PENDAHULUAN
HIPOTESIS WEBER
Pencitraan
resonansi magnetik atau lazim disebut MRI ( singkatan dari Magnetic
Resonance Imaging ) awalnya disebut NMR ( Nuclear Magnetic Resonance).
Hal ini disebabkan dasar pencitraan bersumber pada pemanfaatan inti atom
( Nucleus ) positif ( proton ) yang berinteraksi dengan gelombang radio
dalam medan magnet yang kuat. Namun karena presepsi masyarakat luas
yang negatif jika menggunakan istilah “ nuklir “ yang merupakan dampak
dari taruma dari penggunaan energi nuklir dalam bidang militer maka NMR
tidak dipopulerkan dan diganti menjadi MRI.
Saat ini pemeriksaan MRI berkembang sangat pesat karena selain mampu menyajikan informasi diagnostik dengan tingkat akurasi yang tinggi, juga bersifat non-invasive ( Non-Traumatis ), tidak ada bahaya radiasi ( Radiation Hazard ) serta menyuguhkan gambar – gambar organ dari berbagai irisan ( Multi planar ) tanpa memanipulasi tubuh pasien.
PENGETAHUAN DASAR SISTEM MAGNET
Magnet pertama kali ditemukan di Asia ( Magnesia ) kira-kira 2640 tahun sebelum masehi dan berwujud batu-batu magnet. Oleh karena banyaknya magnit alam tidak seberapa dan demikian juga kekuatan unsur-unsur kemagnitannya yang kecil sekali, maka magnet alam ini tidak banyak digunakan lagi.
Magnet buatan atau magnet artificial dapat dibuat dari baja yang digosok-gosokan dengan batang magnit atau dengan memasukan baja itu kedalam kumparan
yang dialiri arus listrik searah ( DC ). Magnet buatan ada dua macam yaitu magnet tetap ( Permanent Magnet ) dan magnet sementara ( Temporary Magnet ).
Saat ini pemeriksaan MRI berkembang sangat pesat karena selain mampu menyajikan informasi diagnostik dengan tingkat akurasi yang tinggi, juga bersifat non-invasive ( Non-Traumatis ), tidak ada bahaya radiasi ( Radiation Hazard ) serta menyuguhkan gambar – gambar organ dari berbagai irisan ( Multi planar ) tanpa memanipulasi tubuh pasien.
PENGETAHUAN DASAR SISTEM MAGNET
Magnet pertama kali ditemukan di Asia ( Magnesia ) kira-kira 2640 tahun sebelum masehi dan berwujud batu-batu magnet. Oleh karena banyaknya magnit alam tidak seberapa dan demikian juga kekuatan unsur-unsur kemagnitannya yang kecil sekali, maka magnet alam ini tidak banyak digunakan lagi.
Magnet buatan atau magnet artificial dapat dibuat dari baja yang digosok-gosokan dengan batang magnit atau dengan memasukan baja itu kedalam kumparan
yang dialiri arus listrik searah ( DC ). Magnet buatan ada dua macam yaitu magnet tetap ( Permanent Magnet ) dan magnet sementara ( Temporary Magnet ).
HIPOTESIS WEBER
Untuk menerangkan berbagai hal tentang magnet,Weber menyusun hipotesisnya sebagai berikut :
a. Semua magnet terdiri dari atom-atom magnetic yang dinamakan magnet-magnet molekuler atau magnet elementer.
b. Pada benda yang bersifat magnet, magnet-magnet elementer diarahkan sedemikian sehingga kutub-kutub utaranya mengarah ke suatu arah yang sama dan demikian sebaliknya untuk kutub-kutub selatan.
c. Pada benda yang tidak bersifat magnet kedudukan magnet-magnet elementer tidak teratur, tetapi sebagian besar membentuk lingkaran-lingkaran tertutup dimana kutub utara berhadapan dengan kutub selatan sehingga mengadakan keadaan yang seimbang.
HUKUM TOLAK MENOLAK DAN TARIK MENARIK
Lokasi dimana terdapat pengaruh kemagnitan disebut medan magnet. Secara sederhana medan magnet dapat diperlihatkan dengan menabur serbuk besi diatas selembar kertas yang dibawahnya ditaruh batang magnet sehingga tampak garis-garis dengan arah tertentu yang dibentuk oleh serbuk besi tersebut.
Garis-garis ini disebut garis magnet atau garis magnitisme. Garis magnitisme disebut juga garis induksi. Setiap garis ( satu garis ) dinamakan “ Maxwell “ dan jumlah garis yang masuk dan meninggalkan kurub disebut “ Flux Magnet “ ( O ), sedengkan tingkat kerapatan garis gaya magnet tersebut ( induksi magnet )
menunjukan kekuatan medan magnet ( B ) yang ditentukan oleh banyaknya flux magnet dalam suatu luas area tertentu ( A ) sehingga kekuatan medan magnet dapat diformulasikan sebagai berikut :
B= O / A
a. Semua magnet terdiri dari atom-atom magnetic yang dinamakan magnet-magnet molekuler atau magnet elementer.
b. Pada benda yang bersifat magnet, magnet-magnet elementer diarahkan sedemikian sehingga kutub-kutub utaranya mengarah ke suatu arah yang sama dan demikian sebaliknya untuk kutub-kutub selatan.
c. Pada benda yang tidak bersifat magnet kedudukan magnet-magnet elementer tidak teratur, tetapi sebagian besar membentuk lingkaran-lingkaran tertutup dimana kutub utara berhadapan dengan kutub selatan sehingga mengadakan keadaan yang seimbang.
HUKUM TOLAK MENOLAK DAN TARIK MENARIK
Lokasi dimana terdapat pengaruh kemagnitan disebut medan magnet. Secara sederhana medan magnet dapat diperlihatkan dengan menabur serbuk besi diatas selembar kertas yang dibawahnya ditaruh batang magnet sehingga tampak garis-garis dengan arah tertentu yang dibentuk oleh serbuk besi tersebut.
Garis-garis ini disebut garis magnet atau garis magnitisme. Garis magnitisme disebut juga garis induksi. Setiap garis ( satu garis ) dinamakan “ Maxwell “ dan jumlah garis yang masuk dan meninggalkan kurub disebut “ Flux Magnet “ ( O ), sedengkan tingkat kerapatan garis gaya magnet tersebut ( induksi magnet )
menunjukan kekuatan medan magnet ( B ) yang ditentukan oleh banyaknya flux magnet dalam suatu luas area tertentu ( A ) sehingga kekuatan medan magnet dapat diformulasikan sebagai berikut :
B= O / A
Satuan untuk mengukur kekuatan medan magnet adalah Weber / m2 atau Tesla.
Kutub-kutub magnet yang senama apabila didekatkan akan tolak menolak, sebaliknya yang tidak senama akan tarik menarik. Menurut hukum coulomb besar gaya tolak menolak dan tarik menarik dua kutub sebanding dengan kekuatan kutub-kutub itu dan berbanding terbalik dengan kuadran jarak kedua kutub tersebut;
K = M1.M2 / D2
K = Gaya tolak / tarik ( dynes )
M1 = kuat kutub pertama dalam satuan kutub utara ( SKU )
M2 = kuat kutub kedua dalam satuan kutub utara ( SKU )
D = jarak antara kedua kutub
SKU adalah kuat kutub magnet yag diletakan sejauh 1 cm dalam kutub lain yang sama kuatnya dan dapat membangkitkan gaya tarik atau tolak sebesar 1 dyne ( 1 gram = 981 dyne ). Banyaknya garis gaya magnet yang dikeluarkan oleh sebuah kutub adalah :
O = 4 M
= 4 ( 3,14 ) M
= 12,57 M
M = Kuat kutub dalam SKU
KEMAGNITAN LISTRIK
Hubungan antara listrik dan kemagnitan dan listrik adalah bahwa magnet dapat dibuat dengan menggunakan arus listrik sebaliknya tenaga listrik dapat dibangkitkan dengan menggunakan magnet. Orang yang pertama kali melakukan penelitian tentang hubungan tersebut adalah Oersted tahun 1819.
Medan magnet dapat timbuk pada sekitar kawat berbentuk lurus maupun melingkar. Sebuah selonoida adalah kawat penghantar listrik yang digulung menjadi sebuah kimparan panjang. Medan magnet yang sitimbulkan oleh suatu kumparan yang dialiri listrik lebih kuat daripada medan magnet yang ditimbulkan oleh sebuah lingkaran saja. Bila didalam kumparan itu ditempatkan inti besi lunak, maka kemagnetannya jauh lebih besar lagi.
Susunan kumparan dari inti besi lunak itu disebut “ elektromagnet “ . keuntungan elektromagnet adalah :
1. Dengan mengambil jumlah lilitan yang banyak dan arus yang kuat dapat diperoleh kemagnetan yang kuat sekali.
2. Bila arus diputus, sifat kemagnitan dapat hilang sama sekali.
3. Kekuatan magnetnya dapat diubah ubah dengan mengubah kuat arusnya.
4. Cara menyimpannya tidak memerlukan apa-apa seperti halnya dengan magnet permanen.
5. Kedua kutubnya dapat ditukar.
Solenoida adalah suatu lilitan kawat atau kumparan yang rapat. Jika solenoida menggunakan teras udara, maka besarnya medan magnet pada pusat dan ujung solenoida adalah sebagai berikut :
B pada pusat solenoida adalah : UO . i . n
Diketahui UO = K . 4
Jika K adalah suatu ketetapan bernilai 10-7 weber / meter ampere
Maka UO = 4 10-7 weber / meter ampere. Jika n = N/ I maka :
B = UO . i . N/L
Dimana : n = jumlah lilitan tiap satuan panjang
I = panjang lilitan
N = jumlah lilitan
Sementara itu kuat medan magnet pada ujung solenoida adalah :
B = UO . i . N/2
Sementara itu kuat medan magnet pada ujung solenoida adalah :
B = UO . i . N/2
Apabila solenoida dilengkungkan maka sumbunya membentuk sebuah lingkaran yang disebut “ toroida “. Berikut gambar solenoida ( A ) dan toroida ( B ).
SEJARAH MRI
Penemuan MRI tidak muncul secara tiba-tiba akan tetapi melalui perkembangan ilmu yang mendukung terwujudnya teknologi MRI. Terdapat serentetan nama yang memiliki andil yang cukup besar dalam mewujudkannya.
Mendeleyev dan Mayer tahun 1869 menyusun unsur-unsur atom dengan sistem periodiknya. Eniest Rutherford, Neils Bohr dan James Chud pada tahun 1911 berjasa dalam teori tentang struktur atom. Kemudian Felix Block dan Edward Purcell keduanya menerima hadiah nobel di bidang fisika pada tahun 1952 mengungkapkan perilaku inti atom seperti sebuah magnet kecil, yang dapat melakukan spin dan precessing dengan berlandaskan pada rumus larmor ( akan dibahas ) yang merupaka
dasar utam terciptanya MRI. Tahun 1960 seorang ahli fisika yang dapat dianggap palinh berjasa dalam pengembangan MRI adalah Raymond Damadian telah melakukan rentetan penelitian dan mampu membedakan jaringan- jaringan tumor ganas dan jaringan normal. Disusul kemudian tahun 1974 ia mendemonstrasikan tumor tikus secara kasar dengan citra MRI dan tahun 1976 menghasilkan citra tubuh manusia dengan memerlukan waktu pemeriksaan 4 jam. Tahun 1977 bersama Paul Luterbur menyempurnakan dan resmi menjadi salah satu instrumen pencitraan medik.
PRINSIP DASAR MRI
Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air ( H2O ) yang mengandung 2 atom hydrogen yang memiliki no atom ganjil ( 1) yang pada intinya terdapat satu proton. Inti hydrogen merupakan kandungan inti terbanyak dalam jaringan tubuh manusia yaitu 1019 inti/ mm3 , memiliki konsentrasi tertinggi dalam jaringan 100 mmol/ Kg dan memiliki gaya magnetic terkuat dari elemen lain.
Dalam aspek klinisnya, perbedaan jaringan normal dan bukan normal didasarkan pada deteksi dari kerelatifan kandungan air ( proton hydrogen ) dari jaringan tersebut. Proton proton memiliki prilaku yang hampir sama dengan prilaku sebuah magnet. Sebab proton merupakan suatu partikel yang bermuatan positif dan aktif melakukan gerakan mengintari sumbunya ( spin ) secara kontinyu. Secara teori jika suatu muatan listrik melakukan pergerakan maka disekitarnya akan timbul gaya magnet dengan demikian proton proton dapat diibaratkan seperti magnet magnet yang kecil ( Bar Magnetic ). Secara ringkas prosedur pembentukan gambar pada pemeriksaan MRI adalah pasien diletakan dalam medan magnet yang kuat selanjutnya dipancarkan sebuah gelombang radio, ketika gelombang radio dimayikan ( turn off ) pasien memancarkan signal yang berasal dari proton proton tubuh pasien dan signal tersebut akan diterima oleh antenna dan dikirim ke sisitem komputer untuk direkonstruksi menjadi gambar. Proses terjadinya signal MRI yang berasal dari pasien tersebut melalui 3 fase fisika yaitu : Fase Presesi ( Magnetisasi ), Fase Resonansi dan Fase Relaksasi.
FASE PRESESI
Telah diketahui inti sebuah atom terdiri dari neutron yang tidak bermuatan ( netral ) dan proton yang bermuatan positif. Proton proton yang bersifat magnetic memiliki medan magnet yang mengarah pada 2 kutub ( utara dan selatan ) mirip
dengan sebuah magnet kecil ( sebagaimana yang telah dijelaskan ) sehingga proton proton dengan kutubnya tersebut lazim disebut “ Magnetic Dipole “. Pada atom dengan nomor atom genap, inti atom ( partikel elementer ) akan berpasang pasangan sehingga saling meniadakan efek magnetik masing masing dengan demikian tidak terdapat inti bebas yang akan membentuk jaringan magnetisasi sehingga sulit untuk
dirangsang agar terjadi pelepasan signal. Sebaliknya atom atom dengan nomor atom ganjil memiliki inti atom bebas yang akan menghasilkan jaringan magnetisasi, sehingga materi lain selain hydrogen ( dengan 1 proton pada intinya ) juga memungkinkan pengembangan pemeriksaan MRI pada jaringan yang mengandung natrium ( NA 23- Proton 11 dan neutron 12 ), phospor ( NA 31 – 15 proton dan 16 neutron ) dan Potassium ( NA 39-19 proton dan 20 neutron ).
Dalam keadaan normal proton proton hydrogen dalam tubuh tersusun secara acak sehingga tidak dihasilkan jaringan magnetisasi. Ketika pasien dimasukan kedalam medan magnet yang kuat dalam pesawat MRI, magnetik dipole ( proton proton ) tubuh pasien akan searah ( parallel ) dan tidak searah ( antiparallel ) dengan kutub medan magnet pesawat. Selisih proton proton yang searah dan berlawanan arah amat sedikit dan tergantung kekuatan medan magnet pesawat dan selisih inilah yang akan merupakan inti bebas ( tidak berpasangan ) yang akan membentuk jaringan magnetisasi. Berikut skema perbedaan kekuatan medan magnet terhadap terjadinya proton proton bebas pada setiap 2 juta dipole ;
0.5 Tesla = Dipole paralel dan anti paralel masing-masing 1 juta dan
dipole bebas 3
1 Tesla = Dipole paralel dan anti paralel masing-masing 1 juta dan
dipole bebas 6
1.5 Tesla = Dipole paralel dan anti paralel masing-masing 1 juta dan
dipole bebas 9
Sebagai contoh dapat dikemukan sebagai berikut :
Misal pada pesawat MRI dengan kekuatan medan magnet 1,5 tesla dan ukuran
Voxel adalah 2 x 2 x 5 mm = 20 mm3 berarti volume isi adalah 0,02
ml. Jika yang diperiksa adalah unsur air ( H2O ) maka :
Massa relatif ( Mr ) molekul H2O adalah 18 ( O16 dan 2H1 ), dengan jumlah
mol atom hydrogen dalam air adalah 2 mol. ( sebab dalam 1 molekul air
terdapat 2 mol hydrogen ) sehingga kandungan partikel proton hydrogen dalam 1
molekul air adalah 2 x 6,02 x 1023. 6,02 x 1023 adalah bilangan avugardo.
Yaitu = ketetapan yang menyatakan terdapat 6,02 x 1023 partikel dalam 1 mol /
unsure. Berarti dalam 1 molekul air terdapat partikel proton hydrogen
sebanyak 2 x 6,02 x 1023 partikel proton. Dalam 1 voxel air terdapat 1,388 x
1021 total proton hydrogen.
Jika kekuatan medan magnet pesawat MRI adalah 1,5 Tesla maka akan diperoleh
jumlah proton bebas yang membentuk jaringan dalam 1 voxel air yaitu : 1,388 x
1021 x 9 / 2 x 106 = 6.02 x 1015 proton.
Dipole yang membentuk jaringan magnetisasi tersebut cenderung dengan arah kurub medan magnet pesawat MRI ( B0 ) – dikenal juga dengan arah longitudinal (Z axis ). Jaringan magnetisasi itu sulit diukur karena arah induksi magnetnya sama dengan arah induksi magnet pesawat, sehingga dibutuhkan perubahan arah induksi magnet dari dipole dipole tersebut dengan menggunakan gelombang radio.
Dipole – dipole selain terus melakukan spin juga melakukan gerakan relatif. Gerakan relatif tersubut serupa dengan gerakan permukan gasing ( spinning to toy ) yang disebut gerakan presesi ( lihat gambar )
Frekuensi gerakan presesi tergantung pada jenis atom dan kekuatan medan magnet luar yang mempengaruhinya ( kekuatan medam magnet pesawat MRI ). Frekuensi presesi dapat dihitung berdasarkan rumus larmor berikut ini :
WO = Y . BO
Dimana : WO ( Omega Zerio ) = frekuensi presesi atau resonansi manetio
( 2,13 MHZ – 85 MHZ )
Y ( gamma ) = konstanta giromagnetik proton
( hydrogen 42,8 MHZ/Tesla )
BO = kekuatan medan magnet ( Tesla )
Dipole yang membentuk jaringan magnetisasi tersebut cenderung dengan arah kurub medan magnet pesawat MRI ( B0 ) – dikenal juga dengan arah longitudinal (Z axis ). Jaringan magnetisasi itu sulit diukur karena arah induksi magnetnya sama dengan arah induksi magnet pesawat, sehingga dibutuhkan perubahan arah induksi magnet dari dipole dipole tersebut dengan menggunakan gelombang radio.
Dipole – dipole selain terus melakukan spin juga melakukan gerakan relatif. Gerakan relatif tersubut serupa dengan gerakan permukan gasing ( spinning to toy ) yang disebut gerakan presesi
FASE RESONANSI
Mengetahui secara tepat frekuensi presesi proton proton sangat mutlak untuk menentukan besarnya frekuensi presesi gelombang radio ( RF ) yang akan dipancarkan untuk mengubah arah orientasi dipole yang membentuk jaringan magnetisasi.
Ketika proton proton hydrogen mengalami 1 presesi, maka proton proton akan mudah menyerap energi luar. Pada saat fase presesi itulah gelombang radio (RF) dipancarkan dan proton proton hydrogen akan menyerapnya dan mulai bergerak meninggalkan arah longitudinal ( L direction ) yang sejajar dengan arah kutub magnet pesawat menuju kearah transversal ( Tegak lurus terhadap sumbu medan magnet pesawat) dan menghasilkan magnetisasi transversal. Proton proton yang dapat dipengaruhi oleh gelombang radio hanyalah proton proton yang memiliki frekuensi presesi yang sama dengan frekuensi gelombang radio.
Fase proton proton bergerak meninggalkan sumbu longitudinal menuju arah transversal disebut sebagai fase resonansi.
FASE RELAKSASI
Ketika proton proton hydrogen berada pada bidang transversal, akan menginduksikan signal dalam bentuk gelombang elektromagnetik ( dikenal dengan MRI ) yang akan diterima oleh sebuah kumparan ( antenna ) penerima disisi pesawat MRI. Saat pancaran frekuensi radio dihentikan ( turn off ) proton proton secara perlahan lahan kehilangan energinya dan mulai bergerak meninggalkan arah transversal ( decay ) menuju kembali kearah longitudinal ( recovery ) sambil melepaskan energi yang diserapnya dari gelombang radio dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang dikenal sebagai SIGNAL MRI, fase ini disebut fase relaksasi.
Fase relaksasi dibagi menjadi T1 dan T2. T1 didefenisikan sebagai waktu yang diperlukan proton proton hydrogen sekitar 63% telah berada kembali dalam arah longitudinal ( magnetisasi longitudinal ). T1 mencerminkan tingkat trnsfer energi frekuensi radio ( RF ) dari proton proton keseluruh jaringan sekitar ( Tissue-Lattice ) sehingga T1 biasa pula dikenal; istilah “ Spin Lattice-Relaxation”, dimana besar T1 tergantung pada konsentrasi dan kepadatan proton serta struktur kimiawi dari materi jaringan yang diperiksa ( Macromolecul enveiroment ). Jika T1 makin lama maka diperoleh signal yang makin besar.
Ketika pemberian gelombang radio 900 ( memutar proton proton ke arah transversal ) diperoleh signal dari arah transversal maksimum. Namun ketika RF 900 dihentikan magnetisasi transversal yang memancarkan signal awal maksimum berangsur angsur mulai berkurang ( Decay ). Awalnya presesi proton proton berada dalam laju dan arah yang sama ( fase yang sama ) namun secara perlahan satu sama lain keluar dari fase yang satu tersebut ( Dephasing ) disebabkan terjadinya interaksi masing proton dengan proton proton disekitarnya ( spin-spin interaction ). Interaksi spin spin merupakan suatu mekanisme tambahan yang dikonstribusikan oleh kenyataan bahwa medan magnetic eksternal dari pesawat MRI tidak betul betul
seragam ( homogen ) sehingga menghasilkan magnetisasi proton proton lokal yang tidak homogen ( local inhomogeneity ). Local inhomogeneity meningkatkan interksi spin spin dan mempercepat dephasing sehingga mempercepat penurunan besarnya signal ( signal decay ) ke nilai nol. Hal ini berarti terdapat adanya signal yang hilang ( loss of signal ). Waktu yang diperlukan proton proton dari keadaan magnetisasi transversal berkurang hingga sekitar 37 % saja merupakan nilai T2 yang sebenarnya. Kehilangan signal yang diakibatkan oleh medan magnetic lokal yang tidak homogen tersebut, menutupi nolai T2 yang sebenarnya. Nilai T2 yang diakibatkan oleh adanya medan magnetic yang tidak homogen diberi symbol T2*.
Nilai T1, T2 dan efek T2* terhadap nilai T2 yang sebenarnya dapat diperlihatkan pada kurva berikut :
Pada gambar ( A ) nilai T1 lebih cepat pada jaringan padat ( solid) dibandingkan cairan ( liquid ). Gambar ( B ) menunjukan defenisi T2 dan gambar ( C ) menunjukan efek T2* terhadap nilai T2 yang sebenarnya.
Medan magnetic lokal yang tidak homogen mengakibatkan terjadinya gerakan presesi proton proton yang tidak seragam ( acak ) sehingga menyebabkan terjadinya saling interaksi diantara mereka dengan demikian tidak ada signal yang terdeteksi sehingga seolah olah ada kehilangan signal ( loss of signal ). Hadirnya T2* mempersepat signal menuju ke nol, oleh karena itu prosedur pemeriksaan MRI salah satunya adalah mengurangi atau menghilangkan efek T2*, sehingga diperileh nilai T2 yang sebenarnya. Jika nilai T2 besar maka signal yang dihasilkan juga besar. Jadi proses deohasing diakibatkan oleh hasil interaksi spin spin yang sebenarnya dan interaksi spin spin akibat medan magnet yang tidak homogen ( T2* ).
Ringkasan Prinsip Dasar Pemeriksaan MRI
Secara ringkas dapat disimpulakan kejadian dan langkah – langkah pemeriksaan MRI sebagai berikut :
1. Penderita sebelum dimasukan kedalam medan magnet pesawat MRI, proton proton dalam tubuh tersusun secara acak, sehingga tidak ada jaringan magnetisasi.
2. Penderita ditempatkan dalam medan magnet, terjadi magnetisasi proton posisi parallel dan anti parallel serta melakukan gerakan presesi.
3. Pemberian gelombang radio ( RF ) proton menyerap energi dari gelombang radio tersebut dan melakukan magnetisasi ke arah transversal ( Fase Resonansi ).
4. Penghentian gelombang radio menyebabkan relaksasi ( kembali ke posisi awal ) dimana proton proton melepaskan energi berupa signal- signal elektromagnetik ( Signal MRI ).
5. Signal- signal diterima oleh sebuah koil antenna penerima.
6. Selanjutnya signal- signal tersebut diubah menjadi pulsa listrik dan dikirim ke sistem komputer untuk diubah menjadi gambar.
Untuk memperoleh nilai T1 dan T2 yang tidak dipengaruhi oleh T2* dibutuhkan rangkaian pulsa khusus ( special pulse sequence ) yaitu : Saturation Recovery, Inversion Recovery, dan Spin Echo Sequence.
SIGNIFIKASI SIGNAL MRI
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan signal MRI yaitu :
1. Medan Magnet Utama
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kekuatan medan magnet luar ( magnet pesawat MRI ) mempengaruhi jumlah proton-proton bebas yang membentuk jaringan magnetisasi ( Proton-proton parallel yang tidak memiliki pasangan anti parallel ). Semakin besar kekuatan medan magnet utama maka semakin besar pula jumlah proton-proton bebas yang membentuk jaringan magnetisasi sehingga secara keseluruhan akan memberikan akumulasi signal yang semakin besar pula.
2. Proton Density ( Chemical Shift dan Dimensi Jaringan )
Jika materi yang diperiksa memiliki kandungan proton yang besar maka akan semakin banyak pula proton-proton bebas yang akan membentuk jaringan magnetisasi dihasilkan jika dibandingkan dengan materi yang memiliki kandungan proton-proton lebih kecil pada kuat medan magnet yang sama. Pada dasarnya kandungan proton ini dalam pemeriksaan MRI tergantung pada kandungan ( kadar ) air yang merupakan salah satu material dari komposisi kimia penyusun jaringan yang diperiksa.
3. Waktu Relaksasi ( T1 dan T2 )
Waktu relaksasi terdiri atas T1 dan T2. jika T1 lama maka diperoleh jumlah signal yang semakin besar pula sebaliknya jika T2 lama diperoleh signal yang semakin kecil.
Berikut ini tabel hubungan T1 dan T2 terhadap bermacam-macam jaringan tubuh pada medan magnet 1 Tesla :
T I S S U E T1 ( mill second ) T2 (mill second )
Fat 180 90
Liver 270 50
Renal Cortex 360 70
White Matter 390 90
Splien 480 80
Gray Matter 390 100
Muscle 600 40
Renal Medulla 680 140
Blood 800 180
Cerebro Spinal Fluid 2000 3000
Water 2500 2500
4. Gerakan Fisiologi ( Flow Phenomena )
Diposkan oleh Sumarsono.Dipl.Rad, S.Si
Kutub-kutub magnet yang senama apabila didekatkan akan tolak menolak, sebaliknya yang tidak senama akan tarik menarik. Menurut hukum coulomb besar gaya tolak menolak dan tarik menarik dua kutub sebanding dengan kekuatan kutub-kutub itu dan berbanding terbalik dengan kuadran jarak kedua kutub tersebut;
K = M1.M2 / D2
K = Gaya tolak / tarik ( dynes )
M1 = kuat kutub pertama dalam satuan kutub utara ( SKU )
M2 = kuat kutub kedua dalam satuan kutub utara ( SKU )
D = jarak antara kedua kutub
SKU adalah kuat kutub magnet yag diletakan sejauh 1 cm dalam kutub lain yang sama kuatnya dan dapat membangkitkan gaya tarik atau tolak sebesar 1 dyne ( 1 gram = 981 dyne ). Banyaknya garis gaya magnet yang dikeluarkan oleh sebuah kutub adalah :
O = 4 M
= 4 ( 3,14 ) M
= 12,57 M
M = Kuat kutub dalam SKU
KEMAGNITAN LISTRIK
Hubungan antara listrik dan kemagnitan dan listrik adalah bahwa magnet dapat dibuat dengan menggunakan arus listrik sebaliknya tenaga listrik dapat dibangkitkan dengan menggunakan magnet. Orang yang pertama kali melakukan penelitian tentang hubungan tersebut adalah Oersted tahun 1819.
Medan magnet dapat timbuk pada sekitar kawat berbentuk lurus maupun melingkar. Sebuah selonoida adalah kawat penghantar listrik yang digulung menjadi sebuah kimparan panjang. Medan magnet yang sitimbulkan oleh suatu kumparan yang dialiri listrik lebih kuat daripada medan magnet yang ditimbulkan oleh sebuah lingkaran saja. Bila didalam kumparan itu ditempatkan inti besi lunak, maka kemagnetannya jauh lebih besar lagi.
Susunan kumparan dari inti besi lunak itu disebut “ elektromagnet “ . keuntungan elektromagnet adalah :
1. Dengan mengambil jumlah lilitan yang banyak dan arus yang kuat dapat diperoleh kemagnetan yang kuat sekali.
2. Bila arus diputus, sifat kemagnitan dapat hilang sama sekali.
3. Kekuatan magnetnya dapat diubah ubah dengan mengubah kuat arusnya.
4. Cara menyimpannya tidak memerlukan apa-apa seperti halnya dengan magnet permanen.
5. Kedua kutubnya dapat ditukar.
Solenoida adalah suatu lilitan kawat atau kumparan yang rapat. Jika solenoida menggunakan teras udara, maka besarnya medan magnet pada pusat dan ujung solenoida adalah sebagai berikut :
B pada pusat solenoida adalah : UO . i . n
Diketahui UO = K . 4
Jika K adalah suatu ketetapan bernilai 10-7 weber / meter ampere
Maka UO = 4 10-7 weber / meter ampere. Jika n = N/ I maka :
B = UO . i . N/L
Dimana : n = jumlah lilitan tiap satuan panjang
I = panjang lilitan
N = jumlah lilitan
Sementara itu kuat medan magnet pada ujung solenoida adalah :
B = UO . i . N/2
Sementara itu kuat medan magnet pada ujung solenoida adalah :
B = UO . i . N/2
Apabila solenoida dilengkungkan maka sumbunya membentuk sebuah lingkaran yang disebut “ toroida “. Berikut gambar solenoida ( A ) dan toroida ( B ).
SEJARAH MRI
Penemuan MRI tidak muncul secara tiba-tiba akan tetapi melalui perkembangan ilmu yang mendukung terwujudnya teknologi MRI. Terdapat serentetan nama yang memiliki andil yang cukup besar dalam mewujudkannya.
Mendeleyev dan Mayer tahun 1869 menyusun unsur-unsur atom dengan sistem periodiknya. Eniest Rutherford, Neils Bohr dan James Chud pada tahun 1911 berjasa dalam teori tentang struktur atom. Kemudian Felix Block dan Edward Purcell keduanya menerima hadiah nobel di bidang fisika pada tahun 1952 mengungkapkan perilaku inti atom seperti sebuah magnet kecil, yang dapat melakukan spin dan precessing dengan berlandaskan pada rumus larmor ( akan dibahas ) yang merupaka
dasar utam terciptanya MRI. Tahun 1960 seorang ahli fisika yang dapat dianggap palinh berjasa dalam pengembangan MRI adalah Raymond Damadian telah melakukan rentetan penelitian dan mampu membedakan jaringan- jaringan tumor ganas dan jaringan normal. Disusul kemudian tahun 1974 ia mendemonstrasikan tumor tikus secara kasar dengan citra MRI dan tahun 1976 menghasilkan citra tubuh manusia dengan memerlukan waktu pemeriksaan 4 jam. Tahun 1977 bersama Paul Luterbur menyempurnakan dan resmi menjadi salah satu instrumen pencitraan medik.
PRINSIP DASAR MRI
Tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air ( H2O ) yang mengandung 2 atom hydrogen yang memiliki no atom ganjil ( 1) yang pada intinya terdapat satu proton. Inti hydrogen merupakan kandungan inti terbanyak dalam jaringan tubuh manusia yaitu 1019 inti/ mm3 , memiliki konsentrasi tertinggi dalam jaringan 100 mmol/ Kg dan memiliki gaya magnetic terkuat dari elemen lain.
Dalam aspek klinisnya, perbedaan jaringan normal dan bukan normal didasarkan pada deteksi dari kerelatifan kandungan air ( proton hydrogen ) dari jaringan tersebut. Proton proton memiliki prilaku yang hampir sama dengan prilaku sebuah magnet. Sebab proton merupakan suatu partikel yang bermuatan positif dan aktif melakukan gerakan mengintari sumbunya ( spin ) secara kontinyu. Secara teori jika suatu muatan listrik melakukan pergerakan maka disekitarnya akan timbul gaya magnet dengan demikian proton proton dapat diibaratkan seperti magnet magnet yang kecil ( Bar Magnetic ). Secara ringkas prosedur pembentukan gambar pada pemeriksaan MRI adalah pasien diletakan dalam medan magnet yang kuat selanjutnya dipancarkan sebuah gelombang radio, ketika gelombang radio dimayikan ( turn off ) pasien memancarkan signal yang berasal dari proton proton tubuh pasien dan signal tersebut akan diterima oleh antenna dan dikirim ke sisitem komputer untuk direkonstruksi menjadi gambar. Proses terjadinya signal MRI yang berasal dari pasien tersebut melalui 3 fase fisika yaitu : Fase Presesi ( Magnetisasi ), Fase Resonansi dan Fase Relaksasi.
FASE PRESESI
Telah diketahui inti sebuah atom terdiri dari neutron yang tidak bermuatan ( netral ) dan proton yang bermuatan positif. Proton proton yang bersifat magnetic memiliki medan magnet yang mengarah pada 2 kutub ( utara dan selatan ) mirip
dengan sebuah magnet kecil ( sebagaimana yang telah dijelaskan ) sehingga proton proton dengan kutubnya tersebut lazim disebut “ Magnetic Dipole “. Pada atom dengan nomor atom genap, inti atom ( partikel elementer ) akan berpasang pasangan sehingga saling meniadakan efek magnetik masing masing dengan demikian tidak terdapat inti bebas yang akan membentuk jaringan magnetisasi sehingga sulit untuk
dirangsang agar terjadi pelepasan signal. Sebaliknya atom atom dengan nomor atom ganjil memiliki inti atom bebas yang akan menghasilkan jaringan magnetisasi, sehingga materi lain selain hydrogen ( dengan 1 proton pada intinya ) juga memungkinkan pengembangan pemeriksaan MRI pada jaringan yang mengandung natrium ( NA 23- Proton 11 dan neutron 12 ), phospor ( NA 31 – 15 proton dan 16 neutron ) dan Potassium ( NA 39-19 proton dan 20 neutron ).
Dalam keadaan normal proton proton hydrogen dalam tubuh tersusun secara acak sehingga tidak dihasilkan jaringan magnetisasi. Ketika pasien dimasukan kedalam medan magnet yang kuat dalam pesawat MRI, magnetik dipole ( proton proton ) tubuh pasien akan searah ( parallel ) dan tidak searah ( antiparallel ) dengan kutub medan magnet pesawat. Selisih proton proton yang searah dan berlawanan arah amat sedikit dan tergantung kekuatan medan magnet pesawat dan selisih inilah yang akan merupakan inti bebas ( tidak berpasangan ) yang akan membentuk jaringan magnetisasi. Berikut skema perbedaan kekuatan medan magnet terhadap terjadinya proton proton bebas pada setiap 2 juta dipole ;
0.5 Tesla = Dipole paralel dan anti paralel masing-masing 1 juta dan
dipole bebas 3
1 Tesla = Dipole paralel dan anti paralel masing-masing 1 juta dan
dipole bebas 6
1.5 Tesla = Dipole paralel dan anti paralel masing-masing 1 juta dan
dipole bebas 9
Sebagai contoh dapat dikemukan sebagai berikut :
Misal pada pesawat MRI dengan kekuatan medan magnet 1,5 tesla dan ukuran
Voxel adalah 2 x 2 x 5 mm = 20 mm3 berarti volume isi adalah 0,02
ml. Jika yang diperiksa adalah unsur air ( H2O ) maka :
Massa relatif ( Mr ) molekul H2O adalah 18 ( O16 dan 2H1 ), dengan jumlah
mol atom hydrogen dalam air adalah 2 mol. ( sebab dalam 1 molekul air
terdapat 2 mol hydrogen ) sehingga kandungan partikel proton hydrogen dalam 1
molekul air adalah 2 x 6,02 x 1023. 6,02 x 1023 adalah bilangan avugardo.
Yaitu = ketetapan yang menyatakan terdapat 6,02 x 1023 partikel dalam 1 mol /
unsure. Berarti dalam 1 molekul air terdapat partikel proton hydrogen
sebanyak 2 x 6,02 x 1023 partikel proton. Dalam 1 voxel air terdapat 1,388 x
1021 total proton hydrogen.
Jika kekuatan medan magnet pesawat MRI adalah 1,5 Tesla maka akan diperoleh
jumlah proton bebas yang membentuk jaringan dalam 1 voxel air yaitu : 1,388 x
1021 x 9 / 2 x 106 = 6.02 x 1015 proton.
Dipole yang membentuk jaringan magnetisasi tersebut cenderung dengan arah kurub medan magnet pesawat MRI ( B0 ) – dikenal juga dengan arah longitudinal (Z axis ). Jaringan magnetisasi itu sulit diukur karena arah induksi magnetnya sama dengan arah induksi magnet pesawat, sehingga dibutuhkan perubahan arah induksi magnet dari dipole dipole tersebut dengan menggunakan gelombang radio.
Dipole – dipole selain terus melakukan spin juga melakukan gerakan relatif. Gerakan relatif tersubut serupa dengan gerakan permukan gasing ( spinning to toy ) yang disebut gerakan presesi ( lihat gambar )
Frekuensi gerakan presesi tergantung pada jenis atom dan kekuatan medan magnet luar yang mempengaruhinya ( kekuatan medam magnet pesawat MRI ). Frekuensi presesi dapat dihitung berdasarkan rumus larmor berikut ini :
WO = Y . BO
Dimana : WO ( Omega Zerio ) = frekuensi presesi atau resonansi manetio
( 2,13 MHZ – 85 MHZ )
Y ( gamma ) = konstanta giromagnetik proton
( hydrogen 42,8 MHZ/Tesla )
BO = kekuatan medan magnet ( Tesla )
Dipole yang membentuk jaringan magnetisasi tersebut cenderung dengan arah kurub medan magnet pesawat MRI ( B0 ) – dikenal juga dengan arah longitudinal (Z axis ). Jaringan magnetisasi itu sulit diukur karena arah induksi magnetnya sama dengan arah induksi magnet pesawat, sehingga dibutuhkan perubahan arah induksi magnet dari dipole dipole tersebut dengan menggunakan gelombang radio.
Dipole – dipole selain terus melakukan spin juga melakukan gerakan relatif. Gerakan relatif tersubut serupa dengan gerakan permukan gasing ( spinning to toy ) yang disebut gerakan presesi
FASE RESONANSI
Mengetahui secara tepat frekuensi presesi proton proton sangat mutlak untuk menentukan besarnya frekuensi presesi gelombang radio ( RF ) yang akan dipancarkan untuk mengubah arah orientasi dipole yang membentuk jaringan magnetisasi.
Ketika proton proton hydrogen mengalami 1 presesi, maka proton proton akan mudah menyerap energi luar. Pada saat fase presesi itulah gelombang radio (RF) dipancarkan dan proton proton hydrogen akan menyerapnya dan mulai bergerak meninggalkan arah longitudinal ( L direction ) yang sejajar dengan arah kutub magnet pesawat menuju kearah transversal ( Tegak lurus terhadap sumbu medan magnet pesawat) dan menghasilkan magnetisasi transversal. Proton proton yang dapat dipengaruhi oleh gelombang radio hanyalah proton proton yang memiliki frekuensi presesi yang sama dengan frekuensi gelombang radio.
Fase proton proton bergerak meninggalkan sumbu longitudinal menuju arah transversal disebut sebagai fase resonansi.
FASE RELAKSASI
Ketika proton proton hydrogen berada pada bidang transversal, akan menginduksikan signal dalam bentuk gelombang elektromagnetik ( dikenal dengan MRI ) yang akan diterima oleh sebuah kumparan ( antenna ) penerima disisi pesawat MRI. Saat pancaran frekuensi radio dihentikan ( turn off ) proton proton secara perlahan lahan kehilangan energinya dan mulai bergerak meninggalkan arah transversal ( decay ) menuju kembali kearah longitudinal ( recovery ) sambil melepaskan energi yang diserapnya dari gelombang radio dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang dikenal sebagai SIGNAL MRI, fase ini disebut fase relaksasi.
Fase relaksasi dibagi menjadi T1 dan T2. T1 didefenisikan sebagai waktu yang diperlukan proton proton hydrogen sekitar 63% telah berada kembali dalam arah longitudinal ( magnetisasi longitudinal ). T1 mencerminkan tingkat trnsfer energi frekuensi radio ( RF ) dari proton proton keseluruh jaringan sekitar ( Tissue-Lattice ) sehingga T1 biasa pula dikenal; istilah “ Spin Lattice-Relaxation”, dimana besar T1 tergantung pada konsentrasi dan kepadatan proton serta struktur kimiawi dari materi jaringan yang diperiksa ( Macromolecul enveiroment ). Jika T1 makin lama maka diperoleh signal yang makin besar.
Ketika pemberian gelombang radio 900 ( memutar proton proton ke arah transversal ) diperoleh signal dari arah transversal maksimum. Namun ketika RF 900 dihentikan magnetisasi transversal yang memancarkan signal awal maksimum berangsur angsur mulai berkurang ( Decay ). Awalnya presesi proton proton berada dalam laju dan arah yang sama ( fase yang sama ) namun secara perlahan satu sama lain keluar dari fase yang satu tersebut ( Dephasing ) disebabkan terjadinya interaksi masing proton dengan proton proton disekitarnya ( spin-spin interaction ). Interaksi spin spin merupakan suatu mekanisme tambahan yang dikonstribusikan oleh kenyataan bahwa medan magnetic eksternal dari pesawat MRI tidak betul betul
seragam ( homogen ) sehingga menghasilkan magnetisasi proton proton lokal yang tidak homogen ( local inhomogeneity ). Local inhomogeneity meningkatkan interksi spin spin dan mempercepat dephasing sehingga mempercepat penurunan besarnya signal ( signal decay ) ke nilai nol. Hal ini berarti terdapat adanya signal yang hilang ( loss of signal ). Waktu yang diperlukan proton proton dari keadaan magnetisasi transversal berkurang hingga sekitar 37 % saja merupakan nilai T2 yang sebenarnya. Kehilangan signal yang diakibatkan oleh medan magnetic lokal yang tidak homogen tersebut, menutupi nolai T2 yang sebenarnya. Nilai T2 yang diakibatkan oleh adanya medan magnetic yang tidak homogen diberi symbol T2*.
Nilai T1, T2 dan efek T2* terhadap nilai T2 yang sebenarnya dapat diperlihatkan pada kurva berikut :
Pada gambar ( A ) nilai T1 lebih cepat pada jaringan padat ( solid) dibandingkan cairan ( liquid ). Gambar ( B ) menunjukan defenisi T2 dan gambar ( C ) menunjukan efek T2* terhadap nilai T2 yang sebenarnya.
Medan magnetic lokal yang tidak homogen mengakibatkan terjadinya gerakan presesi proton proton yang tidak seragam ( acak ) sehingga menyebabkan terjadinya saling interaksi diantara mereka dengan demikian tidak ada signal yang terdeteksi sehingga seolah olah ada kehilangan signal ( loss of signal ). Hadirnya T2* mempersepat signal menuju ke nol, oleh karena itu prosedur pemeriksaan MRI salah satunya adalah mengurangi atau menghilangkan efek T2*, sehingga diperileh nilai T2 yang sebenarnya. Jika nilai T2 besar maka signal yang dihasilkan juga besar. Jadi proses deohasing diakibatkan oleh hasil interaksi spin spin yang sebenarnya dan interaksi spin spin akibat medan magnet yang tidak homogen ( T2* ).
Ringkasan Prinsip Dasar Pemeriksaan MRI
Secara ringkas dapat disimpulakan kejadian dan langkah – langkah pemeriksaan MRI sebagai berikut :
1. Penderita sebelum dimasukan kedalam medan magnet pesawat MRI, proton proton dalam tubuh tersusun secara acak, sehingga tidak ada jaringan magnetisasi.
2. Penderita ditempatkan dalam medan magnet, terjadi magnetisasi proton posisi parallel dan anti parallel serta melakukan gerakan presesi.
3. Pemberian gelombang radio ( RF ) proton menyerap energi dari gelombang radio tersebut dan melakukan magnetisasi ke arah transversal ( Fase Resonansi ).
4. Penghentian gelombang radio menyebabkan relaksasi ( kembali ke posisi awal ) dimana proton proton melepaskan energi berupa signal- signal elektromagnetik ( Signal MRI ).
5. Signal- signal diterima oleh sebuah koil antenna penerima.
6. Selanjutnya signal- signal tersebut diubah menjadi pulsa listrik dan dikirim ke sistem komputer untuk diubah menjadi gambar.
Untuk memperoleh nilai T1 dan T2 yang tidak dipengaruhi oleh T2* dibutuhkan rangkaian pulsa khusus ( special pulse sequence ) yaitu : Saturation Recovery, Inversion Recovery, dan Spin Echo Sequence.
SIGNIFIKASI SIGNAL MRI
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan signal MRI yaitu :
1. Medan Magnet Utama
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kekuatan medan magnet luar ( magnet pesawat MRI ) mempengaruhi jumlah proton-proton bebas yang membentuk jaringan magnetisasi ( Proton-proton parallel yang tidak memiliki pasangan anti parallel ). Semakin besar kekuatan medan magnet utama maka semakin besar pula jumlah proton-proton bebas yang membentuk jaringan magnetisasi sehingga secara keseluruhan akan memberikan akumulasi signal yang semakin besar pula.
2. Proton Density ( Chemical Shift dan Dimensi Jaringan )
Jika materi yang diperiksa memiliki kandungan proton yang besar maka akan semakin banyak pula proton-proton bebas yang akan membentuk jaringan magnetisasi dihasilkan jika dibandingkan dengan materi yang memiliki kandungan proton-proton lebih kecil pada kuat medan magnet yang sama. Pada dasarnya kandungan proton ini dalam pemeriksaan MRI tergantung pada kandungan ( kadar ) air yang merupakan salah satu material dari komposisi kimia penyusun jaringan yang diperiksa.
3. Waktu Relaksasi ( T1 dan T2 )
Waktu relaksasi terdiri atas T1 dan T2. jika T1 lama maka diperoleh jumlah signal yang semakin besar pula sebaliknya jika T2 lama diperoleh signal yang semakin kecil.
Berikut ini tabel hubungan T1 dan T2 terhadap bermacam-macam jaringan tubuh pada medan magnet 1 Tesla :
T I S S U E T1 ( mill second ) T2 (mill second )
Fat 180 90
Liver 270 50
Renal Cortex 360 70
White Matter 390 90
Splien 480 80
Gray Matter 390 100
Muscle 600 40
Renal Medulla 680 140
Blood 800 180
Cerebro Spinal Fluid 2000 3000
Water 2500 2500
4. Gerakan Fisiologi ( Flow Phenomena )
Diposkan oleh Sumarsono.Dipl.Rad, S.Si
No comments:
Post a Comment