya angka kejadian fraktur. Pengukuran
massa tulang untuk menilai prognosis juga tergantung pada ketepatan atau
keakuratan hasil pengukuran. Yang dimaksud dengan ketepatan untuk
menilai prognosis adalah kemampuan dari hasil pengukuran tersebut untuk
memprediksi terjadinya fraktur dikemudian hari. Oleh karena itu
perhatian pada pengukuran densitas tulang pada saat ini tidak hanya
ditujukan untuk menegakkan diagnosis osteoporosis saja akan tetapi mulai
banyak ditujukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya fraktur
dikemudian hari dalam menentukan prognosisnya. Pada umumnya dalam
menentukan prognosis, teknik absorptiometrik mempunyai spesifisitas yang
tinggi akan tetapi sensitivitasnya rendah, dimana untuk menentukan
kelompok risiko tinggi (high risk) nilai batas ambang atau cutoff
point-nya sangat bervariasi. Telah banyak dilakukan
penelitian-penelitian dengan memakai alat DEXA secara prospektif
menunjukkan bahwa risiko relatif untuk terjadinya fraktur meningkat
sebesar 1,5 – 3,0 kali lipat untuk setiap penurunan SD densitas tulang.
Ketepatan dalam menentukan prognosis akan meningkat apabila
mempertimbangkan pula faktor-faktor risiko lainnya termasuk : marker
biokimia untuk resorpsi atau formasi, riwayat fraktur osteoporosis
sebelumnya dan faktor risiko lain diluar densitas tulang antara lain
stabilitas postural. Ketepatan juga akan bertambah baik apabila
pengukurannya dilakukan pada tempat-tempat khusus, misalnya untuk
meramalkan kemungkinan terjadinya fraktur Colles yang diukur sebaiknya
daerah pergelangan tangan dan untuk meramalkan kemungkinan terjadinya
fraktur pada panggul (hip) pengukuran dilakukan pada panggul. Pada
populasi yang baru saja mengalami menopause, untuk menduga atau
meramalkan kemungkinan terjadinya fraktur dapat dilakukan pengukuran
dimana saja (panggul, vertebrae lumbal atau pergelangan tangan) dengan
ketepatan yang sama. Akan tetapi pada kelompok masyarakat manula
pengukuran pada daerah panggul merupakan tempat yang paling aman dari
kesalahan-kesalahan.
Estimasi fraktur berdasarkan atas
pengukuran densitas tulang sebanding dengan estimasi risiko stroke
berdasarkan pengukuran tekanan darah. Nilai tekanan darah dalam populasi
didistribusikan seperti pada densitas tulang. Dengan cara yang sama,
apabila seseorang mempunyai tekanan darah diatas cutoff point
didiagnosis sebagai hiperetensi; demikian pula dengan diagnosis
osteoporosis yang berdasarkan atas nilai densitas tulang dibawah cutoff
point. Seperti halnya dengan nilai ambang tekanan darah untuk
memprediksi stroke, tidak ada nilai ambang densitas tulang yang mutlak
yang dapat dipakai untuk membedakan mana yang pasti akan terjadi fraktur
dan mana yang tidak. Penampilan densitas tulang untuk memprediksi
fraktur paling sedikit sama dengan nilai tekanan darah dalam memprediksi
stroke. Meskipun demikian harus diketahui dan disadari bahwa pada
seseorang dengan densitas tulang yang normal tidak ada jaminan bahwa
fraktur tidak akan terjadi, hanya saja risikonya sangat rendah. (Kanis
et al,1996)
3. Monitor
Teknik DEXA atau SXA sampai saat ini
masih tetap merupakan baku emas dalam pengukuran densitas tulang,
walaupun demikian masih tetap mempunyai kesalahan yang besarnya berkisar
antara 1-2%. Terapi osteoporosis dinilai berhasil apabila terjadi
peningkatan BMD sebesar 3-6%. (WHO,1994) Perubahan densitas tulang yang
dapat dideteksi dengan sangat jelas sebagai respon terhadap terapi
adalah tulang trabekuler, misalnya vertebrae. Untuk menilai keberhasilan
terapi, pengukuran BMD ulang sebaiknya dilakukan lebih dari satu tahun,
oleh karena pengukuran ulang BMD kurang dari satu tahun sejak
dimulainya terapi tidak dapat dipakai untuk menilai keberhasilan
terapi.(Kanis,2002)
Menurut penelitian Rosenthall et al (1999) disimpulkan bahwa pengukuran BMD pada kalkaneus dengan teknik ultrasonografi tidak dapat dipakai untuk memprediksi atau memonitor respon terapi pada penderita osteoporosis.
Menurut penelitian Rosenthall et al (1999) disimpulkan bahwa pengukuran BMD pada kalkaneus dengan teknik ultrasonografi tidak dapat dipakai untuk memprediksi atau memonitor respon terapi pada penderita osteoporosis.
Skor T dan Z
Skor T adalah nilai BMD yang menunjukkan
berapa SD diatas atau dibawah BMD rata-rata kelompok umur dewasa muda
(25-35 tahun) dimana pada umur tersebut BMD akan mencapai puncaknya
(peak bone mass) yang dipakai sebagai referensi, tanpa memperhatikan
umur penderita yang diukur BMD-nya. Skor T disebut juga young adult mean
peak BMD.
Skor Z adalah nilai BMD yang menunjukkan berapa SD diatas atau dibawah BMD rata-rata kelompok umur yang sesuai (umur, gender dan bangsa harus sesuai). Jadi disini umur penderita dan umur kelompok referensi hasur seimbang atau sesuai. Skor Z disebut juga age match average BMD.(Wahner & Folgemal,1994; Kanis et al,1996)
Skor Z adalah nilai BMD yang menunjukkan berapa SD diatas atau dibawah BMD rata-rata kelompok umur yang sesuai (umur, gender dan bangsa harus sesuai). Jadi disini umur penderita dan umur kelompok referensi hasur seimbang atau sesuai. Skor Z disebut juga age match average BMD.(Wahner & Folgemal,1994; Kanis et al,1996)
Indikasi Pemeriksaan BMD
Kapan pemeriksaan BMD harus dilakukan ?
Ternyata banyak sekali kelompok-kelompok yang membuat ketentuan-ketentuan agak berbeda dalam menetapkan indikasi pemeriksaan BMD, alasan yang mereka ajukan antara lain adalah mahalnya biaya pemeriksaan dan tidak nyaman buat penderita. Beberapa indikasi pemeriksaan BMD tersebut adalah :
Ternyata banyak sekali kelompok-kelompok yang membuat ketentuan-ketentuan agak berbeda dalam menetapkan indikasi pemeriksaan BMD, alasan yang mereka ajukan antara lain adalah mahalnya biaya pemeriksaan dan tidak nyaman buat penderita. Beberapa indikasi pemeriksaan BMD tersebut adalah :
A. Medicare (HCFA) : (ISCD Certification Course,2000)
1. Wanita defisiensi estrogen dengan risiko osteoporosis (ditentukan oleh dokter);
2. Seseorang dengan abnormalitas vertebrae. Pemeriksaan x-ray menunjukkan osteopenia atau fraktur vertebra;
3. Seseorang yang mendapat terapi glukokortikoid (pemberian lebih dari 3 bulan dengan prednison dosis lebih dari 7,5 mg atau ekivalen);
4. Seseorang dengan hiperparatiroid primer;
5. Memonitor respon terapi pada osteoporosis yang telah disetujui FDA 2 tahun sekali;
6. Konfirmasi diagnosis, apabila telah dilakukan pemeriksaan dengan teknik lain dan hasilnya diragukan.
1. Wanita defisiensi estrogen dengan risiko osteoporosis (ditentukan oleh dokter);
2. Seseorang dengan abnormalitas vertebrae. Pemeriksaan x-ray menunjukkan osteopenia atau fraktur vertebra;
3. Seseorang yang mendapat terapi glukokortikoid (pemberian lebih dari 3 bulan dengan prednison dosis lebih dari 7,5 mg atau ekivalen);
4. Seseorang dengan hiperparatiroid primer;
5. Memonitor respon terapi pada osteoporosis yang telah disetujui FDA 2 tahun sekali;
6. Konfirmasi diagnosis, apabila telah dilakukan pemeriksaan dengan teknik lain dan hasilnya diragukan.
B. Indikasi Potensial Lain (ISCD Certification Course,
2000)
1. Pemeriksaan x-ray menunjukkan osteopeni
dimana-mana atau fraktur osteoporotik dimana saja;
2. Terapi glukokortikoid lebih dari 3 bulan tanpa melihat dosis;
3. Sedang mendapatkan terapi dengan obat-obatan yang diketahui dapat menyebabkan rapid bone loss, termasuk : phenytoin, heparin, hormon tiroid dosis supresi, GnRh antagonis, depo-provera, dan testosteron blocking agents;
4. Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan bone loss, a.l. : hipertiroid, anoreksia nervosa, defisiensi vitamin D, malabsorpsi intestinal, penyakit hati kronis, penyakit ginjal kronik, batu ginjal, hiperkalsiuri, inflamatory bowl disease, osteomalasia, orteogenesis imperfekta dan artritis reumatoid;
5. Memonitor semua penderita (tidak hanya wanita) yang menurut dokumentasi menderita osteoporosis;
6. Dengan riwayat keluarga fraktur osteoporosis.
2000)
1. Pemeriksaan x-ray menunjukkan osteopeni
dimana-mana atau fraktur osteoporotik dimana saja;
2. Terapi glukokortikoid lebih dari 3 bulan tanpa melihat dosis;
3. Sedang mendapatkan terapi dengan obat-obatan yang diketahui dapat menyebabkan rapid bone loss, termasuk : phenytoin, heparin, hormon tiroid dosis supresi, GnRh antagonis, depo-provera, dan testosteron blocking agents;
4. Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan bone loss, a.l. : hipertiroid, anoreksia nervosa, defisiensi vitamin D, malabsorpsi intestinal, penyakit hati kronis, penyakit ginjal kronik, batu ginjal, hiperkalsiuri, inflamatory bowl disease, osteomalasia, orteogenesis imperfekta dan artritis reumatoid;
5. Memonitor semua penderita (tidak hanya wanita) yang menurut dokumentasi menderita osteoporosis;
6. Dengan riwayat keluarga fraktur osteoporosis.
C. Menurut The National Osteoporosis
Foundation (NOF) pemeriksaan densitas tulang dibenarkan dalam 4 kasus :
(Hayes,1994; Johnston, Melton & Lindsay, 1995; Hayes &
Reinhard,1996)
1. Wanita dengan defisiensi estrogen, untuk menentukan adanya massa tulang yang rendah guna mengambil keputusan terapi misalnya HRT;
2. Penderita dengan abnormalitas vertebrae atau massa tulang yang rendah pada pemeriksaan x-ray, untuk menegakkan diagnosis osteoporosis spinal agar supaya dapat dibuat keputusan tentang diagnosis dan terapinya;
3. Penderita yang mendapat terapi kortikosteroid jangka lama untuk mengetahui adanya massa tulang yang rendah agar terapinya dapat disesuaikan;
4. Penderita dengan hiperparatiroid asimtomatik untuk mengetahui massa tulang yang rendah agar suapaya dapat diambil keputusan perlu tidaknya tindakan bedah.
1. Wanita dengan defisiensi estrogen, untuk menentukan adanya massa tulang yang rendah guna mengambil keputusan terapi misalnya HRT;
2. Penderita dengan abnormalitas vertebrae atau massa tulang yang rendah pada pemeriksaan x-ray, untuk menegakkan diagnosis osteoporosis spinal agar supaya dapat dibuat keputusan tentang diagnosis dan terapinya;
3. Penderita yang mendapat terapi kortikosteroid jangka lama untuk mengetahui adanya massa tulang yang rendah agar terapinya dapat disesuaikan;
4. Penderita dengan hiperparatiroid asimtomatik untuk mengetahui massa tulang yang rendah agar suapaya dapat diambil keputusan perlu tidaknya tindakan bedah.
D. Indikasi menurut The World Health Organization
(WHO), untuk penapisan : (WHO,1994)
1. Wanita postmenopause 5 tahun, untuk menentukan derajat osteoporosis dan menawarkan terapi atau intervensinya;
2. Tes tidak perlu dilakukan pada wanita-wanita yang memilih untuk diberikan HRT dalam jangka waktu lama, atau bila hasil tes tidak akan mengubah untuk menolak atau menerima terapi;
3. Wanita yang diketahui mempunyai risiko intermediate, tes ulang beberapa tahun kemudian mungkin akan mempunyai nilai.
(WHO), untuk penapisan : (WHO,1994)
1. Wanita postmenopause 5 tahun, untuk menentukan derajat osteoporosis dan menawarkan terapi atau intervensinya;
2. Tes tidak perlu dilakukan pada wanita-wanita yang memilih untuk diberikan HRT dalam jangka waktu lama, atau bila hasil tes tidak akan mengubah untuk menolak atau menerima terapi;
3. Wanita yang diketahui mempunyai risiko intermediate, tes ulang beberapa tahun kemudian mungkin akan mempunyai nilai.
E. The American Association of Clinical Endocrinologists (AACE) menganjurkan bahwa pengukuran densitas tulang dilakukan :
1. Untuk menilai risiko pada wanita peri atau postmenopause yang kuatir terhadap osteoporosis dan menginginkan intervensi;
2. Wanita yang diduga menggalami osteoporosis pada pemeriksaan x-ray;
3. Wanita yang menerima terapi glukokortikoid jangka lama, dimana pemberian intervensi adalah pilihan;
4. Untuk wanita peri atau postmenopause dengan hiperparatiroid primer asimtomatis dimana terdapat bukti adanya skeletal loss yang mengharuskan tindakan paratiroidektomi;
5. Untuk wanita yang sedang dalam pengobatan osteoporosis, untuk memonitor respon terapi.
1. Untuk menilai risiko pada wanita peri atau postmenopause yang kuatir terhadap osteoporosis dan menginginkan intervensi;
2. Wanita yang diduga menggalami osteoporosis pada pemeriksaan x-ray;
3. Wanita yang menerima terapi glukokortikoid jangka lama, dimana pemberian intervensi adalah pilihan;
4. Untuk wanita peri atau postmenopause dengan hiperparatiroid primer asimtomatis dimana terdapat bukti adanya skeletal loss yang mengharuskan tindakan paratiroidektomi;
5. Untuk wanita yang sedang dalam pengobatan osteoporosis, untuk memonitor respon terapi.
Faktor Risiko Osteoporosis
Mengenal faktor risiko osteoporosis
sangat penting oleh karena pada suatu penelitian dilaporkan bahwa pada
penderita osteoporosis vertebrae yang mendapatkan terapi adekwat
ternyata 20% penderita dengan riwayat fraktur osteoporosis akan
mengalami fraktur ulang. Banyak sekali faktor-faktor yang mendorong
terjadinya osteoporosis dan faktor ini disebut sebagai faktor risiko,
yaitu :
1. Penambahan umur;
2. Wanita menopause;
3. Wanita Kaukasia atau Asia;
4. Wanita kurus dengan tulang yang kecil;
5. Perokok;
6. Asupan kalsium rendah dalam waktu yang lama;
7. Peminum alkohol yang banyak;
8. Kurang olah raga beban;
9. Riwayat keluarga dengan fraktur atau osteoporosis;
10. Menopause dini, baik alami ataupun tindakan bedah;
11. Mendapat terapi : steroid, litium, antikonvulsan, tamoksifen;
12. Penyakit tertentu : endometriosis, artritis reumatoid dan gangguan hormon tertentu, dsb.
1. Penambahan umur;
2. Wanita menopause;
3. Wanita Kaukasia atau Asia;
4. Wanita kurus dengan tulang yang kecil;
5. Perokok;
6. Asupan kalsium rendah dalam waktu yang lama;
7. Peminum alkohol yang banyak;
8. Kurang olah raga beban;
9. Riwayat keluarga dengan fraktur atau osteoporosis;
10. Menopause dini, baik alami ataupun tindakan bedah;
11. Mendapat terapi : steroid, litium, antikonvulsan, tamoksifen;
12. Penyakit tertentu : endometriosis, artritis reumatoid dan gangguan hormon tertentu, dsb.
Penulis lain membagi faktor risiko osteoporosis menjadi :
A. Faktor yang tak dapat dikendalikan :
1. Gender : wanita 4 kali lebih rentan untuk mendapatkan osteoporosis dari pada pria;
2. Bangsa : sering pada bangsa Kaukasia dan Asia;
3. Keturunan : cenderung untuk mendapatkan osteoporosis apabila orng tua, kakek/nenek menderita osteoporosis;
4. Badan kurus atau tulang kecil;
5. Umur, risiko akan bertambah dengan bertambahnya umur.
A. Faktor yang tak dapat dikendalikan :
1. Gender : wanita 4 kali lebih rentan untuk mendapatkan osteoporosis dari pada pria;
2. Bangsa : sering pada bangsa Kaukasia dan Asia;
3. Keturunan : cenderung untuk mendapatkan osteoporosis apabila orng tua, kakek/nenek menderita osteoporosis;
4. Badan kurus atau tulang kecil;
5. Umur, risiko akan bertambah dengan bertambahnya umur.
B. Fator risiko yang dapat dikendalikan :
1. Asupan kalsium : asupan kalsium rendah akan meningkatkan faktor risiko osteoporosis;
2. Olah raga : olah raga beban yang teratur akan mengurangi faktor risiko osteoporosis;
3. Peminum alkohol : peminum alkohol akan meningkatkan risiko osteoporosis;
4. Asupan estrogen : asuipan estrogen sesudah menopause akan menurunkan risiko osteoporosis;
5. Obat-obatan : obat-obatan tertentu yang diminum secara teratur dapat meningkatkan risiko osteoporosis, antara lain : steroid, litium, antikonvulsan, tamoksifen 6. Penyakit-penyakit tertentu dapat meningkatkan risiko osteoporosis : endometriosis, artritis reumatoid, gangguan hormon tertentu, dsb.
1. Asupan kalsium : asupan kalsium rendah akan meningkatkan faktor risiko osteoporosis;
2. Olah raga : olah raga beban yang teratur akan mengurangi faktor risiko osteoporosis;
3. Peminum alkohol : peminum alkohol akan meningkatkan risiko osteoporosis;
4. Asupan estrogen : asuipan estrogen sesudah menopause akan menurunkan risiko osteoporosis;
5. Obat-obatan : obat-obatan tertentu yang diminum secara teratur dapat meningkatkan risiko osteoporosis, antara lain : steroid, litium, antikonvulsan, tamoksifen 6. Penyakit-penyakit tertentu dapat meningkatkan risiko osteoporosis : endometriosis, artritis reumatoid, gangguan hormon tertentu, dsb.
Simpulan
- Kasus, fasilitas diagnosis dan pengobatan osteoporosis pada saat ini telah meningkat dan maju dengan pesat.
- Pemeriksaan densitas tulang, merupakan pemeriksaan penunjang utama dalam menegakkan diagnosis osteoporosis.
- Berbagai alat pengukur BMD telah beredar dipasaran, dan saat ini banyak dipakai adalah alat dengan teknik x-ray dan ultrasoud.
- Teknik x-ray (DEXA) dapat dipakai untuk 3 hal, menegakkan diagnosis, menentukan prognosis dan memonitor terapi.
- Teknik DEXA sampai saat ini merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis osteoporosis, sayangnya masih perlu biaya mahal.
- Teknik ultrasoud lebih dianjurkan untuk tes penapisan oleh karena murah dan mudah dibawa.
- Biaya pemeriksaan BMD dengan teknik DEXA – mahal, oleh karena itu muncul berbagai kriteria indikasi dari berbagai sumber untuk membatasi pemeriksaan ini.
- Untuk menentukan prognosis osteoporsis sangat dipengaruhi oleh faktor risiko.
- Pemeriksaan densitas tulang, merupakan pemeriksaan penunjang utama dalam menegakkan diagnosis osteoporosis.
- Berbagai alat pengukur BMD telah beredar dipasaran, dan saat ini banyak dipakai adalah alat dengan teknik x-ray dan ultrasoud.
- Teknik x-ray (DEXA) dapat dipakai untuk 3 hal, menegakkan diagnosis, menentukan prognosis dan memonitor terapi.
- Teknik DEXA sampai saat ini merupakan baku emas dalam menegakkan diagnosis osteoporosis, sayangnya masih perlu biaya mahal.
- Teknik ultrasoud lebih dianjurkan untuk tes penapisan oleh karena murah dan mudah dibawa.
- Biaya pemeriksaan BMD dengan teknik DEXA – mahal, oleh karena itu muncul berbagai kriteria indikasi dari berbagai sumber untuk membatasi pemeriksaan ini.
- Untuk menentukan prognosis osteoporsis sangat dipengaruhi oleh faktor risiko.
Daftar Pustaka
1. AACE clinical practice guidelines for
the prevention and treatment of postmenopausal osteoporosis. Endocr
Pract 1996;2:157-171. In: Institute for Clinical Systems Integration:
Densitometry as a screening tool for osteoporosis in women. Technology
assessment report. 1997;31:1-26.
2. Goldstein SR, Nachtigall LE. Quantitative ultrasound of the Calcaneus : Comparison with dual energy x-ray absorptiometry (DXA) of the hip. Insight, 1999, 10:16-17.
3. Hayes WS: Bone density studies : dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA). 1994;1-11.
4. Hayes D, Reinhard, JD. Bone densitometry measurement. Buffalo: NY: TEMINEX. Technology Assessment Report. 1996;132:1-21. Johnston CC, Melton LJ, Lindsay R, Eddy DM: Clinical indicators for bone mass measurements: report of the Scientific Advisory Committee to the National Osteoporosis Foundation. J Bone Miner Res 1989;4:1-28. In: ECRI: Bone mineral density screening for osteoporosis. Health technology assessment report. Plymouth Meeting: PA: Health Technology Assessment Information Service. 1995;1-134.
5. ISCD Certification Course. Clinical Track. Learning objective, Core teaching points, and Suggested readings. Hongkong, February 15,2000.
6. Kanis JA, McCloskey EV, Beneton MNC, Bernard J, de Takats D. Bone measurements with DXA and ultrasound : diagnostic and prognostic use. In : Papapoulos SE, Lips P, Pols HAP, Johnston CC, Delmas PD. Eds. Osteoporosis 1996. Proceeding of the 1996 World Congress on Osteoporosis Amsterdam, The Nederlands, 18-23 May, 1996. Elsevier, 1996:181-190.
7. Kanis JA. Bone Density and Ultrasound – Use and Abuse. The Pathophysiology of Osteoporosis and Bone Doisease. The Fifth International Training Course on Osteoporosis for Industry, Specialis and General Practioners. Bali, 30-31 August – 1 September 2002.
8. Lundeen GA, Knecht SL, Vajda EG, Bloebaum RD, and Hofmann AA. The contribution of cortical and cancellous bone to dual-energy X-ray absorptiometry measurements in the female proximal f
emur.
Osteoporos Int, January 1, 2001; 12(3): 192-8.
9. Paiva LC, Filardi S, Pinto-Neto AM, Samara A, and Marques Neto JF. Impact of degenerative radiographic abnormalities and vertebral fractures on spinal bone density of women with osteoporosis.
Sao Paulo Med J, January 3, 2002; 120(1): 9-12.
10. Rosenthall L, Caminis J, Tenehouse A. Calcaneal ultrasonometry : respon to treatment in comparison with dual x-ray absorptiometry measurements of the lumbar spine and femur. Calcif Tisue Int, 1999, 64:200-204.
11. Wahner HW, Fogelman I. Clinical Bone Density. The evaluation of osteoporosis : Dual energy X-ray absorptiometry in clinical practice. Martin Dunitz Ltd, London, 1994:230-248.
12. World Health Organisation. Assesment of fracture risk and its aplication to screning for post menopausal oseoporosis. Report of a WHO study group. Geneva: WHO. 1994;843:1-129.
2. Goldstein SR, Nachtigall LE. Quantitative ultrasound of the Calcaneus : Comparison with dual energy x-ray absorptiometry (DXA) of the hip. Insight, 1999, 10:16-17.
3. Hayes WS: Bone density studies : dual-energy x-ray absorptiometry (DEXA). 1994;1-11.
4. Hayes D, Reinhard, JD. Bone densitometry measurement. Buffalo: NY: TEMINEX. Technology Assessment Report. 1996;132:1-21. Johnston CC, Melton LJ, Lindsay R, Eddy DM: Clinical indicators for bone mass measurements: report of the Scientific Advisory Committee to the National Osteoporosis Foundation. J Bone Miner Res 1989;4:1-28. In: ECRI: Bone mineral density screening for osteoporosis. Health technology assessment report. Plymouth Meeting: PA: Health Technology Assessment Information Service. 1995;1-134.
5. ISCD Certification Course. Clinical Track. Learning objective, Core teaching points, and Suggested readings. Hongkong, February 15,2000.
6. Kanis JA, McCloskey EV, Beneton MNC, Bernard J, de Takats D. Bone measurements with DXA and ultrasound : diagnostic and prognostic use. In : Papapoulos SE, Lips P, Pols HAP, Johnston CC, Delmas PD. Eds. Osteoporosis 1996. Proceeding of the 1996 World Congress on Osteoporosis Amsterdam, The Nederlands, 18-23 May, 1996. Elsevier, 1996:181-190.
7. Kanis JA. Bone Density and Ultrasound – Use and Abuse. The Pathophysiology of Osteoporosis and Bone Doisease. The Fifth International Training Course on Osteoporosis for Industry, Specialis and General Practioners. Bali, 30-31 August – 1 September 2002.
8. Lundeen GA, Knecht SL, Vajda EG, Bloebaum RD, and Hofmann AA. The contribution of cortical and cancellous bone to dual-energy X-ray absorptiometry measurements in the female proximal f
emur.
Osteoporos Int, January 1, 2001; 12(3): 192-8.
9. Paiva LC, Filardi S, Pinto-Neto AM, Samara A, and Marques Neto JF. Impact of degenerative radiographic abnormalities and vertebral fractures on spinal bone density of women with osteoporosis.
Sao Paulo Med J, January 3, 2002; 120(1): 9-12.
10. Rosenthall L, Caminis J, Tenehouse A. Calcaneal ultrasonometry : respon to treatment in comparison with dual x-ray absorptiometry measurements of the lumbar spine and femur. Calcif Tisue Int, 1999, 64:200-204.
11. Wahner HW, Fogelman I. Clinical Bone Density. The evaluation of osteoporosis : Dual energy X-ray absorptiometry in clinical practice. Martin Dunitz Ltd, London, 1994:230-248.
12. World Health Organisation. Assesment of fracture risk and its aplication to screning for post menopausal oseoporosis. Report of a WHO study group. Geneva: WHO. 1994;843:1-129.
Oleh :
Riardi Pramudiyo
Sub Unit Reumatologi, Bag/SMF Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS Perjan Hasan Sadikin Bandung
Riardi Pramudiyo
Sub Unit Reumatologi, Bag/SMF Penyakit Dalam
FK UNPAD/RS Perjan Hasan Sadikin Bandung
No comments:
Post a Comment