Tuesday, 5 March 2013

PENJAMINAN MUTU RADIOLOGI


BAB II

Regulasi Pemerintah tentang Jaminan Mutu Radiologi dan keselamatan radiologi


A. Kebijakan Penjaminanan Mutu Kementerian Kesehatan


1. Pendahuluan
Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan sampai saat ini telah berkembang dengan pesat, namun hal ini belum membuahkan hasil yang memuaskan dan belum dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat karena berbagai hambatan dan kendala, terutama dalam menghadapi desentralisasi dan globalisasi saat ini.

Mutu pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh berbagai sarana kesehatan pada berbagai tingkat pelayanan baik pemerintah maupun swasta juga belum merata dan belum sepenuhnya dapat memenuhi tuntutan kebutuhan pengguna jasa dan masyarakat.

Untuk mengatasi berbagai hal tersebut di atas maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan, karena dengan dilakukannya peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang berkesinambungan akan meningkatkan efisiensi pelayanan kesehatan, yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup individu dan derajat kesehatan masyarakat,

Kebijakan jaminan mutu pelayanan kesehatan akan menjadi pedoman bagi semua pihak dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan yang dimaksudkan adalah pelayanan kesehatan pada umumnya dan pelayanan penunjang kesehatan,


2. Pelayanan kesehatan dan Mutu Pelayanan

Mengacu pada ISO 2000, mutu diartikan sebagai “degree to which a set of inherent characteristics fulfills requirements.”  Mutu adalah sesuatu untuk menjamin pencapaian tujuan atau luaran yang diharapkan, dan harus selalu mengikuti perkembangan pengetahuan professional  terkini ( consist with current professional knowledge ). Untuk itu mutu harus  diukur dengan  derajat pencapaian tujuan. Berpikir tentang mutu berarti berpikir mengenai tujuan.  Mutu harus memenuhi  berbagai standar / spesifikasi.

Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan oleh berbagai sarana/unit pelayanan kesehatan haruslah dipandang sebagai suatu kegiatan yang menghasilkan produk dalam bentuk “pelayanan/service”’. Pelayanan yang berorientasi pada pasar ( market driven ) harus dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan/client satisfaction yang dapat terdiri dari pasien/keluarga/masyarakat, pemberi pelayanan/provider, pemasok  atau pihak berkepentingan lainnya.

Untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan maka berbagai komponen input, process dan output harus ditetapkan standar/spesifikasinya secara jelas dan rinci, mencakup aspek manajemen dan teknis dengan berpedoman pada pencapaian visi dan pewujudan misi yang telah ditetapkan bersama. Merumuskan visi dan misi harus dilakukan  secara bottom – up dan disosialisasikan kepada  seluruh karyawan.

Kebijakan dalam menjamin mutu pelayanan kesehatan, mencakup :

a.      Peningkatan kemampuan dan mutu pelayanan kesehatan melalui pengembangan dan pemantapan jejaring pelayanan kesehatan dan rujukannya serta penetapan pusat-pusat unggulan sebagai pusat rujukan (top referral).

b.      Penetapan dan penerapan berbagai standar dan pedoman dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini dan standar internasional .

c.      Peningkatan mutu sumber daya manusia diarahkan pada peningkatan profesionalisme mencakup  kompetensi, moral dan etika.

d.      Penyelenggaraan Quality Assurance untuk mengendalikan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan disertai dengan Evidence-based Parcipitatory Continuous Quality Improvement.

e.      Percepatan pelaksanaan aktreditasi yang diarahkan pada pencapaian akreditasi untuk berbagai aspek pelayanan kesehatan.

f.        Peningkatan public – private mix dalam mengatasi berbagai problem pelayanan kesehatan

g.      Peningkatan kerjasama dan koordinasi antar berbagai pihak yang berkepentingan dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

h.      Peningkatan peran serta masyarakat termasuk swasta  dan organisasi profesi dalam penyelenggaraan dan pengawasan pelayanan kesehatan.


Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan agar lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat, maka perlu dilaksanakan berbagai upaya. Upaya ini harus dilakukan secara sistematik, konsisten dan terus menerus. Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan mencakup :

a.      Penataan organisasi

Penataan organisasi menjadi organisasi yang efisien, efektif dengan struktur dan uraian tugas yang  tidak tumpang tindih, dan jalinan hubungan kerja yang jelas dengan berpegang pada prinsip organization through the function.

b.      Regulasi peraturan perundangan.

Pengkajian secara komprehensif terhadap berbagai peraturan perundangan yang telah ada dan diikuti dengan regulasi yang mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut di atas.

c.      Pemantapan jejaring.

Pengembangan dan pemantapan jejaring dengan pusat unggulan pelayanan dan sistem rujukannya akan sangat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan kesehatan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan mutu pelayanan.

d.      Standarisasi

Standarisasi merupakan kegiatan penting yang harus dilaksanakan, meliputi standar tenaga baik kuantitatif maupun kualitatif, sarana dan fasilitas, kemampuan, metode, pencatatan dan pelaporan dan lain-lain. Luaran yang diharapkan juga harus distandarisasi.


e.      Langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan radiologi diantaranya adalah:

1)     Pengembangan sumber daya manusia.

Penyelenggaraan berbagai pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan dan berkesinambungan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang profesional, yang kompeten dan memiliki moral dan etika, mempunyai dedikasi yang tinggi, kreatif dan inovatif serta bersikap antisipatif terhadap berbagai perubahan yang akan terjadi baik perubahan secara lokal maupun global.


2)     Quality Assurance

Berbagai komponen kegiatan quality assurance harus segera dilaksanakan dengan diikuti oleh perencanaan dan pelaksanaan berbagai upaya perbaikan dan peningkatan untuk mencapai peningkatan mutu pelayanan. Data dan informasi yang diperoleh dianalysis dengan cermat ( root cause analysis ) dan dilanjutkan dengan penyusunan rancangan tindakan perbaikan yang tepat dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Semuanya ini dilakukan dengan pendekatan “tailor’s model“ dan  Plan- Do- Control- Action  (PDCA)


3)     Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan dengan membangun kerjasama dan kolaborasi dengan pusat-pusat unggulan baik yang bertaraf lokal atau dalam negeri maupun internasional. Penerapan berbagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek pembiayaan.

4)     Peningkatan peran serta masyarakat dan organisasi profesi.

Peningkatan peran organisasi profesi terutama dalam pembinaan anggota sesuai dengan standar profesi  dan peningkatan mutu sumber daya manusia.

5)     Peningkatan kontrol sosial.

Peningkatan pengawasan dan kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan akan meningkatkan akuntabilitas, transparansi dan mutu pelayanan.

3. Kebijakan Jaminan Mutu Pelayanan Bidang Radiologi

Seperti halnya dengan pelayanan kesehatan pada umumnya, pelayanan bidang radiologi yang merupakan pelayanan penunjang kesehatan juga perlu menjaga dan meningkatkan mutu pelayanannya. Pelayanan radiologi merupakan pelayanan kesehatan yang menggunakan sinar peng-ion ataupun bahan radioaktif sehingga penggunaan bahan tersebut mempunyai dua sisi yang saling berlawanan, yaitu dapat sangat berguna bagi penegakan diagnosa dan terapi penyakit dan di sisi lain akan sangat berbahaya bila penggunaannya tidak tepat dan tidak terkontrol. Untuk itu setiap pengguna ataupun pelaksana pelayanan radiologi harus senantiasa merjamin mutu pelayanannya yaitu harus tepat dan aman baik bagi pasien, pekerja maupun lingkungan atau masyarakat sekitarnya.  

Kebijakan dan upaya peningkatan mutu pelayanan radiologi pada dasarnya juga sama seperti kebijakan pelayanan kesehatan umumnya.

Berbagai upaya yang menjadi prioritas utama saat ini yang perlu segera dilaksanakan antara lain :


a.      Regulasi perizinan penyelenggaraan radiologi

b.      Pemantapan jejaring pelayanan radiologi

c.      Penyelenggaraan quality assurance

d.      Penetapan dan penerapan berbagai stándar pelayanan radiologi

e.      Pemenuhan  persyaratan dalam standar

f.        Pelaksanaan akreditasi pelayanan radiologi (radiodiagnostik dan radioterapi)

g.      Peningkatan pengawasan pelaksanaan pelayanan radiologi baik oleh pusat yang dilakukan oleh Depkes dan Bapeten maupun oleh daerah

h.      Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi


Upaya peningkatan mutu di bidang pelayanan radiologi harus dilakukan baik untuk kepentingan diagnostik maupun untuk pengobatan, agar dengan demikian selain dapat memberikan mutu pelayanan yang tepat dan teliti, sekaligus dapat meminimalkan “interpersonal discrapancies” dan “intrapersonal disagreement” serta dapat memberikan perlindungan maksimal terhadap keselamatan pasien, petugas dan lingkungan.


4. Penutup

Uraian di atas memberi gambaran tentang pentingnya pelayanan kesehatan yang bermutu, termasuk di dalamnya pelayanan penunjang kesehatan yang mencakup antara lain pelayanan radiologi dalam rangka upaya memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat serta era persaingan dan keterbukaan.

Kebijakan jaminan mutu pelayanan kesehatan akan menjadi pedoman bagi semua pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu melalui berbagai upaya dapat dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang  peran serta aktif masyarakat dan organisasi profesi.

B.    Badan Pengawas Tenaga Nuklir


1. PENDAHULUAN


Di Indonesia, pemanfaatan radiasi untuk bidang kesehatan, untuk terapi maupun diagnostik, menjadi semakin luas dan penting. Berbagai jenis peralatan sinar-X diagnostik seperti CT-Scan dan C-Arm telah dimanfaatkan di berbagai kota kecil. Dalam kedokteran nuklir diagnostik, perangkat PET Scan akan segera terwujud di beberapa kota besar seperti Jakarta dan Bandung. Pada beberapa tahun terakhir, pemasanagan atau rencana pemasangan LINAC untuk radioterapi juga berkembang.


Untuk terapi, kontribusi penyembuhan berbagai jenis penyakit keganasan melalui radioterapi di banyak negara maju sangatlah nyata [1][2]. Namun, dengan mempertimbangkan bahwa radiasi memiliki efek-efek negatif tertentu dan sifat-sifat penyakit keganasan itu sendiri, suatu pengendalian harus dilakukan. Seperti diketahui, radiasi yang ditujukan untuk menghancurkan sel-sel tumor berpotensi pula untuk merusak jaringan sehat lainnya. Di sisi lain, dosis radiasi yang tidak diberikan secara akurat dan terencana temponya kepada sel-sel tumor tidak dapat menghentikan laju keganasannya atau bahkan dapat berakibat fatal terhadap organ tubuh lainnya. Dalam kedokteran nuklir dan radiologi, pengendalian juga harus dilakukan mengingat (terutama) efek stokastik dan deterministik dari radiasi.


Dengan demikian, jelas dibutuhkan suatu mekanisme atau sistem untuk memberikan jaminan efektivitas, efisiensi, mutu maupun keselamatan dalam pemanfaatan radiasi di bidang kesehatan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui penetapan dan pelaksanaan program jaminan mutu (PJM) dan kendali mutu, atau sistem manajemen mutu. Paper ini ingin menjelaskan kebijakan pengawasan BAPETEN dan hal-hal terkait dengan jaminan mutu untuk pemanfatan dalam bidang  kesehatan. Diuraikan pula contoh yang cukup rinci dalam pemanfaatan radioterapi.


2. ASPEK LEGAL


            Pengawasan jaminan mutu, termasuk untuk bidang kesehatan, tertuang dalam PP No 63 tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion (PP 63/2000). Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan di sini, yaitu:

2.1  Instansi berdampak radiologi tinggi


            Pasal 26 dari PP 63/2000 menjelaskan bahwa Pemanfaat dengan dampak radiologi tinggi wajib menyusun Program Jaminan Kualitas. Program tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan BAPETEN sebelum dilaksanakan, demikian pula apabila dokumen direvisi. Ketentuan penyusunan diatur lebih jauh dengan Peraturan Kepala (Perka) BAPETEN. Kemudian, Pasal 27 PP yang sama mengatur bahwa BAPETEN melakukan inspeksi dan audit PJK untuk memastikan efektivitas pelaksanaannya.


            Pada saat ini, konsep final revisi atas PP ini sedang diproses pada tahap akhir. Ada banyak perubahan yang diajukan. Dalam bidang jaminan mutu ini, sesuai dengan BSS-115 [3], PJM seharusnya ditetapkan, diimplementasikan, dievaluasi dan dikembangkan oleh semua jenis pemanfatan radisi, bukan hanya oleh yang berdampak radiologi tinggi. Kedalam penerapan hanya perlu diatur, disesuaikan dengan ukuran fasilitas dan kegiatannya serta tingkat risiko yang ditimbulkan.[1]


2.2  Monitor perorangan


            Seperti diketahui, keselamatan pekerja radiasi secara tidak langsung ditentukan oleh laporan hasil evaluasi monitor perorangan (film badge atau TLD) yang wajib digunakannya. Laporan ini menjelaskan dosis radiasi yang diterima pekerja radiasi pada setiap periode tertentu. Dengan demikian, adalah sangat penting bagi BAPETEN untuk memastikan mutu evaluasi yang dilakukan oleh pengevaluasi tersebut.


Pasal 10 dari PP yang sama menjelaskan bahwa monitor perorangan harus dievaluasi oleh laboratorium yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh BAPETEN. Akreditasi tentu dilakukan oleh instansi yang berwenang, yaitu Komite Akreditasi Nasional (KAN). Penunjukan dilakukan oleh BAPETEN untuk menjamin keselamatanbagi  pekerja pada laboratorium pengevaluasi tersebut dan masyarakat umum, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup; dan yang tak kalah pentingnya adalah keselamatan pekerja yang menggunakan monitor perorangan itu sendiri. Untuk itu, salah satu persyaratan yang diberikan BAPETEN kepada laboratorium pengevaluasi adalah memiliki sistem mutu. Agar memudahkan, laboratorium dapat memilih standar mutu sebagaimana yang dipersyaratakan untuk mendapatkan akreditasi, yaitu SNI 19-17025 [4].


Pada saat ini, Departemen Kesehatan mengoperasikan empat BPFK untuk melayani permintaan evaluasi film badge fasilitas kesehatan. Keempat balai tersebut berlokasi di Medan, Jakarta, Surabaya dan Makassar. Keempat BPFK telah mengajukan permohonan penunjukan dari BAPETEN dan telah diproses pada tahap akhir.


2.3  Kalibrasi


            Ada dua kalibrasi yang diatur dalam PP 63/2000, yaitu: Kalibrasi alat ukur radiasi (AUR) dan kalibrasi keluaran radioterapi. Kalibrasi AUR secara langsung menentukan keselamatan pekerja radiasi yang terlibat. Dengan AUR yang terkalibrasi baik, pekerja radiasi dapat menentukan tindakan yang tepat: menentukan laju dosis di tempat bekerja dan memperkirakan dosis yang bakal ia terima dengan memperhatikan niai batas dosis (NBD) sesuai dengan aturan yang ditentukan. Kalibrasi keluaran radioterapi, di sisi lain, berhubungan langsung dengan keselamatan pasien.


Kedua jenis kalibrasi di atas memiliki fungsi yang sangat kritis dari segi keselamatan. Sehingga, senada dengan Pasal 10, maka Pasal 30 mengatur bahwa kalibrasi Alat Ukur Radiasi dan kalibrasi keluaran radioterapi harus dilakukan oleh laboratorium yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh BAPETEN. Saat ini keempat BPFK yang dimiliki Kementerian Kesehatan sedang mempersiapkan kompetensi mereka untuk dapat memberikan pelayanan kalibrasi ini. Sementara itu, laboratorium kalibrasi PTKMR BATAN[2], satu-satunya laboratorium yang beroperasi memberi pelayan kedua jenis kalibrasi, telah melayangkan permohonan penunjukan kepada BAPETEN, dan masih dalam proses.


2.4  Pembuangan zat radioaktif


Pada pemanfaatan kedokteran nuklir terapi, sesalu ada limbah radioaktif yang harus dibuang ke lingkungan. Buangan zat radioaktif ke lingkungan tidak boleh melebihi nilai batas radioaktivitas yang ditentukan. Pengusaha instalasi harus melakukan pemantauan tingkat radioaktivitas buangan zat radioaktif secara terus-menerus, berkala dan atau sewaktu-waktu. Pasal 16 PP 63/2000, mengatur bahwa bila Pengusaha tidak melakukan pemantauan tersebut, maka, sejalan dengan Pasal 10 dan Pasal 30, ia dapat meminta bantuan dari instansi yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh BAPETEN.


2.5  Status saat ini


            Satu-satunya Perka yang memberi pedoman penetapan dan pelaksanaan PJM dibidang kesehatan, sebagaimana diatur dalam PP 63/2000 tadi, untuk saat ini adalah SK No 21/Ka-BAPETEN/XII-02 tentang Program Jaminan Kualitas Instalasi Radioterapi (PJKIR) yang diterbitkan tahun 2002 [5]. Dengan demikian, bab brikut akan membahas lebih jauh mengenai SK tersebut dan metode penerapannya.


            Meskipun belum ada Perka yang mengatur secara khusus mengenai jaminan mutu dalam bidang radiodiagnostik ataupun kedokteran nuklir, tidak berarti BAPETEN melalaikan pengawasan jaminan mutu untuk kedua bidang tersebut. Beberapa hal berikut perlu dicatat: Pertama, pengendalian dokumen dan rekaman, seperti prosedur dan kartu dosis, yang merupakan salah satu bagian terpenting dari jaminan mutu telah menjadi kewajiban setiap pemanfaat, sebagaimana diatur dalam PP 63/2000. Kedua, saat ini pun BAPETEN sedang memfinalisasikan draf Perka tentang jaminan mutu radiodiagnostik maupun kedokteran nuklir. Khusus untuk radiodiagnostik, draf menginginkan adanya proses uji kepatuhan (compliance test) secara periodik bagi setiap perangkat sinar-X. Sebagaimana kita ketahui, uji ini adalah bagian dari PJM. Demikian pula untuk kedokteran nuklir, ada banyak pengendalian dan pengujian yang harus dilaksanakan.


3. JAMINAN MUTU RADIOTERAPI


3.1  Pengertian umum


Secara sederhana, PJM dalam bidang ini dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan yang sistematik dan terencana untuk memastikan bahwa dosis radiasi dan geometri sasaran yang diberikan adalah akurat, dapat mematikan sel-sel tumor secara efektif dan masih dalam batas toleransi bagi jaringan sehat di sekitarnya [5], [6].


Pendefinisan seperti di atas adalah sederhana namun cukup menyeluruh. Referensi [7] mendefinisikannya secara lebih rinci. Dinyatakan, Jaminan Mutu (JM) adalah suatu perangkat manajemen yang, melalui pengembangan kebijakan dan penetapan prosedur tinjauan (review), bertujuan untuk memastikan bahwa setiap pemeriksaan dan pengobatan pada suatu bagian radiologi adalah penting dan tepat guna bagi persoalan medik, serta hal ini dilaksanakan:

·        sesuai dengan protokol klinik yang sebelumnya telah diterima;

·        oleh personil yang terlatih secara mencukupi;

·        dengan peralatan yang dipilih dan berfungsi secara wajar;

·        untuk kepuasan pasien dan dokter rujukan;

·        dalam kondisi yang selamat, dan

·        dengan biaya yang minimum.


Dengan demikian, PJM harus memasukkan tinjauan berkala pola-pola yang dirujuk, protokol klinik, kesempatan pelatihan yang berkesinambungan bagi staff, inspeksi fasilitas, pengujian peralatan, dan prosedur administratif yang berkaitan dengan pengadaan. Singkatnya, tujuan akhir dari JM adalah untuk meningkatkan perawatan pasien.


Dalam bidang radioterapi eksternal, [2] menggariskan pula bahwa tujuan utama JM adalah untuk memastikan bahwa suatu dosis yang akurat diberikan kepada volume (tumor, pen.) yang terdefinisi, dalam waktu yang terjadwal, dan dengan dosis yang terbatas bagi jaringan sehat di sekelilingnya. JM juga merupakan kepatuhan total terhadap resep yang diberikan dan ketegasan dalam pelaksanaannya (the total compliance with the prescription and the strictness of its execution[3]) dengan menggunakan segala cara yang tersedia. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa JM memungkinkan:

  • suatu evaluasi atas hasil yang didapat dalam suatu bagian dan antara pusat-pusat;
  • optimisasi pengobatan dengan mengkuantifikasikan ketidakpastian dan dengan mengurangi risiko setiap kesalahan yang berhubungan dengan peralatan terhadap definisi volume target, akuisisi data anatomik, penetapan rencana pengobatan, dan terhadap pelaksanaan pengobatan.

Definisi-definisi di atas sebetulnya bukan hanya saling melengkapi, namun memiliki pondasi yang sama sebagaimana dijelaskan dalam konsep ALARA, melalui asas justifikasi, limitasi dan optimisasi. Standar internasional terbaru mengenai proteksi radiasi dan keselamatan sumber [7] menambahkan konsep itu dengan asas pembatas dosis (dose constraint.)—suatu pengaturan bahwa dosis yang diberikan kepada pasien untuk keperluan medik hendaknya dibatasi dengan level-level tertentu yang disebut sebagai level panduan.


Langkah-langkah dalam menetapkan dan melaksanakan PJM dalam instalasi radioterapi. Beberapa hal lain yang berkaitan akan dibahas pula seperti: persyaratan minimum; hal-hal yang dapat mengancam kelangsungan program; hubungan program dengan masalah kesiapsiagaan nuklir, akreditasi RS ataupun sertifikasi ISO; serta skema pengembangan secara nasional atau pembagian peran institusi terkait.


3.2  Persyaratan minimum


Pada dasarnya, ada tiga komponen utama dalam setiap sistem, termasuk sistem pengobatan radioterapi. Ketiga komponen itu adalah: Orang, Mesin/Fasilitas dan Antar-muka. Pasal 10 dari ref. [5] menyatakan bahwa untuk menjamin kualitas, setiap pekerjaan di bidang radioterapi harus dilakukan oleh tenaga-tenaga yang cakap, yang sekurang-kurangnya terdiri atas: (a) dokter spesialis onkologi radiasi; (b) ahli fisika medis; (c) ahli radiografi terapi; (d) petugas dosimetri; (e) PPR bidang kesehatan; dan (f) perawat kesehatan. Sepantasnya, dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, kecakapan itu dibuktikan riwayat pendidikan dan melalui proses sertifikasi. Peran lembaga pendidikan formal (universitas atau akademi), asosiasi ilmiah/profesional dan lembaga litbang seperti BATAN sangatlah penting dalam pembangunan SDM di bidang ini.


Desain dan perlengkapan minimum instalasi radioterapi diatus dalam Pasal 7 pada Keputusan yang sama dan rinciannya diuraikan pada Lampiran IV. Fasilitas terapi berkas eksternal disyaratkan memiliki: kamar pemeriksaaan, kamar simulator, kamar perencanaan pengobatan, kamar cetak molding, kamar pengobatan, dan area ruang tunggu. Desain dari kamar simulator, kamar perencanaan pengobatan dan kamar pengobatan harus dikonsultasikan dengan pembuatnya. Persyaratan daya, sistem pendingin udara dan sistem kedaruratan haruslah diperhatikan. Perlengkapan yang dibutuhkan dalam hal ini adalah: Simulator; sistem perencanaan pengobatan (TPS); perlengkapan pengobatan seperti Unit Co-60; perlengkapan jaminan kualitas seperti sistem dosimetri ionometrik; dan perlengkapan keselamatan radiasi.


Untuk brakiterapi laju dosis rendah (LDR) harus menggunakan perlengkapan manual atau remote afterloading kecuali pada beberapa kondisi (implan tetap, implan mata). Apapun jenis peralatan yang digunakan, alat itu akan membutuhkan kamar persiapan dan penyimpanan sumber, kamar operasi, kamar perencanaan pengobatan dan kamar pasien. Fasilitas-fasilitas ini harus tidak terlalu jauh terpisahkan untuk mengurangi jarak yang harus ditempuh oleh pasien dan sumber. Kedekatan relatif dari fasilitas-fasilitas ini dapat secara signifikan mempengaruhi efisiensi dan alur prosedur. Desain fasilitas harus menggabungkan fitur-fitur untuk menghindari pemindahan pasien yang badannya mengandung sumber radioaktif melalui lift. Fasilitas sterilisasi aplikator juga akan diperlukan. Proses sterilisasi harus memadai untuk menghindari kerusakan aplikator.


Fasilitas brakiterapi laju dosis tinggi (HDR) diharuskan untuk memiliki: kamar operasi atau kamar bedah pasien rawat jalan, sistem pencitraan radiografis, kamar pengobatan, dan daerah rencana pengobatan. Kedekatan fasilitas-fasilitas ini dapat secara signifikan mempengaruhi aliran dan efisiensi prosedur. Tiga pilihan utama untuk tiga elemen pertama keperluan di atas, dalam urutan biaya dari yang termurah adalah:

a.     kamar pengobatan untuk unit brakiterapi HDR, penggunaan bersama dari kamar operasi yang telah ada atau kamar prosedur dan sistem imaging, seperti simulator. Pemindahan pasien (antara kamar operasi, kamar pencitraan dan kamar pengobatan) mengurangi efisiensi dan menghalangi imobilisasi sistem aplikator;

b.     kamar pengobatan untuk pemasukan aplikator terpisah dengan kamar untuk pencitraan. Kondisi untuk anastesi dan sterilisasi memerlukan investasi yang signifikan dan juga staf medis lainnya seperti dokter spesialis onkologi ginekologi, dan ahli anastesiologi harus memiliki komitmen untuk melakukan pekerjaannya di luar situasi yang biasanya mereka bekerja. Seperti telah diterangkan di atas, pemindahan pasien (antara kamar operasi, pencitraan dan pengobatan) mengurangi efisiensi dan menghalangi imobilisasi sistem aplikator; dan

c.      kamar brakiterapi terpadu. Pilihan ini menambahkan sistem pencitraan ke dalam kamar pengobatan pada butir b. Pilihan ini adalah pilihan yang paling efisien karena pasien tidak perlu dipindah-pindahkan.


Perlengkapan yang dibutuhkan dalam sistem brakiterapi, LDR maupun HDR, dibagi ke dalam lima kategori utama, yaitu: pencitraan, perencanaan pengobatan, pengobatan (termasuk perlengkapan afterloading, sumber radiasi, penyimpanan sumber, transportasi, dan aplikator), jaminan kualitas dan keselamatan radiasi, serta penanganan sumber.


Untuk memastikan unjuk kerjanya, Pasal  II.13 BSS-115 [3] mempersyaratkan bahwa perlengkapan instalasi radioterapi seperti generator radiasi dan yang berisi sumber radiasi terbungkus yang dibutuhkan untuk paparan medis haruslah:

a.     sesuai dengan standar Internasional Electrotechnical Commission (IEC) yang berlaku dan International Standard Organization (ISO) atau standar-standar lain yang dianggap setara; dan

b.     spesifikasi unjuk kerja, instruksi operasi dan pemeliharaan, termasuk instruksi proteksi dan keselamatan, tersedia dalam bahasa utama dunia yang mudah dipahami oleh pengguna dan sesuai dengan standar IEC atau ISO berkenaan dengan dokumen yang menyertainya, dan informasi ini harus diterjemahkan dalam bahasa setempat apabila dibutuhkan. Pada saat peralatan yang dibuat dalam satu negara akan diekspor ke negara lainnya dengan bantuan IAEA, bukti-bukti dokumen (seperti salinan) dari standar nasional harus tersedia dengan penawaran harga untuk mengkaji apakah standar nasionalnya telah sesuai dengan standar ISO dan IEC.


Sebagai antar muka yang menjembatani antara Orang dengan Mesin/Fasilitas adalah prosedur. Sebetulnya, dalam sistem manajemen mutu [7], dokumentasi dibagi menjadi sekurang-kurangnya menjadi 3 level. Pada Level 1 harus tersedia Program Jaminan Mutu (PJM) atau Manual Mutu sebagai dokumen acuan utama, yang antara lain berisi Pernyataan Kebijakan Mutu sebagai perwujudan dari tekad manajemen dan karyawan untuk memandang masalah mutu sebagai hal utama yang ingin terus ditingkatkan. Sebagaiamana disebutkan dalam Pasal 3, Pengusaha Instalasi wajib menyusun PJKIR untuk mendapat persetujuan BAPETEN sebelum ditindak-lanjuti. Namun, hingga saat ini baru sebagian kecil RS terapi yang telah menyampaikan PJKIR kepada BAPETEN.


Level 2 terdiri atas prosedur manajemen dan prosedur teknis. Prosedur kendali dokumen dan rekaman, prosedur kendali ketidak-sesuaian (non-conformance) dan tindakan korektif, prosedur audit dan pengkajian, serta prosedur pengendalian kualifikasi SDM adalah contoh-contoh prosedur manajemen yang harus disediakan. Sedangkan prosedur operasi dan prosedur kedaruratan adalah bagian dari prosedur teknis.


Pada level 3 terdapat petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan yang diturunkan dari setiap prosedur yang dibuat, termasuk blanko checklist pemeriksaan perlengkapan secara rutin (tahunan, bulanan, mingguan dan harian). Himpunan data dan dokumen acuan, lembar resep dan form permintaan adalah dokumentasi yang dibutuhkan selama masa pelaksanaan dan rekamannya harus dikendalikan. Kegiatan kendali kualitas yang diuraikan secara rinci pada Keputusan Kepala BAPETEN ini membutuhkan banyak form checklist yang harus didokumentasikan secara rutin. Dari aspek klinis, dokumentasi harus memasukkan pula hasil diskusi kasus klinis (clinical cases conference) yang diselenggarakan setiap pagi, rencana dan pelaksanaan tindak lanjut klinis dan kajian statistik terutama mengenai efektivitas pengobatan.


Ketiga elemen di atas (Orang, Mesin/Fasilitas dan Antar-muka) tentu tidak akan berjalan dengan sendirinya tanpa adanya organisasi, yang dalam hal ini adalag organisasi jaminan kualitas yang terdiri atas: pengusaha instalasi, ketua tim JK dan anggota tim JK. Sebagaimana lazimnya organisasi mutu, ketua tim JK tanpa dibatasi oleh hambatan birokrasi harus dapat berhubungan langsung dengan pengusaha instalasi. Harus dicatat pula bahwa tersedianya organisasi pun tidak menjamin pelaksanaan sistem mutu yang efektif. Komitmen manajemen dan corporate culture akan memainkan peran yang lebih penting. Peran stakeholder (seperti Departemen Kesehatan, organisasi profesi, universitas, badan pengawas, dan bahkan umpan balik dari pasien dan keluarganya) juga menjadi penting dalam menunjang keberhasilan institusi radioterapi.


3.3  Kesempatan dan ancaman


Terlepas dari beberapa kekurangan-kekurangan yang ada, Keputusan Kepala Bapeten tentang PJKIR memberi banyak peluang bagi peningkatan efektivitas radioterapi melalui pelaksanaan yang sistematis dan terencana. Pedoman-pedoman yang menjadi lampiran Keputusan tersebut menguraikan secara lengkap mengenai format dan isi dokumen PJKIR, pedoman pelaksanaan melalui aspek klinis maupun fisik dan aspek lainnya, rincian kendali kualitas, uraian persyaratan desain dan perlengkapan, serta kualifikasi personil.


Mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan dalam Keputusan itu akan secara teknis maupun administratif mempermudah sebagian besar proses akrediatasi RS maupun apabila pihak RS ingin mendapatkan sertifikasi keluarga ISO 9000. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan hubungan antara bab-bab dalam PJKIR dengan klausul-klausul ISO 9001-2001 atau SNI 19-9001-2001:


PJKIR
ISO 9001-2001 atau SNI 19-9001-2001
Bab I Pendahuluan
0 Pendahuluan
Definisi
3 Istilah dan definisi
Pernyataan Kebijakan Kualitas
5.3 Kebijakan mutu
Bab II Struktur Organisasi
5 Tanggung jawab manajemen.
Bab III Pelatihan dan Kualifikasi
6 Pengelolaan sumber daya, terutama 6.2.2 Kompetensi, kesadaran dan pelatihan
Bab IV Kendali Ketidaksesuaian dan Tindakan Pembetulan
8 Pengukuran, analisis dan perbaikan, terutama 8.3 Pengendalian produk yang tidak sesuai; dan 8.5 Perbaikan.
Bab V Kendali Dokumen dan Rekaman

4 Sistem Manajemen Mutu, terutama 4.2.3 Pengendalian dokumen; dan 4.2.4 Pengendalian rekaman.
Bab VI Kerja
7 Realisasi Produk
Bab VII Audit dan Pengkajian Kualitas
8 Pengukuran, analisis dan perbaikan, terutama 8.2 Pemantauan dan pengukuran; 8.2.2 Audit internal; dan 8.4 Analisis data.


Tabel 1.  Perbandingan antara isi PJKIR dengan ISO 9001:2000 (SNI 19-9001-200)


Pertemuan kerja mengenai JM dalam Radioterapi yang disponsori oleh IAEA dan International Society for Radiation Oncology pada bulan Mei 1995 di Vienna [8] menghasilkan beberapa konsensus penting. Antara lain, untuk menerapkan standar ISO 9000 yang telah terbukti sebagai pedoman yang mudah digunakan dalam infrastruktur radioterapi. Tetapi hal tersebut dilengkapi dengan dua catatan: (1) Uni Eropa telah mengeluarkan rekomendasi JK (Juni 95) untuk peralatan: dalam rangka melengkapi rekomendasi ISO, persyaratan dasar lain (CE label) akan diterapkan oleh Uni Eropa untuk setiap jenis peralatan; (2) Penerapan rekomendasi ISO 9000 per se tidaklah memadai, sebab hal tersebut tidak dapat memastikan bahwa peralatan digunakan sebagai mana mestinya oleh staf radioterapi. Dengan demikian, tiga tahun kemudian IAEA menerbitkan [6] yang diadopsi menjadi Keputusan Kepala BAPETEN tentang PJKIR.


Kesempatan lain yang juga didapatkan dengan semangat keteraturan (sistematik), antisipatif (terencana) dan pencegahan yang terdapat dalam PJKIR adalah bahwa program kesiapsiagaan nuklir dengan mudah dapat direncanakan dan disusun. Seperti diketahui, persyaratan disusunnya prosedur kedaruratan secara eksplit dinyatakan dalam Pasal 4 Keputusan Kepala BAPETEN tentang PJKIR.


Suatu studi mengenai kecelakaan dalam radioterapi telah dilakukan oleh J. Novotny [9] untuk 150 kecelakaan yang dilaporkan, melibatkan lebih dari 3000 pasien dengan efek berlawanan, 15 pasien meninggal dan sekitar 5000 staf dan publik yang terkena paparan yang tidak diperlukan. Analisis penyebab awal dan penyebab tambahan mengahsilkan tabel berikut:



Penyebab
Prosentase relatif
Kesalahan dalam pertimbangan
5,7
Kesalahan dalam prosedur
29,8
Kesalahan Profesional
16,7
Kesalahan komunikasi
15,7
Kesalahan piranti keras dan lunak
4,6
Pelatihan
8,5
Pengawasan
6,0
Kesalahan dalam interpretasi
7,0
Lainnya
6,0

Tabel 2. Prosentase relatif  penyebab awal dan penyebab tambahan

pada kecelakaan radioterapi


Pelajaran yang diperoleh dari fakta di atas adalah bahwa kebanyakan dari kecelakaan tersebut disebabkan oleh kurang atau tidak diterapkannya prosedur JK atau karena menilai rendah (underestimating) prosedur JK. Akhirnya, Novotny menggariskan bahwa kebanyakan dari kecelakaan itu sebetulnya dapat dihindari apabila PJK yang komprtehensif ditetapkan dan dijalankan secara wajar pada seluruh departemen radioterapi, apapun ukurannya.


Selain kesempatan-kesempatan yang diberikan untuk memperbaiki keadaan, ada beberapa hal yang dapat mengancam pelaksanaan PJKIR. Suatu ancaman besar adalah apabila instalasi radioterapi tidak menyusun PJKIR ataupun menyusunnya hanya sebatas formalitas persyaratan perizinan tanpa ada kesungguh-sungguhan dalam realisasinya. Komitmen manajemen adalah hal utama. Komitmen berarti manajemen menyanggupi upaya sungguh-sungguh, pendanaan dan alokasi waktu bagi setiap kegiatan yang dibutuhkan untuk memastikan mutu.


Dari segi SDM, secara umum masih perlu banyak pembenahan terutama untuk kualifiikasi fisikawan medis, ahli radiografi terapi, petugas dosimetri, dan ketua/anggota tim jaminan mutu. Untuk tiga kualifikasi pertama, maka universitas dan Departemen Kesehatan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan itu sesegera mungkin. Apabila diperlukan, maka suatu crash program dapat dicanangkan sebagai upaya penyelesaian jangka pendek. Untuk masalah kualifikasi ketua/anggota tim jaminan mutu, pihak RS dapat bekerja sama dengan oragnisasi profesi (PDSRI maupun PORI) dan BAPETEN. Suatu hal penting pula adalah masalah sertifikasi keahlian dalam hal-hal yang disebutkan di atas. Sebagai contoh, pelatihan dan ujian kualifikasi untuk mendapatkan Surat Izin Bekarja (SIB) sebagai operator radiografi (OR) dan ahli radiografi (AR) dalam bidang industri dilakukan oleh BATAN dan validasinya dilakukan oleh BAPETEN. Secara ringkas, adalah saat yang tepat apabila Departemen Kesehatan membuat suatu master plan mengenai pembangunan (dan kualifikasi) SDM dalam bidang radioterapi dan merealisasikannya dalam waktu dekat.


Dari segi SDM, juga sangat diperlukan interaksi antar personil atau antar bagian secara sinergis. Tidak boleh ada kesombongan suatu jabatan fungsional terhadap jabatan fungsional lainnya, sebagaimana tidak diperkenankannya seorang dokter yang tidak mau mendengarkan pertimbangan profesional dari fisikawan medis, dosimetris maupun PPR. Suatu komunikasi yang efektif harus dirawat setiap hari dan hal itu dapat dilakukan dalam diskusi kasus klinis.


Ketersediaan peralatan dan fasiltas dalam suatu instalasi radioterapi dapat merupakan ancaman tersendiri. Apabila dalam suatu intalasi teleterapi tidak terdapat simulator dan TPS maka tidaklah mungkin ada jaminan bahwa dosis radiasi dan geometri sasaran yang diberikan adalah akurat, dapat mematikan sel-sel tumor secara efektif dan masih dalam batas toleransi bagi jaringan sehat di sekitarnya—sebagaimana yang menjadi tujuan utama dari PJKIR. Peralatan dosimetri absolut dan pelaksanaan kalibrasi keluaran jelas mutlak diperlukan. Setiap instalasi radioterapi hendaknya segera mengkaji kebutuhan peralatan dan fasilitas yang dibutuhkan sesuai dengan ref. [5] maupun [6], serta segera melakukan pengadaan yang diperlukan. Dalam pengadaan ini, hendaknya diperhatikan persyaratan standar dan spesifikasi teknis yang menjadi syarat pembayaran.


Untuk pengadaan peralatan yang belum ada panduan kendali kualitasnya dari IAEA, seperti gamma knife, maka pengkajian yang lebih rinci mengenai hal tersebut perlu dilakukan. Dokter, fiskawan medis dan staf teknis lainnya harus mendapat pelatihan yang memadai dari pabrikan ataupun vendor mengenai sistem peralatan dan kendali mutunya. Yang menjadi baseline adalah adanya jaminan bahwa dosis radiasi dan geometri sasaran yang diberikan adalah akurat, dapat mematikan sel-sel tumor secara efektif dan masih dalam batas toleransi bagi jaringan sehat di sekitarnya.


Hal strategis lain yang juga dapat mengancam kelangsungan realisasi PJKIR adalah kesulitan, teknis maupun non-teknis, dalam melaksanakan audit mutu dan pengkajian efektivitas PJKIR. Kursus Auditor Internal ISO 9000 yang secara tahunan diselenggarakan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dapat merupakan masukan yang berharga. Pengkajian efektivitas PJKIR harus dilakukan bersama-sama seluruh personil yang terlibat dalam PJKIR. Pengkajian dapat dilakukan melalui diskusi, interview maupun dalam bentuk kuesioner. Pelbagai data statistik harus disediakan, terutama mengenai hasil-hasil yang dicapai bagi setiap pasien yang ditangani. Secara non-teknis, audit internal agak sulit dilakukan apabila masalah senioritas masih diberlaklukan meskipun secara implisit.

1 comment: