KESELAMATAN
KERJA DALAM PELAYANAN RADIODIAGNOSTIK
DI
LABORATORIUM RADIOLOGI
JURUSAN
TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
OLEH
EDDY RUMHADI ISKANDAR
POLITEKNIK
KESEHATAN JAKARATA II
TH 2002
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang.
Pemeriksaan
diagnostik radiologi telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan kita sehari-hari, terutama didalam penatalaksanaan klinis patient di
dalam pelayanan kesehatan. Sejak ditemukannya sinar X oleh Roentgen pada tahun
1895 dan kemudian diproduksinya peralatan radiografi pertama untuk penggunaan
diagnostik klinis, prinsip dasar dari radiografi tidak mengalami perubahan sama
sekali, yaitu memproduksi suatu gambar pada film reseptor dengan sumber radiasi
dari suatu berkas sinar-X yang mengalami absorbsi dan attenuasi ketika melalui
berbagai organ atau bagian pada tubuh.
Perkembangan
teknologi radiologi telah memberikan banyak sumbangan tidak hanya dalam
perluasan wawasan ilmu dan kemampuan diagnostik radiologi, akan tetapi juga
dalam proteksi radiasi pada pasien-pasien yang mengharuskan pemberian radiasi
kepada pasen serendah mungkin sesuai dengan kebutuhan klinis merupakan aspek
penting dalam pelayanan diagnostik radiologi yang perlu mendapat perhatian
secara kontinu. Karena selama radiasi sinar-x menembus bahan/materi
terjadi tumbukan foton dengan atom-atom
bahan yang akan menimbulkan ionisasi didalam bahan tersebut, oleh karena
sinar-x merupakan radiasi pengion, kejadian inilah yang memungkinkan timbulnya
efek radiasi terhadap tubuh, baik yang bersifat non stokastik , stokastik
maupun efek genetik..
Dengan demikian
diperlukan upaya yang terus menerus untuk melakukan kegiatan keselamatan dan
kesehatan kerja dalam medan
radiasi pengion melalui tindakan proteksi radiasi, baik berupa kegiatan survey
radiasi, personal monitoring, Jaminan Kualitas radiodiagnostik. Ketaatan
terhadap Prosedur kerja dengan radiasi, Standar pelayanan radiografi, Standar
Prosedur pemeriksaan radiografi semua perangkat tersebut untuk meminimalkan
tingkat paparan radiasi yang diterima oleh pekerja radiasi, pasien maupun
lingkungan dimana pesawat radiasi pengion dioperasikan.
I.2 Tujuan
Tujuan Umum
: untuk mengetahui sejauh mana tindakan proteksi yang dilakukan oleh pengguna
radiasi pengion dalam upaya mengurangi
tingkat paparan radiasi yang diterima petugas radiasi dalam upaya pencapaian
tingkat kompetensi mahasiswa.
Tujuan Khusus :
1. Mampu melakukan
upaya tindakan proteksi radiasi
2. Mampu mengevaluasi
tindakan proteksi radiasi yang telah dilakukan
3.
Mampu melakukan tindakan – tindakan perubahan
tindakan proteksi kearah yang lebih baik efektif dan efesien.
4. Mampu patuh dan
taat untuk melaksanakan standar prosedur operasional peralatan radiasi, Standar
Prosedur Kerja dengan Radiasi, Standar pelayanan Pemeriksaan Radiografi dan
Standar prosedur Pemeliharaan Peralatan Radiologi.
I. 3 Manfaat
Untuk
Pekerja Radiasi : Menjaga, memelihara, serta meningkatkan derajat kesehatan dan
keselamatan kerja dengan radiasi pengion.
Untuk Pasien :
Menghilangkan rasa khawatir / takut untuk dilakukan pemeriksaan radiologi,
karena merasa dirinya akan selalu mendapatkan pelayanan radiologi yang bermutu.
Untuk
Perusahaan : Produktivitas Tenaga Kerja dapat dipelihara, dipertahankan dan
memungkinkan untuk ditingkatkan.
I.4 Ruang
Lingkup.
Karya Tulis ini disampaikan
berdasarkan tinjauan pustaka, beberapa penelitian tentang pengaruh atau efek
radiasi pengion pada tubuh manusia, baik itu pasien, pekerja radiasi maupun
lingkungan, serta pengalaman selama bekerja sebagai pekerja radiasi di
Instalasi Radiologi Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Poltekkes
Jakarta II..
BAB II
PERMASALAHAN
Undang-Undang No
10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran sebagai penyempurnaaan Undang Undang No
31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom dimaksudkan agar dapat
mengikuti perkembangan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia diberbagai bidang
sehingga dalam pemanfaatannya dapat menjamin keselamatan pekerja, masyarakat
maupun lingkungan hidup.
Dalam pemanfatan
tenaga nuklir termasuk sumber radiasi pengion dibidang kesehatan khususnya
dibidang pelayanan radiologi harus memiliki izin dan orang tertentu yang
mempunyai kualifikasi kompetensi khusus yang telah teruji tremasuk didalamnya
ahli radiografi ( Radiografer ). Hal ini disebabkan karena telah diketahui
bahwa selain banyak manfaatnya, radiasi pengion memiliki potensi bahaya bila
tidak dikelola oleh orang-orang yang profesional dibidang radiasi.
Salah satu potensi bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh pemanfaatan radiasi pengion adalah timbulnya efek radiasi baik
yang bersifat non stokastik, stokastik dan efek genetik yang mungkin timbul
akibat pekerja radiasi mendapat paparan radiasi. Efek tersebut dapat berupa
Radiation Sicknes, penyakit keganasan sampai timbul penyakit yang timbul pada
keturunannya ( akibat timbulnya efek Genetik ) yang disebkan adanya penerimaan
paparan radiasi eksterna dalam jumlah kecil namun diterima dalam jangka waktu
yang lama.
Oleh USEAC ( Unirted State Energy
Atomic Commision ) tahun 1960 – 1968 dilaporkan bahwa efek yang timbul
disebabkan adanya kecelakaan radiasi yang diakibatkan adanya kecelakaan radiasi
dan secara rinci kecelakaan tersebut disebabkan oleh :
Kesalahan operator
: 68 %
Kesalahan prosedur : 8 %
Kerusakan
perlengkapan : 15 %
Lain – Lain :
9 %
Kesalahan Operator
terperinci sebagai berikut :
Tidak melakukan survey radiasi : 46 %
Tidak mengikuti prosedur : 36 %
Tidak menggunakan peralatan proteksi : 6 %
Kesalahan manusiawi : 6 %
Kesalahan menghitung paparan radiasi :
6 %
Dari jenis
kecelakaan yang terjadi antara tahun 1960 – 1968 ternyata jenis pekerjaan
radiografi memegang rekor. Dari 152 kejadian kecelakaan ditemukan bahwa :
Jenis Kegiatan Jumlah
Kecelakaan
Radiografi 59
Laboratorium 44
Plant Operator 28
Perbaikan alat 12
Kedokteran 3
Pendidikan 2
Kontruksi 2
Pengangkutan 1
Tidak
diketahui 1
Dari
59 kecelakaan radiografi tersebut diperoleh bahwa kesalahan diakibatkan oleh :
Kesalahan operator 40
Kegagalan prosedur 5
Kerusakan perlengkapan 13
Lain – Lain 1
Dari 40 kesalahan
operator diperinci sebagai berikut :
Tidak melakukan survey
radiasi 29
Tidak mengikuti prosedur 6
Kesalahan menghitung
paparan 3
Kesalahan manusiawi 1
Kerusakan perlengkapan 1
Dilihat dari hasil
laporan tersebut ternyata bahwa tindakan atau kejadian kecelakaan radiasi yang
terbesar adalah dibidang radiografi yang disebabkan oleh operator yang
mengoperasikan peralatan / alat sumber radiasi dan akibat tersebut yang
terbesar adalah disebabkan operator tidak melakukan survey radiasi dan tidak
taat terhadap standar prosedur yang telah ditetapkan.
Pekerja radiasi merupakan pekerja / tenaga kesehatan yang
selalu berada didalam medan
radiasi pengion, karena selalu bekerja dengan pesawat sinar-X yang merupakan
salah satu sumber radiasi pengion. Dengan demikian pekerja/tenaga kesehatan mempunyai resiko terkena paparan radiasi
selama melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan bidang
radiologi, sehingga kemungkinan besar akan berpotendi mengalami efek akibat pemanfaatan radiasi sinar-X.
Dengan demikian timbulah permasalahan
“ Apakah Radiografer mampu meningkatkan
kesehatan dan keselamatan kerja dengan radiasi pengion “
BAB III
PEMBAHASAN
3. 1 Kerangka Teori.
Radiasi pengion
adalah radiasi radiasi yang mampu menimbulkan ionisasi pada suatu bahan yang
dilalui. Ionisasi tersebut diakibatkan adanya penyerapan tenaga radiasi pengion
oleh bahan yang terkena radiasi. Dengan demikian banyaknya jumlah ionisasi
tergantung dari jumlah tenaga radiasi yang diserap oleh bahan.
Sedangkan jumlah tenaga radiasi yang
diserap tergantung oleh Intensitas dan energy yang mengenai bahan. Pada pesawat
sinar-X intensitas radiasi tergantung dari perkalinan antara arus tabung ( mA )
dan lamanya arus tabung mengalis dalam satuan second, sedangkan energi sinar-X
tergantung dari pemakaian tegangan tabung yaitu beda potensial antara Anoda dan
Katoda dengan satuan kV.
Untuk
setiap pemeriksaan radiografi selalu dipakai faktor eksposi yang menentukan
intensitas dan energy sinar-X yang akan dipakai, dan hal ini tidak hanya
tergantung dari tebal atau tipisnya organ yang akan diperiksa tetapi juga
tergantung dari densitas / kerapatan bahan tersebut. Sehingga setiap organ
apabila akan dilakukan pemeriksaan secara radiografi perlu ditentukan terlebih
dahulu pemilihan faktor eksposi yang optimal.
Salah satu
terobosan penting dalam teknik radiografi adalah ditemukannya kontak film
screen system yang mampu mengurangi beban radiasi pada pasien sebesar factor ³100 jika dibandingkan dengan direct
film radiography yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan metode computer radiography maupun
digital radiography. Demikian juga kemajuan teknologi dalam produksi peralatan
X-ray atau X-ray tube yang sangat
memperhatikan keselamatan radiasi pada saat ini merupakan sisi lain dapat
mengurangi beban radiasi pada pasien secara significant dan perlu mendapat
approval pengoperasiannya maupun pengontrolan yang ketat secara teratur selama
pengoperasiannya oleh badan terkait (Bapeten).
Perkembangan Ilmu
dan Teknologi yang pesat pada umumnya ditujukan untuk meningkatkan tyingkat
paparan yang diterima oleh pasen dan pekerja radiasi serta lingkungan hidup.
Karena dampak atau efek radiasi yang paling mungkin akan muncul yaitu kepada
pekerja dan pasien.
3.2 Tindakan Proteksi Radiasi.
Tindakan proteksi
radiasi yang dilakukan tentunya merupakan tindakan proteksi radiasi terhadap
paparan radiasi sinar – X, jadi merupakan tindakan proteksi radiasi eksterna,
karena sumber radiasi berada di luar tubuh manusia. Sebelum menerangkan apa
yang dimaksud dengan tindakan proteksi radiasi eksterna terlebih dahulu perlu
diterangkan mengenai pengertian, filosopi / falasah dan tujuan proteksi
radiasi.
Proteksi radiasi
atau fisika kesehatan dan keselamatan radiasi adalah suatu cabang ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan teknik kesehatan yang perlu diberikan kepada
seseorang atau kelompok orang terhadap kemungkinan diperolehnya akibat negatif
dari radiasi pengion.
Adapun filosofi / falsafah proteksi radiasi
adalah analisa atau perhotungan untung rugi yang harus mencakup keuntungan yang
harus diperoleh oleh masyarakat bukan hanya oleh sesorang atau kelompok .
Dengan demikian perlu diperhitungkan anatara resiko dan manfaat dari kegiatan
yang menggunakan peralatan dan atau sumber radiasi pengion. Untuk proteksi
radiasi ditentukan bahwa manfaat haruslah jauh lebih besar daripada resiko yang
mungkin diperoleh oleh pekerja radiasi dan masyarakat. Untuk maksud tersebut
filosofi / falsafah proteksi radiasi
menyatakan bahwa setiap pemanfaatan zat radioaktif dan atau sumber radiasi
pengion lainnya :
Hanya
didasarkan pada azas manfaat dan justifikasi. yang berarti harus ada izin
pemanfaatan dari BAPETEN ( Badan Pengawas Tenaga Atom ).
Semua
penyinaran harus diusahakan serendah-rendahnaya ( As Low As Reasonable
Achievable – ALARA ) dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial dan
dosis equivalent yang diterima seseorang
tidak boleh melampaui Nilai Batas Dosis ( NBD ) yang telah ditetapkan.
Adapun tindakan
proteksi radiasi eksterna adalah tindakan untuk mengupayakan agar tingkat
paparan radiasi yang diterima pekerja radiasi menjadi serendah mungkin. Untuk
maksud tersebut perlu diperhatikan faktor-faktor utama proteksi radiasi yaitu :
Faktor Waktu
Besar
Dosis atau tingkat paparan radiasi yang diterima seseorang yang sedang bekerja
dengan laju dosis tertentu berbanding lurus dengan lama waktu ia berada
ditempat itu.
Dt = Do x t à Dosis = Laju Dosis
X Waktu
Dt = Dosis yang diterima
Do = Laju Dosis mula-mula
t = Waktu
Contoh :
Seorang pekerja radiasi
diizinkan menerima dosis sebesar 100 m Rem/minggu, berapa jam seminggu ia boleh
bekerja dalam medan
radiasi dengan laju dosis 10 mRem/Jam
Dari Rumus
:
Dt =
Do X t
100 mrem/minggu = 10 mRem / Jam X t
t =
100 mRem/minggu : 10 mRem /Jam
=
10 Jam / minggu
Dengan demikian
berarti pekerja radiasi harus bekerja secepat mungkin bila bekerja dengan
radiasi.
Faktor Jarak.
Paparan radiasi
berkurang dengan bertambahnya jarak dari sumber radiasi secara matematis dapat
ditulis sebagai berikut :
Dr1 x
r12 = Dr2 x
r22
Dr1 = Laju Dosis pada jarak r1
Dr2 = Laju Dosis pada jarak r2
Dari
rumus diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
Jika Jarak diperbesar 2 kali maka
laju dosis menjadi 1/22 lebih kecil, demikian pula bila jarak
diperkecil 2 kali maka laju dosis menjadi 22 lebih besar.
Contoh :
Sebuah sumber
radiasi sinar – x memberikan laju dosis pada jarak 2 m dari sumber sebesar 100
mRem/Jam, berapakah laju dosis pada jarak 4 m dari sumber radiasi.
Dari rumus : Dr1 x r12 = Dr2 x r22
100 m Rem x 22 = Dr2 x 42
Dr2 = 100 mRem x 42/22
= 25 mRem
Dengan cara lain : Jarak dari sumber diperkecil dari 4 m menjadi 2 m berarti diperbesar 2 kali, maka laju dosis menjadi lebih kecil 1/ 22 ( ¼ ) dari semula.
Faktor Penahan
Radiasi ( Perisai )
Proses atenuasi sinar-X terutama apabila mempunyai berkas sinar sempit
dalam bahan pelindung sebagai bahan penyerap bersifat eksponensial . Laju Dosis
radiasi sinar-X disuatu titik setelah melalui bahan penyerap dapat ditulis
sebagai berikut :
Dt = Do e-ut
Dt =
Dosis setelah melalui bahan penyerap
Do =
Dosis mula-mula
e =
Koefisien serap linear
t =
Tebal bahan penyerap
Untuk ketebalan
dari suatu bahan penahan radiasi tertentu dapat menyerap Intensitas radiasi
menjadi setengah dari semula maka ketebalan bahan radiasi tersebut dinamakan
HVL
Bila Dt = ½ Do
Maka rumus :
Dt
= Do-eut
½ Do
= Do e-HVL
½ =
e-HVL
-u.HVL =
ln ½
HVL = 0.693/u
Sehingga
Rumus Dt = Do e-ut
Dapat
ditulis sebagai :
– (093 .t )
Dt = Doe -------------
HVL
Dt =
Do ( ½ ) t/HVT
Dt
= Do/ 2 t/HVT
Konsep
HVL ini sangat berguna untuk menghitung secara cepat tebal bahan penahan
radiasi yang diperlukan.
Umpamanya
:
1. Untuk mengurangi
dosis menjadi setengahnya diperlukan bahan penahan radiasi setebal 1 kali HVL.
2. Untuk mengurangi
laju dosis hingga 1/4 atau ( ½ )2 diperlukan bahan penahan setebal 2
kali HVL, sedang untuk mengurangi dosis menjadi 1/8 atau ( ½) 3 diperlukan
bahan penahan setebal 3 kali HVL.
Contoh
:
Berapa
tebal bahan penahan yang dibutuhkan untuk mengurangi laju dosis disuatu titik
dari 160 mRem/jam menjadi 10 mRem/Jam ( diketahui HVL = 2 mm Pb ).
Laju
Dosis dari 160 mRem menjadi 10 m Rem/jam, berarti terjadi pengurangan sebesar
faktor 16 atau 24. Jadi tebal bahan yang dibutuhkan adalah setebal :
4 x 2 mm Pb = 8 mmPb.
III.3 Efek Biologi Radiasi.
III.3.1 Efek Deterministik ( Non
Stokastik )
Efek
Deterministik ( Non Stokastik ) dapat terjadi akibat penyinaran lokal maupun
menyeluruh sehingga sejumlah cukup banyak sel mati dan tidak dapat
dikompesasikan oleh pembelahan sel yang masih hidup. Di Samping efek yang
mematikan sel, radiasi dapat merusak jaringan dengan cara menimbulkan reaksi
peradangan yang mempengaruhi
permiabilitas sel dan jaringan, mempengaruhi migrasi alamiah sel pada alat
tubuh yang sedang berkembang, atau efek tak langsung melalui organ laian (
misalnya penyinaran pada hipopisis akan mempengaruhi fungsi kelenjar endokrin
yang lain )
1. Ciri-Ciri Efek
Deterninistik ( Non Stokastik )
2. Mempunyai dosis
ambang
3. Umumnya timbul
tidak begitu lama setelah terkena radiasi.
4. Ada penyembuhan spontan ( tergantung
keparahan )
5. Dosis radiasi
mempengaruhi keparahan efek ( makin besar dosis, efek makin parah ).
Jika
kematian masing-masing sel bersifat acak ( stokastik ), terganggunya fungsi
jaringan atau organ bersifat deterministik, karena memerlukan dosis ambang
untuk dapat menimbulkan terjadinya efek.
Menurut
International Commission Radiation Protection ( ICRP ) besarnya dosis ambang
ini untuk efek deterministik pada testis, ovarium, lensa mata dan sumsun tulang
manusia dewasa adalah seperti yang di gambarkan pada Tabel dibawah ini :
Estimasi Dosis
Ambang beberapa Efek Deterministik pada Manusia Dewasa
JARINGAN DAN EFEK
|
DOSIS AMBANG
|
||
A (
Sv )
|
B (
Sv )
|
C (
Sv )
|
|
Testis
·
Steril Sementara
·
Steril menetap
Ovarium
·
Sterilitas
Lensa Mata
·
Kekeruhan yang teramati
·
Katarak
Sumsum Tulang
·
Penekanan Produksi Sel-Sel Darah
|
0,15
3,5
– 6,0
2,5
– 6,0
0,5
– 2,0
5,0
0,5
|
*)
*)
6,0
5
> 8
*)
|
0,4
2,0
> 0,2
> 0,1
>
0,15
> 0,4
|
Keterangan :
A = Dosis ekivalen
total yang diterima pada penyinaran tunggal yang singkat
B = Dosis ekivalen
total yang diterima pada penyinaran berulang-ulang atau kronik
C = Laju dosis
tahunan apabila penyinaran berulang-ulang diterima setiap tahun
atau penyinaran kronik berlangsung
selama beberapa tahun
*) = Tidak berlaku
karena dosis ambang untuk efek tersebut lebih bergantung pada
laju dosis dari pada dosis total
Pada kulit, efek
deterministik yang berupa kemerahan ( erythema ) dan pengelupasan kering ( dry
desquamation ) terjadi pada dosis
sekitar 3 – 5 Gray, kira-kira 3 minggu setelah penyinaran. Pengelupasan kulit
disertai dengan pelepuhan terjadi pada dosis sekitar 20 Gray kira-kira 3 minggu
setelah menerima penyinaran dengan dosisi 50 Gray atau lebih.
Pada penyinaran
seluruh tubuh akan timbul sindroma radiasi akut apabila dosis cukup tinggi ( 1
Gray atau lebih ). Pada dosis yang
tinggi, kematian organisme dapat terjadi karena sel yang terbunuh cukup besar
jumlahnya dan melibatkan organ-organ vital ( organ pembuat darah, saluran pencernaan
makanan, sistem jantung dan pembuluh darah, susunan syaraf pusat ). Untuk orang
dewasa sehat, dosis radiasi yang menimbulkan kematian dalam waktu 60 hari pada
50% dari populasi yang terkena radiasi seluruh tubuh ( LD ), menurut ICRP ( 1991 ) adalah antara
3 - 5 Gray.
Selama dalam
kandungan, pada periode pembentukan alat-alat tubuh, kematian sejumlah kecil
sel yang kehadirannya bersifat esensial dapat berakibat cacat pembentukan
organ. Efek terpenting pada penyinaran terhadap janin dalam rahim adalah cacat
mental mulai dari bentuk ringan sampai kemunduran mental berat. Efek ini makin
parah bila dosis radiasi yang diterima makin besar. Kemunduran mental dapat
ditemukan pada anak-anak yang menerima radiasi selama dalam kandungan, terutama
bila penyinaran itu terjadi pada umur kehamilan antara 8 – 15 minggu.
Kemunduruan mental itu diduga terjadi karena salah hubung sel-sel s yaraf di
otak yang keparahannya tergantung pada besar dosis penyinaran. Salah hubung
sel-sel syaraf ini menyebabkan pergeseran ke arah IQ rendah pada kurva
distribusi IQ pada suatu populasi yang terkena radiasi. Dosis radiasi sebesar 1
Sv akan menambah sejumlah 40% kasus baru kemunduran mental berat (IQ<70) ( UNSCEAR, 1993 ).
III. 4. EFEK
STOKASTIK
Efek Stokastik
akibat radiasi mempunyai ciri-ciri :
·
Tidak mengenal dosis ambang
·
Timbul setelah melalui masa tenang yang lama
·
Tidak ada penyembuhan spontan
·
Dosis radiasi tidak mempengaruhi keparahan efek
·
Peluang timbulnya efek makin besar bila dosis semakin
meningkat
III. 4. 1. Induksi Kanker
Proses menuju
timbulnya kanker diawali dengan gangguan regulasi pada pertumbuhan, reproduksi
dan perkembangan sel somatik induk ( precurso r). Meskipun perubahan awal telah
terjadi, sel yang telah berubah itu belum bersifat sebagai kanker; masih diperlukan
stimulasi oleh zat-zat kimia, hormon atau faktor-faktor lingkungan yang lain.
Perubahan tunggal
pada kode genetik sel biasanya belum mencukupi untuk membuat suatu sel menjadi
kanker; untuk itu diperlukan beberapa mutasi. Jadi proses timbulnya kanker adalah
proses yang bertahap-tahap ( multi stages carcinogenesis ).
Sangat boleh jadi
radiasi bekerja pada tahap-tahap awal dalam proses induksi kanker yang
bertahap-tahap dengan mengubah sel induk yang normal menjadi sel pra kanker.
Karena itulah usia timbulnya kanker akibat radiasi tidak banyak berbeda dengan
kanker sejenis yang timbul bukan akibat radiasi. Namun demikian, ada kalanya
radiasi berpengaruh pada tahap lanjut dalam proses induksi kanker, sehingga
masa laten diperpendek.
Pada manusia,
periode antara pemaparan terhadap radiasi dan timbulnya kanker, yang disebut
masa laten, bertahun-tahun lamanya. Masa laten rata-rata 8 tahun dalam hal
leukemia akibat radiasi dan 2 – 3 kali lebih lama pada kebanyakan tumor mempat
(solid) seperti misalnya tumor panyudara atau paru-paru ( ICRP, 1991 ).
III. 4. 2. Efek Pewarisan
Apabila perubahan
kode genetik terjadi pada sel pembawa keturunan ( sel sperma atau sel telur )
maka efek radiasi yang diterima oleh individu yang terkena radiasi akan
diwariskan kepada keturunannya. Penelitian pada hewan dan tanaman menunjukkan
bahwa efek itu dapat bervariasi dari yang ringan hingga kehilangan fungsi dan
kelainan anatomik yang parah bahkan kematian prematur.
Suatu kerusan tak
mematikan pada sel pembawa keturunan pada prinsipnya akan diwariskan lebih
lanjut ke generasi berikutnya. Mutasi dominan yaitu perubahan kode genetik yang
berasal dari salah satu orang tua dan masih mempunyai pengaruh yang dominan
pada keturunan dan dapat menimbulkan penyakit yang diwariskan pada keturunan
generasi pertama. Beberapa diantara penyakit-penyakit ini sangat merugikan
individu yang menderita dan mempengaruhi lama hidup dan peluangnya untuk
bereproduksi. Mutasi resesif (perubhan kode genetik yang harus berasal dari
kedua orang tua agar dapat menimbulkan efek pewarisan pada keturunan)
menghasilakn efek yang kurang penting pada beberapa generasi pertama. Namun
bila diingat bahwa populasi merupakan pool genetik maka mutasi resesif yang
berlansung dalam pool terebut akan menimbulkan kerusakan pada generasi
berikutnya karena peluang kedua orang tua untuk membawa mutasi itu meningkat.
III. 5. EFEK BIOLOGI PADA SISTEM, ORGAN ATAU JARINGAN
III. 5. 1. Darah dan Sumsum Tulang Merah
Darah putih
merupakan komponen seluler darah yang tercepat mengalami perubahan akibat
radiasi. Efek pada jaringan ini berupa penurunan jumlah sel. Kompenen seluler
darah yang lain ( butir pembeku dan darah merah ) menyusun setelah sel darah
putih.
Sumsum tulang
merah yang mendapat dosis tidak terlalu tinggi masih adapt memproduksi sel-sel
darah merah, sedang pada dosis yang cukup tinggi akan terjadi kerusakan
permanen yang berakhir dengan kematian ( dosis lethal 3 – 5 Sv). Akibat
penekanan aktivitas sumsum tulang maka orang yang terkena radiasi akan
menderita :
·
Kecenderungan pendarahan dan infeksi
·
Anemia dan kekurangan hemoglobin
Efek stokastik
pada penyinaran sumsum tulang adalah leukemia dan kanker sel darah merah.
III. 5. 2. Saluran Pencernaan Makanan
Kerusakan pada
saluran pencernaan makanan memberikan gejala mual, muntah, gangguan pencernaan
dan penyerapan makanan serta diare. Kemudian dapat timbul karena dehidrasi
akibat muntah dan diare yang parah.
Efek stokastik
yang dapat timbul berupa kanker pada epithel saluran pencernaan.
III. 5. 3. Organ Reproduksi
Efek somatik non
stokastok pada organ reproduksi adalah sterilitas, sedangkan efek genetik
(pewarisan) terjadi karena mutasi gen atau kromosom pada sel kelamin.
III. 5. 4. Sistem Syaraf
Sistem syaraf
termasuk tahan radiasi. Kematian karena kerusakan sistem syaraf terjadi pada
dosis puluhan Sievert.
III. 5. 5. Mata
Lensa mata peka
terhadap radiasi. Katarak merupakan efek somatik non stokastik yang masa
tenangnya lama (bisa bertahun-tahun).
III. 5. 6. Kulit
Efek somatik non
stokastik pada kulit bervariasi dengan besarnya dopsis, mulai dengan kemerahan
sampai luka bakar dan kematian jaringan.
Efek somatik
stokastik pada kulit adalah kanker kulit.
III. 5. 7. Tulang
Bagian tulang yang
peka terhadap radiasi adalah sumsum tulang dan selaput dalam serta luar pada
tulang. Kerusakan pada tulang biasanya terjadi karena penimbunan Stontium-90
atau Radium-226 dalam tulang.
Efek somatik
stokastik berupa kanker pada sel epithel selaput tulang.
III. 5. 8. Kelenjar Gondok
Kelenjar gondok
berfungsi mengatur metabolisme umum melalui hormon tiroxin yang dihasilkannya.
Kelenjar ini relatif tahan terhadap penyinaran luar namun mudah rusak karena
kontaminasi internal oleh Yodium Radioaktif.
III. 5. 9. Paru-paru
Paru-paru pada
umumnya menderita kerusakan akibat penyinaran dari gas, uap atau partikel dalam
bentuk aerosol yang bersifat radioaktif yang terhirup melalui pernafasan.
III. 5. 10. Hati dan Ginjal
Kedua organ ini
relatif tahan terhadap radiasi.
III. 6. PEMONITORAN
Pemonitoran terdiri dari :
a. Pemonitoran
Daerah Kerja
b. Pemonitoran perorangan
Hasil
pemonitoran dilaporkan secara berkala dan bila dosis yang diterima lebih besar
dari NBD atau melebihi 2 kali Nilai Batas Maksimum Tahunan ( NBMT ) maka
Petugas Proteksi Radiasi ( PPR ) harus menyerahkan masalah ini kepada dokter
yang bertanggung jawab menaksir efeknya.
III. 7. PENCATATAN DOSIS
Dosis yang
diterima Pekerja Radiasi setiap bulannya harus dicatat dalam suatu Buku Catatan
Dosis Perorangan dan disimpan selama 30 Tahun.
III. 8. PENGAWASAN KESEHATAN
Pengawasan
kesehatan ini dimaksudkan untuk menentukan apakah keadaan kesehatan pekerja
radiasi sesuai dengan tugas yang akan dilakukan dan untuk mengetahui apakah ada
pengaruh radiasi pada kesehatan pekerja radiasi tersebut selama bekerja dengan
radiasi. Keharusan pemeriksan kesehatan ini tidak hanya bagi mereka yang
bekerja di Batan atau industri lain yang menggunakan sumber radiasi pengion
akan tetapi juga bagi pekerja radiasi dalam bidang medik dan telah diatur
dengan Peraturan Menteri Kesehatan
RI nomor 172/Men Kes/PER/III/91.
Selain untuk memantau keadaan kesehatan pekerja radiasi, pemeriksaan kesehatan
juga penting bagi penguasa Instalasi Atom, jika dikemudian hari ada pekerja
radiasi yang menggugat bahwa sakit yang dideritanya adalah diakibatkan oleh
radiasi yang diterimanya (Medico-legal), walaupun resiko sakit akibat radiasi
ini sangat kecil.
Peraturan mengenai
pengawasan kesehatan antara lain :
1. Penguasa Instalasi
Atom wajib melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap calon pekerja radiasi,
sekali setahun bagi pekerja radiasi dan pekerja radiasi yang akan memutuskan
hubungan kerja dengan Instalasi Atom.
2. Pemeriksaan
kesehatan khusus harus dilaksanakan apabila dosis radiasi yang diterima pekerja
radiasi melampaui nilai seperti yang tercantum dalam peraturan mengenai
pembatasan dosis dan diterima dalam jangka waktu yang singkat.
3.
seluruh hasil pemeriksaan kesehatan harus
dicatat dalam kartu kesehatan dan kartu ini harus disimpan untuk jangka waktu
sekurang-kurangnya 30 tahun sejak bekerja dengan radiasi. Di dalam kartu
kesehatan harus ada keterangan tentang sifat pekerjaan dan alasan pemberian
pemeriksaan kesehatan khusus.
4. Perlengkapan
pertolongan pertama pada kecelakaan radiasi harus tersedia di daerah kerja yang
isinya tergantung pada jenis kecelakaan yang mungkin terjadi, jenis radiasi, jenis
kontaminasi pada tubuh manusia.
III. 9. ORGANISASI PROTEKSI RADIASI
Penguasa Instalasi
Radiasi Atom mempunyai tanggung jawab tertinggi terhadap keselamatan personil
dan anggota masyarakat yang mungkin berada di dekat Instalasi dibawah
pengawasannya. Namun demikian semua pekerja harus turut bertanggung jawab
sehingga kecelakaan tidak terjadi akibat kelalaianya. Dengan demikian maka
Proteksi Radiasi yang baik tergantung pada organisasi proteksi radiasi yang
efisien dan efektif. Tanggung jawab, kewajiban serta wewenang tiap unsur dalam
organisasi proteksi radiasi harus dinyatakan secara jelas.
III. 9. 1. Tanggung Jawab Penguasa Instalasi Atom, antara
lain :
a. Membentuk
Organisasi Proteksi Radiasi dan menunjuk Petugas Proteksi Radiasi dan bila
perlu PPR diganti.
b. Memberikan
pendidikan dan latihan cara bekerja dengan sumber radiasi pada pekerja radiasi
dan memberitahukan semua pekerja radiasi tentang potensi bahaya radiasi yang
berkaitan dengan pekerjaannya.
c. Menyediakan
fasilitas dan peralatan yang diperlukan untuk bekerja dengan sumber radiasi,
termasuk alat pemonitor perorangan (Film badge dll).
d. Menyediakan aturan
keselamatan radiasi, prosedur kerja dengan sumber radiasi dan termasuk aturan
tentang penanggulangan keadaan darurat.
e. Menyelenggarakan
pemeriksaan dan pelayanan kesehatan bagi pekerja radiasi.
III. 9. 2. Tanggung Jawab dan Kewajiban Petugas Proteksi
Radiasi.
PPR mempunyai
kewajiban membantu PIA dalam melaksanakan tanggung jawabnya dibidang proteksi
radiasi. Oleh karena itu PPR perlu diberi wewenang untuk :
a. Memberikan
instruksi teknis dan administratif kepada pekerja radiasi yang berkaitan dengan
keselamatan radiasi.
b. Mengambil tindakan
untuk menjamin agar tingkat penyinaran serendah mungkin dan menjamin
pelaksanaan pengelolaan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugas ini PPR perlu melaksanakan pemonitoran radiasi dan
tindakan proteksi radiasi.
c. Mencegah :
·
Kehadiran orang yang tidak berkepentingan di daerah
pengendalian.
·
Zat radioaktif jatuh ke tangan orang yang tidak berhak
·
Perubahan terhadap sesuatu, sehingga dapat menimbulkan
kecelakaan radiasi.
d. menyelenggarakan
dokumentasi yang berhubungan dengan proteksi radiasi, misalnya menyiapkan kartu
dosis pekerja radiasi dll.
e. Memberi penjelasan
dan menyediakan perlengkapan proteksi radiasi yang memadai kepada pengunjung
atau tamu bila diperlukan.
III. 9. 3. Tanggung Jawab dan Kewajiban Pekerja Radiasi.
Pekerja radiasi
ikut bertanggung jawab terhadap keselamatan radiasi di daerah kerjanya. Oleh
karena itu pekerja radiasi wajib :
a. Memahami dan
melaksanakan semua ketentuan keselamatan kerja radiasi.
b. Memanfaatkan
peralatan keselamatan radiasi yang tersedia, bekerja dangan hati-hati dan
bekerja dengan aman baik untuk melindungi dirinya sendiri maupun pekerja lain,
melaporkan setiap kejadian kecelakaan bagaimanapun kecilnya dan gangguan
kesehatan yang diduga akibat penyinaran lebih atau masuknya zat radioaktif
kedalam tubuhnya kepada PPR.
III.10. Jaminan Kualitas Radiodiagnostik (Radiodiagnostic
Quality Assurance)
Jaminan Kualitas radiodiagnostik
didefinisikan sebagai kegiatan dari seluruh staf yang mengoperasikan fasilitas
dan peralatan radiodiagnostik yang mempunyai mental dasar untuk berfikir dan bertindak serta sadar akan
penringnya kualitas.
Dengan demikian
akan selalu terjamin baik fisik maupun fungsi semua fasilitas dan peralatan
radiodiagnostik dapat laik pakai. Tidak akan terjadi lagi kesalahan-kesalahan
pengoperasian alat, teknik pemeriksaan maupun keslahan yang diakibatkan oleh
kelalaian radiografer dan pekerja lainnya, karena selalu taat terhadap standar
prosur kerja yang telah ditetapkan. Dengan demikian dapat tercapai tujuan dan
sasaran penyelenggaraan pelayanan radiologi dengan produksivitas yang tinggi,
efektif dan efesien serta aman baik untuk bagi seluruh pekerja radiasi, pasien
maupun masyarakat lingkungan.
III. 11. Upaya-upaya yang telah dan perlu di lakukan untuk
terjaminnya tingkat kesehatan dan keselamatan kerja dengan radiasi pengion.
A. Upaya yang telah dilakukan :
1. Pengurusan izin
pemenfaatan pemakaian pesawat radiologi.
Izin
pemanfatan / pengoperasian pesawat radiologi masih berlaku sampai bulan
…………………….. tahun
2. Petugas proteksi
Radiasi yang berlisensi BAPETEN telah ada dan telah melakukan tugasnya sesuai
dengan kompetensinya antara lain :
3. Membuat prosedur
kerja dengan radiasi
4. Membuat
tanda-tanda adanya bahaya radiasi dengan jelas sehingga mudah terlihat dan
menempatkan pada tempat-tempat yang semestinya.
5. Memelihara
peralatan proteksi radiasi agar selalu dalam keadaan yang memadai baik fisik
maupun fungsi.
6. Membuat Kartu
Dosis perorangan yang dismpan dengan baik sehingga mudah diperiksa apabila
diperlukan.
7. Menganalisa dosis
perorangan dari kartu dosis untuk mengetahui apakah ada pekerja radiasi
terpapar radiasi melebihi NBD untuk pekerja radiasi.
8. Merekomendasikan
untuk memeriksa kesehatan bagi pekerja setiap 6 ( enam ) bualan sekali.
9. Membuat Standar
Prosedur Pelayanan Radiologi
10. Membuat Standar
Prosedur pemeriksaan radiologi baik dengan bahan kontars maupun tanpa bahan
kontras.
11. Membuat Standar
Prosedur pemeriksaan radiografi baik dengan bahan kontras maupun tanpa bahan
kontras.
12. Membuat Standar
Prosedur tindakan kedaruratan medik akibat penggunaan bahan kontras pada
pemeriksaan radiologi.
13. Melakukan
pemeliharan secara berkala terhadap sarana, fasilitas dan peralatan radiologi
sesuai dengan batas kewenangan radiografer, agar keadaan baik fisik maupun
fungsi sarana, fasilitas dan peralatan radiologi selalu laik pakai, khususnya
pemeliharaan kebersihan pesawat rontgen, kaset dan intensifying screen, alat prosesing
film otomatis.
14. Melakukan reject
film analisis untuk mengetahui apakah hasil pelayanan radiografi telah
mencapaikualitas yang diharapkan ( jumlah film yang ditolak ternyata masih
dalam batas normal 5% setiap bulan )
B.
Upaya yang akan
dilakukan meliputi :
1. Mengikuti Seminar
Radiografi untuk radiografer bekerja sama dengan profesi PARI Cabang profinsi Riau, untuk meningkatkan pengetahuan
ilmu radiografi yang semakin berkembang.
2. Mengikuti Seminar
Proteksi radiasi untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang
keselamatan dan kesehatan kerja dengan radiasi.
3. Membentuk Gugus
Kendali Mutu, yang diharapkan dapat mempercepat penyelesaian masalah yang
dihadapi di Instalasi radiologi, terutama yang berkaitan dengan pemeliharaan
sarana, fasilitas dan peralatan radiologi yang belum tertangani secara serius.
4. Mengirim
radiografer secara berkala dan bergantian untuk mengikuti pendidikan dan
pelatihan bidang radiografi, Quality Assurance radiodiagnostik yang
diselenggarakan oleh organisasi profesi tingkat cabang maupun pusat.
5. Melengkapi alat
deteksi radiasi ( Survey Meter type 490 ) untuk memonitor tingkat paparan
radiasi lingkungan ruang radiasi, untuk memastikan bahwa tingkat paparan
radiasi masih berada dalam batas yang aman.
6. Melengkapi QC tool Set yang
telah ada dengan product terbaru
7. Melengkapi
buku-buku kepustakaan instalasi radiologi dengan buku-buku Peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku baik pada penyelenggaraan pelayanan radiologi
maupun yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja dengan radiasi.
8. Membuat MOU dengan
Bapeten untuk menyelenggarakan TOT bagi dosen yang telah mempunyai lisensi atau
SIB.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan baik dari kajian
teori maupun situasi dan kondisi instalasi Laboratorium radiologi saat ini
dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
1. Kualitas
Penyelenggaraan Pelayanan Laboratorium Radiologi masih berada dalam keadaan
cukup memadai, walaupun belum berada dalam tingkat kualitas yang ideal, karena
belum memenuhi standar pelayanan Laboratorium radiologi yang ditetapkan oleh
Departemen Kesehatan.
2. Kualitas
hasil pelayanan radiografi yang berbentuk foto-foto radiografi belum mencapai
taraf kualitas yang memuaskan, hal ini dikarenakan karena semua peralatan
radiologi khususnya pesawat rontgen, alat prosesing film otomatis belum
dikalibrasi secara berkala.
3. Sistem
kegiatan Pemeliharaan sarana, fasilitas dan peralatan radiologi belum optimal
karena pemeliharaan dilakukan hanya secara insidentil, belum mengikuti Standar
Pemeliharaan yang dikeluarkan oleh Badan Pemeliharaan Fasilitas Kesehatan (
BPFK ) Departeman Kesehatan.
4. Belum
meratanya pemikiran untuk sadar akan kualitas dikalangan pekerja instalasi
Laboratorium radiologi, sehingga pekerjaan yang dilakukan hanya sebagai
pekerjaan rutinitas, akibat belum meratanya pengetahuan tentang Jaminan
Kualitas Radiodiagnostik dikalangan pekerja Instalasi Laboratorium Radiologi.
5. Belum
ada program pendidikan dan pelatihan bidang radiograf yang jelas dan mantap
serta bermakna bagi pekerja Instalasi Laboratorium
Radiologi untuk meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan pekerja Instalasi radiologi, sebagai penyelenggara pelayanan
kesehatan bidang radiologi.
6. Masih kurangnya
buku-buku kepustakaan bidang radiografi yang tersedia sehingga menghambat untuk
mendapatkan perkembangan ilmu dan teknologi bidang radiologi yang ternyata
berkembang dengan pesat.
B.
Saran-Saran.
Dari hasil
kesimpulan tersebut diatas disarankan bahwa untuk dapat meningkatkan kualitas
pelayanan radiologi dan kualitas keselamatan dan kesehatan kerja yang cukup
memadai adalah sebagai berikut :
1. Perlu adanya
kebijakan Pimpinan untuk membuat Struktur Organisasi Proteksi di Instalasi
Laboratorium Rdiologi.
2. Perlu adanya
kebijakan Pimpinan untuk membuat Tim yang mempelajari dan membuat Standar
Pelayanan Laboratorium Radiologi, Standar Pelayanan Radiografi yang baku untuk diberlakukan di
Instalasi Laboratorium Radiologi ( seuai dengan SK Menkes No:
)
3. Merencanakan
kegiatan Kalibrasi bagi sarana, fasilitas dan peralatan radiologi minimal satu
tahun sekali, dan perbaikan peralatan radiologi yang sudah lama rusak tetapi
belum diperbaiki, hal ini tentu saja
akan berkaitan dengan biaya.
4. Membuat Standar
Pemeliharan Peralatan ( Standar Maintenace Prosedure ) seperti yang
direkomendasikan oleh BPFK, dengan demikian kerjasama dengan IPRS perlu
ditingkatkan.
5. Perlu adanya Works
Shop Jaminan Kualitas Radiodiagnostik bagi Petugas yang megelola Instalasi
Laboratorium Radiologi , agar semua mampu melakukan tarnsfr pengetahuan kepada
peserta didik..
6. Perlu dibuat
program pendidikan dan pelatihan keprofesian khususnya bagi radiografer yang
jelas dan berkesinambungan sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan ketingkat yang memadai. Hal ini dapat dilakukan melalui kerja sama
dengan institusi pelayanan Radiologi
dan atau dengan profesi Radiografer ( PARI ).serta vendor yang bergerak
dibidang Alkes.
7. Melengkapi
buku-buku kepustakaan tentang ilmu dan teknologi radiografi yang dirasakan
sangat kurang sehingga dapat digunakan untuk sebagai acuan pekerja apabila
diperlukan.
Demikian juga
maintenance alat secara teratur dan juga penyediaan dana untuk perbaikan
kerusakan pada alat merupakan faktor lain yang tidak kalah pentingnya. Peralatan
seperti conventional darkroom fluoroscopy ( fluoroscopy pada ruang gelap ) dan
mass chest yang masih sering sering digunakan
menunjukkan beban radiasi yang tinggi tidak hanya bagi pasien, tapi juga
untuk staf radiologi, perlu dipertimbangkan ijin penggunaannya.
Operator/radiografer maupun radiolog
dapat memberikan kontribusinya dalam pengurangan beban radiasi pada
pasien dengan menentukan teknik radiografi dan factor eksposi yang tepat tanpa
mengurangi kualitas dari pencitraan yang dihasilkan.
Pelaksanaan training yang tepat dan bermakna pada staf radiologi, menurut pengalaman dan
statistik, dapat mengurangi dosis radiasi pada pasien sampai 40%. Quality
control / assurance juga faktor lain yang dirasa perlu disosialisasikan karena,
karena kegiatan Quality control yang dilakukan secara terus menerus
ternyata dapat mengurangi frekuensi
pengulangan pemeriksaan akibat hasil gambar yang berkualitas rendah juga berdampak pada pengurangan dampak
radiasi pada pasien.
Disain standard
bangunan ruang radiasi dengan kontruksi dinding, pintu dan jendela yang dilengkapi dengan bahan penahan radiasi
( Pb ) dengan ketebalan yang memadai merupakan upaya untuk mengurangi paparan
radiasi yang diterima baik oleh pasien, pekerja radiasi maupun masyarakat
dimana pesawat sinar-X dioperasikan. Hal ini penting untuk meminimalisasikan
kemungkinan adanya tingkat paparan radiasi yang melebihi dari yang diizinkan (
Maksimum Permisiable Dose ) dimana untuk pekerja radiasi adalah 0,5 mSv / Jam
sedangkan untuk masyarakat dan lingkungan adalah 0.10 dari MPD pekerja radiasi.
Tingkat paparan tersebut merupakan salah satu tindakan proteksi yang disebut
Limitasi.
Standarisasi
pemeriksaan radiografi sangat efektif untuk mengurangi dosis permukaan yang
diterima pasien, oleh sebab itu untuk setiap pelayanan radiologi diwajibkan
untuk membuat standarisasi baik standar pelayanan radiologi, maupun standar
pemeriksaan radiolgi dan radiografi, termasuk standarisasi pemeriksaan
kegawatan radiolgi serta, standar pelayanan penanganan kegawat daruratan akibat
pemakaian bahan kontras radiografi. Teknik Prosedur Kerja alat dan fasilitas
radiologi seperti pesawat rontgen, USG, dental unit dan peralatan serta
fsilitas radiologi lainnya perlu
dibakukan untuk mengurangi kea;paan / kesalahan operasional oleh pekerja
radiasi, termasuk teknik prosedur pemakaian dan pemeliharaan prosesing film
otomatis yang merupakan alat yang sangat menentukan baik/ buruknya gambaran
radiografi.
Pemonitoran
paparan radiasi perorangan ( personal monitoring ) dengan pemakaian film badge
merupakan suatu tindakan yang harus dipnuhi oleh setiap pekerja radiasi,
sehingga tingkat paparan radiasi yang diterima pekerja radiasi dapat terukur
secara berkala dan berkesinambungan, sehingga bila terjadi peningkatan paparan
radiasi diatas normal ( > 50 % ) dari biasanya merupakan suatu tanda awal
yang dapat membahayakan personil, sehingga harus mendapat perhatian yang serius
sampai terindentifikasi penyebab terjadinya peningkatan paparan radiasi pada
pekerja radiasi. Hal ini dapat disebabkan adanya kebocoran tabung, teknik
tindakan proteksi radiasi yang kurang efektif dan efesien pada saat melakukan
kerja dalam medan
radiasi dan sebab-sebab lainnya, ataupun adanya kesengajaan melakukan
penyinaran film badge secara langsung.
Oleh sebab itu
Petugas Proteksi Radiasi yang mempunyai Lisensi ( SIB ) haruslah dimiliki oleh setiap
Instalasi Radiologi. ( UU No 10 Th 2000 ) sebagai penanggung jawab terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja dengan radiasi sesuai dengan kompetensi dan
kewenangannya.PPR mempunyai kewajiban untuk membuat prosedur kerja dengan zat
radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya, perencananaan tindakan keselamatan
kerja, pengukuran tingkat paparan radiasi lingkungan ( Survey Radiasi ) dan
evalusi terhadap tindakan keselematan kerja yang telah dilakukan, apakah sudah
efektif dan efesien atau perlu memperbaikinya.
Management Keselamatan kerja dengan Radiasi :
Faktor-faktor yang
berpengaruh pada penerimaan paparan radiasi adalah sebagai berikut :
·
Perizinan pemanfaatan pesawat radiologi
·
Standarisasi disain bangunan radiologi.
·
Perkembangan peralatan radiologi, accessories dan bangunan.
·
Teknik prosedur pemeriksaan radiologidan radiografi medik
·
Rujukan / Referensi
·
Pendidikan dan Training.
·
Kalibrasi dan Dosimetri.
·
Kriteria kualitas dan reference dose levels
Hal ini perlu
dilaksanakan secara berkala dikarenakan pemanfaatan pesawat radiologi sebagai
sumber radiasi pengion selain besar manfaatnya bagi manusia, tetapi juga
mempunyai dampak negatif bagi pasien,
pekerja radiasi maupun bagi lingkungan dimana pesawat radiologi tersebut
dioperasikan, dampak negatif dapat berbentuk efek Stokastik ( Efek radiasi yang
dapat timbul apabila dosis ambang dilampaui ) maupun efek Non Stokastik ( Efek
radiasi yang timbul akibat penyinaran yang kecil terus menerus tanpa adanya
dosis ambang ).
Oleh sebab itu
tanpa adanya perhatian yang serius terhadap sarana, fasilitas, peralatan
radiologi serta kepatuhan terhadap standar prosedur kerja maka dimungkinkan
keselamatan kerja dengan radiasi sangat mungkin tidak dapat tercapai.
1.
Perkembangan peralatan radiologi dan accessories-nya.
Salah satu perkembangan teknik
radiografi yang sangat revolusioner dan dapat mengurangi dosis radiasi pada
pasien adalah ditemukan intesifying screen yang tergantung dari jenis screen
dan jenis film yang dipakai, dapat mengurangi dosis radiasi sebesar faktor 15 –
500, dimana jenis intensifying rare earth screen (gadolinium dan lanthanum)
menunjukkan effisiensi dosis 3 sampai 5 kali lebih baik dibanding dengan
calcium tungstate screen. Selain itu spectral sensitivity dari film yang
digunakan harus sesuai dengan spectrum emissi dari intensifying screen, karena
emisi dari intensifying jenis rare earth merupakan cahaya tampak berwarna
hijau, maka pemakaian film radiografnyapun haruslah dipakai film yang sensitif
terhadap cahaya hijau ( Green Sensitif ).
Dampak lain dari penggunaan
intensifying screen adalah pengurangan pemakaian faktor exposure, sehingga
selain rendahnya dosis yang diterima pasien, juga menyebabkan beban terhadap
X-ray tube menurun sehingga automatis akan memperpanjang masa hidup / usia dari
X-ray tube.
Sering kali
peralatan dengan safety dan kualitas yang kurang memuaskan dan di bawah standar
masih dipakai, oleh sebab itu kalibrasi secara berkala fungsi peralatan, sarana dan fasilitas perlu
dilakukan termasuk peralatan radiografi apakah itu Casette dan kontak film
screen, safe light, prosesing film otomatis
termasuk kesegaran cairan kimia untuk prosesing film. Karena hasil akhir
gambaran radiograf sangat ditentukan oleh kualitas peralatan kamar gelap.
Dari pengalaman
bekerja ditemukan, bahwa sekitar 80% dari alat-alat baru yang di-install
menunjukkan adanya malfungsi pada satu atau beberapa parameter radiologis,
termasuk kilovoltage, timer, kolimator, milliamper second linearity dll. Selain
itu masih sering kita temukan alat-alat radiologi yang berumur kebih adri 10
tahun, akan tetapi masih terus digunakan, meskipun sudah menunjukan satu
atau lebih malfungsi parameter radiologis,
apalagi apabila pada alat-alat tersebut jarang dilakukan maintenance seperti
yang seharusnya.
Peralatan seperti
conventional darkroom fluoroscopy (fluoroscopy diruang gelap) dan mass chest
yang masih sering digunakan di negeri kita ini menunjukkan beban radiasi yang
tinggi tidak hanya bagi pasien, tetapi juga untuk staf radiologi, perlu
dipertimbangkan ijin penggunaannya.
Oleh karena itu
izin atau approval dan registrasi dari penggunaan peralatan radiologi serta
pengontrolan secara rutin selama penggunaannya merupakan suatu kebutuhan yang
tidak bisa ditunda-tunda pelaksanaannya dan sebaiknya diterapkan dalam
perundang-undangan (Bapeten).
Penggunaan filter
pada X-ray tube sangat penting untuk mengurangi atau menghilangkan sinar-X
berenergi rendah yang dapat menambah beban radiasi pada pasien dan oleh
karenanya sudah seharusnya merupakan perlengkapan standart pada setiap alat
X-ray. Direkomendasikan untuk menggunakan filter setebal 2 mm Al untuk energi
sampai 100 kV dan 2.5 mm untuk pesawat radiologi dengan pemakaian energi antara
100 – 150 kV.
Meja pemeriksaan
maupun mattress merupakan accessories yang kelihatannya simple, akan tetapi
juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap radiasi pada pasien disebabkan
oleh penyerapan sebagian sinar-X. penggunaan serat carbon untuk meja X-ray
menunjukkan absorbsi sinar-X yang rendah dengan nilai transmisi yang tinggi
(89%), sedangkan untuk mattress sekitar 81-98%. Oleh karena itu penggantian
accessories seperti di atas tidak dapat dilakukan tanpa memperhatikan dampaknya
seperti tertera di atas.
Demikian juga
penggunaan apron merupakan suatu hal yang mutlak bagi staf maupun pasien dalam
kondisi tertentu, seperti fluroskopi, dan terutama bagi anak-anak dan wanita
masa subur yang belum dipastikan hamil untuk menutupi organ-organ reproduksi
merupakan suatu kewajiban.
Bangunan dan
material dimana peralatan radiologi tersebut di-install perlu mendapatkan
perhatian yang serius. Pelapisan dengan Pb. Merupakan hal yang mutlak untuk
ruang pemeriksaan, demikian juga pembagian ruang pemeriksaan yang hanya boleh
dimasuki oleh pasien atau yang berkepentingan, ruang operator maupun ruang
tunggu pasien dengan tingkat paparan radiasi harus cukup rendah ( 2.5 mR/Jam )
yang merupakan hasil pengukuran oleh petugas yang kompeten merupakan kewajiban
yang tidak dapat diabaikan oleh pengusaha pelayanan radiologi.
2.
Teknik Radiologi
dan Radiografi Medik
Dalam hal ini
ALARA (as low as reasonably achieveable) perlu diterapkan pada setiap
pemeriksaan radiologis. Dan ini dapat tercapai apabila teknik-teknik radiologis
yang dipergunakan terseleksi dengan baik dan tepat guna, terutama dengan
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas gambar dan dosis pada
pasien, seperti pembatasan luas lapangan penyinaran yang terkena sinar (field
of view), dan juga pemilihan exposure factors yang tepat, seperti kV, mAs,
target to skin distance, air gap, angulasi, instruksi atau aba-aba ke pasien
untuk menahan napas dan juga penglabelan film yang telah ter-expose.
Apabila
faktor-faktor tersebut di atas tidak diperhatikan maka ratio pengulangan
pemeriksaan akan menjadi tinggi dan menurut statistik bahkan dikabarkan bisa
mencapai 10-30% ( RS pendidikan ). Oleh sebab itu penilaian dan analisa
terhadap film yang ditolak ( Reject Film Analisis ) sangat dianjurkan. Hal ini
dapat dihindari dan paling tidak bisa ditekan dengan pelaksanaan prosedur
quality control yang konsekuen dengan mengikutsertakan tidak hanya pada
peralatan radiologis, akan tetapi juga operator dan staf untuk selalau sadar
berkualitas.
3.
Rujukan.
Pemeriksaan
diagnostik radiologi merupakan informasi klinis yang sangat membantu dalam
menegakkan diagnostik penyakit yang diderita pasien dan sangat berpengaruh
dalam penatalaksanaan dan terapi pasien, akan tetapi suatu report yang
dikeluarkan oleh British Medical Journal relatif mengejutkan, karena
diberitakan bahwa sekitar 1/5 dari pemeriksaan radiologis yang dilakukan di
England secara klinis dinyatakan tidak menolong/ mendukung, hal ini disebabkan
oleh karena indikasi pemeriksaan tersebut maupun kualitasnya tidak tepat. Kemungkinan
situasinya di Instalasi radiologi lain
tidak berbeda jauh, termasuk juga di Indonesia. Oleh karena itu
kasus-kasus seperti ini perlu dihindari dan ditekan angka kejadiannya, karena
dapat mengurangi beban dosis radiasi pada pasien secara individual maupun
kolektif. Dalam hal ini perlu disosialisasikan buku-buku rujukan dan
rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh badan-badan internasional maupun
nasional ( IAEA, BATAN, BAPETEN ) yang berkaitan dengan radiasi maupun indikasi
pemeriksaan radiologis agar dapat dijadikan pedoman bagi operator atau radiografer.
Dengan sendirinya
usaha dari organisasi profesi untuk mengeluarkan buku pedoman pelayanan medis
bagi tiap-tiap perhimpunan kedokteran, termasuk juga Perhimpunan Dokter
Spesialis Radiologi Indonesia ( PDSRI ), Persatuan Ahli Radiografi Indonesia (
PARI ) merupakan hal yang sangat kita sambut dengan baik dan harapan ini ternyata telah terlaksana dalam waktu yang tidak terlalu
lama telah tersedia buku-buku pedoman yang diterbitkan oleh organisasi profesi
baik oleh PDSRI maupun oleh PARI.
4.
Pendidikan dan
Training
Salah satu faktor penting yang
dapat mengurangi dosis radiasi pada pasien adalah pengetahuan dan skill dari
pada SDM yang berkecimpung dalam diagnostik radiologis. Oleh karenanya
pendidikan dan training pada SDM di atas merupakan hal yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Dari pengalaman-pengalaman yang lalu dibeberapa negara
industri dapat dilaporkan, bahwa melalui pendidikan dan training seperti di
atas dan sosialisasi informasi yang diperoleh di masing-masing tempat kerja
oleh peserta membebani pasien sampai sekitar 40%. Kursus-kursus yang
diselenggarakan oleh BAPETEN dalam konteks Petugas Proteksi Radiasi ( PPR ) dan
kursus keterampilan bidang radiografi oleh profesi PARI tidak saja meningkatkan keterampilan dan
kemahiran profesional tetapi diharapkan juga dapat membuahkan hasil yang
memadai sehingga dapat mengurangi penerimaan dosis pasien , tentunya hal ini
memerlukan evaluasi lebih lanjut, setelah pelaksanaannya mencakup seluruh
pekerja radiasi.
5.
Dosimerti.
Pengetahuan
mengenai dosis radiasi yang diberikan pada pasien dalam pemeriksaan radiologis
sangat penting dan sangat berguna sebagai usaha pengurangan dosis radiasi.
Survey dari beberapa negara menunjukkan bahwa dosis yang diterima pasien di
berbagai rumah sakit sangat bervariasi satu sama lain meskipun pada pemeriksaan
radiologis yang sama. Oleh karenanya diperlukan pengembangan protokol dosimetri
untuk pemeriksaan diagnostik radiologis bagi masing-masing negara yang dapat
diterapkan di rumah sakit-rumah sakit dan memenuhi standart internasional
(IAEA). Setiap pekerja radiasi di rumah sakit atau bagian radiologi diharapkan
dapat mengecek atau mengevaluasi kondisi dan performance mereka untuk
dibandingkan dengan standart nasional maupun internasional.
Secara garis besar
dosis yang dihitung secara kuantitatif pada pemeriksaan diagnostik
direkomendasikan sebagai berikut :
·
Dosis masuk yang diukur pada permukaan pasien pada senter
dari sinar-X untuk radiografi individual ( sebanding dengan pemakaian kV dan
mAs yang digunakan )
·
Produk dosis area kumulatif untuk pemeriksaan dengan teknik
fluroscopi.
Tentunya
pengukuran dosis kepada pasien harus dilakukan oleh tenaga yang kompetan (
Fisika Medik ) dan dilakukan dengan alat ukur yang telah dikalibrasi dengan
teknik dan prosedur pengukuran yang sesuai sehingga hasil pengukuran yang
didapat dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
6.
Quality Control /
Assurance.
Quality control /
assurance juga faktor lain yang perlu disosialisasikan karena dapat mengurangi
frekuensi pengulangan pemeriksaan akibat hasil gambar yang berkualitas rendah
yang juga berdampak pada pengurangan dampak radiasi pada pasien. Pengecekan
kualitas setiap harinya pada alat Roentgen, Kontak Film Screen , film
radiografi dan mesin cuci merupakan langkah-langkah yang perlu dijadikan usaha
rutin dalam memenuhi tuntutan quality assurance.
Untuk mendapatkan
gambar Roentgen yang berkualitas tinggi dengan menggunakan dosis sinar-X yang
dapat dipertanggungjawabkan, Commission for European Communities (CEC) telah
mengeluarkan buku petunjuk mengenai kriteria gambar radiologis yang baik,
kriteria dosis radiasi yang diperlukan dan juga contoh-contoh mengenai teknik
radiologis yang baik dan kiranya dapat juga dijadikan asupan untuk kita di Indonesia.
Oleh karena
situasi dan kondisi suatu instalasi radiologi sangat berbeda disetiap rumah
sakit, tentunya pekerja radiasi di Rumah Sakit tersebutlah yang paling
mengetahuinya, sehingga kesadaran akan keselamatan kerja serta kesadaran akan
kualitas perlu dikembangkan oleh setiap pekerja radiasi di rumah sakit
tersebut, sehingga manfaat dari pemakaian radiasi sinar-X dalam tercapai dengan
meminimalkan dosis radiasi yang diterima oleh pasien dan pekerja.
PERMASALAHAN
Dari uraian diatas
ternyata situasi dan kondisi di Instalasi Laboratorium Radiologi Jur Tro
Poltekkes Jakarta II belum dapat dikatakan cukup memadai baik sistem
pemeliharaan peralatan radiologi, apalagi untuk dilakukan kalibrasi, sehingga
sampai saat ini kegiatan pemeriksaan radiografi yang dilakukan khususnya
pemilihan faktor eksposi hanya dilakukan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman
yang dimiliki oleh radiografer yang tentunya mempunyai keterbatasan. Dengan
demikian timbul permasalahan “ Mampukah
Radiografer Instalasi Laboratorium Radiologi meningkatkan kualitas keselamatan dan kesehatan
kerja dengan kondisi fasilitas ,
peralatan radiologi serta sumber daya manusia yang terbatas “. Tentunya
permasalahan ini harus di identifikasi terlebih sehiingga ditemukan
penyebabnya, khususnya penyebab yang paling dominan guna dilakukan alternatif
tindakan –tindakan pemecahannya yang paling memungkinkan.
IDENTISIFIKASI PERMASALAHAN.
Instalasi
Laboratorium Radiologi saat ini sudah memiliki beberapa pesawat rontgen dari
berbagai jenis dan merk, baik yang telah lama usianya maupun yang relatif baru.
Untuk pesawat radiologi yang baru tentu saja parameter faktor eksposi masih
berfungsi dengan baik dengan keakurasian yang cukup memadai. Namun tidaklah
demikian dengan pesawat rontgen yang
sudah cukup lama beroperasi tentunya parameter
faktor eksposi baik kV, mA, maupun timer perlu pengkajian dan pengukuran
tingkat keakurasiannya yang sampai saat ini belum mampu dilakukan oleh
radiogafer berhubung keterbatasan/ tidak dimilikinya alat – alat ukur radiasi.
Padahal kesesuaian besarnya kV, linear nilai mA yang diseting/dipilh pada saat
eksposi dengan besarnya tenaga sinar-x yang terukur haruslah dalam batas
toleransi sangatlah mengurangi kesalahan pada pemotretan yang memungkinkan
adanya pengulangan foto yang berarti adanya penambahan dosis bagi pasien yang
secara tidak langsung meningkatkan penerimaan paparan radiasi bagi pekerja.
Begitu pula peralatan proteksi radiasi, baik
berupa Apron, sarung tangan timbal tirai Pb pada pesawat rontgen, perisai
radiasi, kontruksi dinding serta bangunan dapat dikatakan memenuhi persyaratan
keamanan pekerja radiasi maupun lingkungan dimana pesawat dioperasikan.
Perlengkapan lain
yang masih dan kurang mendapat perhatian adalah, lampu merah pada pintu masuk
ruang radiasi yang harus menyala pada saat pesawat rontgen dihidupkan serta
tanda-tabda adanya radiasi belum terpasang.
Begitu pula
pengukuran tingkat paparan radiasi lingkungan belum dapat dilakukan, sehingga
evaluasi penerimaan dosis petugas proteksi radiasi hanyalah dari catatan dosis perorangan
yang ditunjukan oleh hasil pengukuran film badge setiap bulannya yang berkisar
antara 10 – 20 Rem/ bulan.
Melihat dari
besarnya dosis radiasi yang diterima menunjukan bahwa tindakan proteksi yang
selama ini dilakukan oleh petugas masih cukup efektif dan efesien,
mengaplikasikan semua faktor utama proteksi radiasi pada saat bekerja dengan
radiasi, baik itu faktor Perisai, Waktu maupun jarak kesumber radiasi serta
kepatuhan petugas kepada standar prosedur bekerja dengan radiasi pada waktu
melakukan dan melaksanakan tugasnya sebagai tenaga kesehatan bidang radiologi.
Didalam
pelaksanaan pemeriksaan radiografi, telah diusahakan dilakukan sesuai dengan
Standar Prosedur Pemeriksaan radiografi, sehingga hasil foto yang dibuat sesuai
dengan kriteria gambar, namun demikian untuk meningkatkan kualitas gambaran
radiografi tentunya diperlukan upaya-upaya lain diantaranya melalui kegiatan
Jaminan Kualitas Radiodiagnostik. Tentu saja kegiatan Jaminan Kualitas
radiodiagnostik yang dilakukan tidak dapat dilakukan secara menyeluruh hal ini
disebabkan keterbatasannya peralatan Jaminan Kualitas Radiodiagnostik ( QA Tool
Set ), sehingga pengukuran akurasi out put sinar-x, linearisasi, mA, serta kalibrasi pesawat rontgen tidak dapat
dilakukan. Sehingga kegiatan Jaminan Kualitas Radiodiagnostik yang dapat
dikerjakan adalah pengukuran yang sangat sederhana dengan memakai alat bantu
yang dibuat sendiri, diantaranya pengukuran ketepatan luas lapangan penyinaran
( Light Beam Aligment ), ketepatan sentrasi sinar – x.
Untuk kegiatan
Jaminan Kualitas Kamar Gelap, pengukuran kecepatan film, gamma film, dan
pengukuran daerah radiografi sebagai pedoman pemakaian faktor ekposi untuk
suatu pemotretan serta pengukuran densitas film belum dapat dilakukan karena
tidak adanya alat sensitometer dan densitometer. Dengan demikian Kegiatan
Jaminan Kualitas Radiogarfi hanya meliputi, pemeriksaan dan pemeliharaan
Casette dan kontak film screen, pemeliharaan mesin prosesing film otomatis,
sehingga dari evaluasi analisa film yang ditolak ( Reject Film Analisis )
menunjukan tingkat penolakan film semakin menurun, secara konkrit kerusakan
film akibat kesalahan petugas rata-rata berkisar 1-3 % setiap bulan yang
berarti terjadi penghematan alat dan bahan yang cukup signifikan apabila di
konversi kedalam rupiah.
Dengan demikian
jelaslah bahwa kegiatan Jaminan Kualitas Radiodiagnostik sangat dianjurkan
untuk dilaksanakan secara berkala dan terus menerus.
Perkembangan
Teknologi Radiografi khususnya perkembangan jenis kontak film screen yang
mutakhir yaitu kontak film screen jenis rare earth dengan green emited telah diterapkan di
Instalasi radiologi, konsekwensinya harganya relatif lebih mahal dibandingkan
dengan jenis blue emitted begitu pula film yang dipakai harus diganti dari
jenis film blue sensitif menjadi film
green sensitif yang juga harganyapun relatif lebih mahal. Namun demikian
keuntungan pemakaian kombinasi kontak film screen jenis green emited dengan
film green sensitif dibandungkan dengan pemakaian kombinasi kontak film screen
dengan film blue sensitif adalah pemakaian faktor ekposure untuk pemeriksaan
radiografi menjadi lebih kecil, yang berarti selain dosis radiasi yang diterima
pasien jauh lebih berkurang juga pembebanan pesawat menjadi lebih rendah.
Tentang rujukan
ataupun acuan tindakan keselamatan dan kesehatan kerja dengan radiasi, selama
ini masih mengacu kepada Undang-undang No 31 tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok
Tenaga Atom serta Surat Edaran Dirjen BATAN No PN 001/92/DJ/87 tentang Pedoman
Keselamatan Kerja dengan zat Radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya. Sampai
saat ini belum dimiliki buku Undang-Undang No10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran sebagai pengganti Undang-Undang No 31 Tahun 1984. Begitupula
buku rujukan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja dengan radisi yang
diterbitkan oleh IAEA ( International Atomic Energy Agency ) dalam bentuk buku
Basic Safety Report dan yang terbaru adalah Basic Safety No 115, termasuk
didalamnya Refereal Dose untuk setiap pemeriksaan dengan radiasi sinar-X baik
secara radiografi maupun fluoroscopy.
Mengenai Pelayanan
Radiologi dipakai acuan Undang-Undang No:23 Tahun 1997 Tentang Kesehatan,
Peraturan Menteri Kesehatan No 366/MENKES/PER/V/97 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Radiologi dan Keptusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 436/MENKES/SK/VI/1993
tentang Berlakunya Standar Pelayanan Rumah Sakit dan Standar Pelayanan Medik di
Rumah Sakit.
Pendidikan dan
Pelatihan bidang radiologi dan teknologi radiologi yang langsung dapat
meningkatkan kualitas profesionalisme
tenaga kesehatan khususnya Radiografer sampai saat ini masih dirasakan
sangat kurang, padahal sangat dirasakan perlunya, karena perkembangan Ilmu
radiologi dan Teknologi Radiologi sangat pesat sehingga sulit untuk
diantisipasi apabila tidak dilakukan dengan peningkatan kualitas radiografer
melalui keikutsertaan di dalam pendidikan dan pelatihan bidang radiologi baik
yang diselenggarakan oleh rumah sakit maupun oleh organisasi profesi
radiografer. Keikut sertaan Radiografer hanya dalam kegiatan seminar atau
Kongres Ahli Radiografi yang dilaksanakan oleh Profesi minimal satu tahun
sekalai dan empat tahun sekali untuk Kongres Nasional.
PEMECAHAN MASALAH
Dari uraian
mengenai identivikasi masalah yang dihadapi telah dilakukan upaya pemecahan
masalah melalui beberapa alternatif yang dapat segera dilakukan diantaranya
adalah :
- Perpanjangan Perizinan Pemanfaatan Pesawat Radiologi yang sekarang masih berlaku sampai ……………….. Th ………..
- Penyediaan alokasi dana melalui DIPA Poltekkes Kemkes Jakarta II yang diperuntukan untuk kalibrasi, pemeliharaan dan pengadaan alat dan bahan,agar pesawat selalu ddalam keadaan laik pakai.
- Dibentuknya Organisasi Proteksi Radiasi dengan Job decription yang jelas.
- SOP-SOP yang belum tersedia misalnya Keselamatankerja dengan Listrik, Bahan Kimia SOP untuk kejadian luarbisa, kebakaran, gempa dll
- Penambahan Phantom sebagai alat simulasi yang sampai saat ini dirasakan kurang memadai dalam jumlah yg tersedia.
- Penambahan alat roentgen baru yg lebih mutakhir, termasuk alat-alat USG, panoramic, Digital Radiologi.
- Membuat MOU dengan BAPETEN agar Institusi Pendidika Jur Tro dapat melakukan penyelenggaraan Pelatihan PPR secara berkesinambungan.
- Membuat MOU dengan Pelayanan Radiiologfi di Rumah sakit agar para dosen dapt melakukan magang untuk memperdalam wasan pengetahuan bidang radiology.
- Penambahan Alat diteksi dan Dosimetri radiasi, bila memungkinkan berupa TLD agar dapat dialkukan penelitian tentang penerimaan dosis intrance pada suatu pemeriksaan.
- Penambahan Alat dosimetri DLP., misalnya Diamentor
Alternatif
pemecahan masalah perlu dikaji ulang agar dana yang tidak tak terbatas memang
digunakan secara efekif dan efesien guna tercapainya pelayanan pendidikaan yang
lebih bermakna dalam upaya pencapaian tujuan institusi pendidikan dan tujuan
pembelajaran dalam rangka dimilikinya kompetensi setiap mahasiswa secara
bertahap.
No comments:
Post a Comment