CT DOSIMETRI ( CTDI
Dua pertanyaan yang sering muncul
berhubungan dengan modalitas CT-Scan adalah Berapa besar dosis radiasi yang
diberikan CT kepada pasien? Bagaimana dosis radiasi jika dibandingkan dari satu
CT-scan dengan CT-scan yang lainnya? Dosis radiasi harus diketahui untuk
memperkirakan berapa besar dosis radiasi potensial yang dapat diterima oleh
pasien dan sebagai pertimbangan antara resiko yang terjadi dan keuntungan dari
penggunaan CT-scan. Tambahan pula, banyak peraturan tentang radiasi yang mengharuskan
dilakukannya penghitungan dan perkiraan dosis radiasi yang diterima pasien dari
pesawat sinar X.
CT SCANNER
X-RAY BEAM GEOMETRY
Beberapa CT-scan modern saat ini banyak
menggunakan berkas sinar kipas (fan-shaped)
yang dapat melakukan potongan melintang tubuh dengan sangat tipis. Melalui bidang
longitudinal tubuh, berkas sinar sangat tipis dengan ketebalan hanya beberapa
millimeter. Gambar yang menunjukkan tipe berkas sinar Ct-scan melintasi tubuh
diperlihatkan pada gambar 12-1.

Gambar 12-1
CT-scan modern saat ini
menggunakan berkas sinar kipas (fan-shaped).
Berkas sinarnya berdimensi besar dan dapat mengkover seluruh permukaan pasien.

Gambar 12-2
Lebar berkas sinar X tampak dari samping (A).
kolimator berada didekat sumber radiasi (lebarnya dibesarkan agar lebih jelas)
untuk membuka dan menutup berkas
Gambar
12-2 memperlihatkan berkas sinar X dari samping dengan ketebalan yang
diperbesar agar lebih jelas. Jika bidang longitudinal (cranial-caudal) pasien
sebagai sumbu z, dan di teori, intensitas dari berkas radiasi melalui bidang
dapat digrafikkan. Idealnya intensitas radiasi diukur melalui sumbu z yang
besarnya sama dengan intensitas dimanapun dalam berkas radiasi dan tidak
terdapat intensitas pada bagian sisi/samping. Gambar 12-2 (B) memperlihatkan
intensitas persegi panjang dari berkas radiasi. Pada kenyataannya, intensitas
radiasi diukur melaui sumbu z yang memiliki tepi tipis dan tampak sebagai kurva
yang berbentuk lonceng (bell-shaped).
Distribusi dosis selalu lebih lebar
dibandingkan dengan lebar irisan/SW (slice
width). Pabrik pembuat CT-scan pada umumnya selalu membuat ukuran berkas
sinar X lebih lebar dibandingkan dengan lebar irisan (SW), hal ini digunakan
untuk menipiskan/mengurangidari ketidaksegarisan berkas sinar X dan faktanya
berkas sinar X memang tidak memiliki bentuk persegiempat yang ideal.
Dosis
Distribusi didefinisikan sebagai fungsi D(z), yang menggambarkan perubahan
intensitas dosis yang diterima oleh pasien. Pada umumnya, D(z) bervariasi antara pesawat CT-scan satu dengan yang
lainnya.
METODE
PENGUKURAN DOSIS PASIEN
Dosis
radiasi dari pemeriksaan CT-scan merupakan yang paling besar dalam pemeriksaan
radiologi. Pengukuran dosis yang akurat dari CT-scan menjadi sangat penting
untuk dilaksanakan. Walaupun sangat banyak metode yang digunakan dalam
pengukuran dosis namun, dalam chapter ini hanya akan membahas metode pencil ionization chamber dan metode CT Dose Index (CTDI). Metode Ionisasi
Chamber (Tabung Ionisasi) merupakan metode yang paling mudah dilaksanakan
dengan probabilitas yang akurat dan sering digunakan untuk pelaporan dosis.
Historical
Perspective
Menurut sejarahnya, terdapat banyak skema
pengukuran dosis yang didefinisikan sebagai D(z). beberapa skema diantaranya
meliputi film dosimetri, thermoluminescent
dosimetry (TLD) yaitu meletakkan dua Kristal pada tepi-tepi lebar berkas
sinar X, dilakukan eksposi kemudian pengukuran dosis yang diserap oleh
masing-masing Kristal tersebut (Jucius and Kambic, 1977; Dixon and Eckstrand,
1978; Shope et al, 1982; Cacak and Hendee, 1979). Teknik lainnya menggunakan
tabung ionisasi khusus yang dapat digunakan untuk mengukur dosis dari beberapa
titik pada lebar berkas sinar X (Moore, Cacak, and Hendee, 1981) dan
merekonstruksi dosis hasil pengukuran tersebut ke dalam kurva dosis. Data dalam
skema pengukuran seperti ini tidak selalu menjadii kebutuhan untuk mengetahui
pengukuran dosis CT-scan.
Pada tahun 1981, Bureau of Radiological
Health (sekarang menjadi Center for Devices and Radiological Health)
menganjurkan suatu metode pengukuran dosis CT-scan yang mudah dan akurat yang
dikenal dengan metode CT Dose Index (CTDI) dan pengukuran dosis
rata-rata dari multi scaning dengan metode Multiple
Scan Average Dose (MSAD) (Shope, Gagne, and Johnson, 1981). Teknik ini
menggunakan pengukuran single tabung ionisasi dan penghitungan sederhana untuk
mengetahui dosis rata-rata yang diberikan kepada pasien yang menerima scaning
berlanjutan (multiscan) dengan suatu teknik khusus yang disebut Bed Indexing (BI, rentang antar scan
satu dengan scan berikutnya). Sejak saat itu, beberapa anjuran untuk pengukuran
dosis bermunculan (Spokas, 1982; Poletti, 1984). MSAD menunjukkan keakuratan pengukuran dosis untuk tipe CT-scan terbaru
seperti CT Spiral/Helical maupun CT single slice.
Ionisasi
Chamber
Tabung Ionisasi (Ionization chamber)
merupakan suatu instrument yang digunakan menghitung radiasi yang dikeluarkan
secara akurat. Ionisasi chamber ini terdiri dari container/tabung kecil berisi
udara yang memiliki dinding tipis sehingga memungkinkan radiasi dapat melewatinya
dengan mudah. Ketika photon sinar X dengan energy tinggi bertabrakan dengan
molekul udara bebas dalam tabung ionisasi, beberapa molekul mengalami proses
ionisasi (satu atau lebih electron dari beberapa molekul). Elektron bebas
yang ada dapat dikumpulkan dalam kawat penghubung atau plat dan diukur sebagai
muatan listrik. Jumlah muatan yang terkumpul sebanding dengan jumlah ionisasi
yang terjadi dan dapat diartikan sebanding dengan jumlah radiasi yang melewati
tabung. Muatan dikeluarkan dari tabung ionisasi kemudian diukur dengan
electrometer. Total muatan listrik dibangkitkan oleh berkas sinar X sebagai
fungsi Q dengan satuan Coulomb (1 Coulomb = 1,6 x 1019 elektron).
MSAD (Multiple Scan Average Dose)
Dalam MSAD, scaning CT-scan secara
berkelanjutan terhadap pasien diperlihatkan oleh gambar di bawah ini.

Gambar 12-3
Scaning secara
berkelanjutan dari tujuh irisan didistribusikan ke dalam kurva distribusi dosis
(gambar atas). Saat dosis dari kurva
dijumlahkan, hasil total dosis tampak pada gambar bawahnya. Kurva total dosis
mencapai puncak saat kurva berbentuk lonceng mengalami overlap. Garis putus yang
melewati kurva dosis total merupakan dosis rata-rata multiple scan.
Di
antara tiap scan, pasien bergerak sejauh bed
index (BI). Tiap irisan didistribusikan ke dalam kurva dosis dengan bentuk
menyerupai lonceng. Jika dosis dari seluruh scaning dijumlahkan, hasil dosis
total yang diterima pasien dalam kurva menyerupai kurva osilasi (bolak-balik).
Total dosis pada kurva kedua (bawah) merupakan MSAD (garis putus-putus) yang
dapat dihitung dengan pengukuran matematis dari puncak dan lembah kurva MSAD.
Dosis Index
(Dose Index)
Dosis index CT-scan didistribusikan ke
dalam persamaan sebagai berikut :
CTDI
=
(1)

Keterangan :
n : bilangan bidang nyata dari data yang
terkumpul selama satu revolusi
SW : lebar
slice/irisan (mm)
D(z) :
distribusi dosis dan z adalah dimensi tubuh pasien
Catatan :
Untuk CT scan
spiral dan non-spiral dengan detector single
array nilai n = 1
Untuk CT scan multislice, nilai n merupakan jumlah detector
yang diaktifkan selama scaning.

Gambar 12-4
Integral dari persamaan 1 dan 3 merupakan bagian area
dengan garis-garis, sama pada kurva distribusi dosis
CTDI dapat ditingkatkan dengan cara
menaikkan area yang berada di bawah kurva. Area tersebut dapat meningkat karena
kenaikan intensitas radiasi, memperpanjang tinggi kurva atau memperlebar kurva,
dan biasanya dengan membuka kolimator dekat dengan tabung sinar X. peningkatan
dari CTDI berarti meningkatkan dosis radiasi yang diterima oleh pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh BRH
menunjukkan bahwa, jika CTDI dapat diukur akan mempermudah penghitungan dari
MSAD tanpa melihat bentuk kurva distribusi dosis. Mereka membuktikan bahwa
MSAD dapat dihitung dengan melipatgandakan rasio SW terhadap BI dengan
menggunakan CTDI. Persamaan yang didapat
akan menjadi seperti di bawah ini :
MSAD = CTDI (
) =
(2)


Dalam
persamaan ini, BI adalah bed index, SW
adalah slice width (mm).
Karena
nilai dari n dan BI diketahui, maka sangat penting untuk mengukur dosis
integral untuk mengetahui nilai dari MSAD (dapat diketahui dengan mudah
menggunakan single scan dan pencil ion
chamber.
Jika nilai BI meningkat, nilai MSAD pada
umumnya menjadi menurun. Hal ini berarti jika irisan satu dengan yang lain
memiliki jarak yang jauh, radiasi menyebar di atas tubuh pasien sehingga dosis
rata-rata yang diterima kecil. Tentu saja jika rentang irisan dinaikkan, maka
semakin banyak bagian organ yang tidak tampak (diantara slice satu dengan yang
lain), cara menanggulangi hal tersebut adalah dengan menaikkan BI. Sebaliknya,
disaat bed index dibuat kecil, irisan
akan tipis, dosis distribusi menjadi berhimpit sehingga dosis rata-rat menjadi
meningkat. Ketika slice width sama
dengan bed index, maka MSAD juga sama
dengan CTDI.
Tepatnya, MSAD hanya valid pada
pertengahan scan saat scaning multislice. Pada dosis terakhir (dosis pada slice
terakhir) scaning multislice, MSAD terlalu tinggi dalam menunjukkan dosis
rata-rata yang diterima oleh pasien. Meskipun demikian, MSAD sangat akurat dalam
mengukur dosis rata-rata pada pertengahan scaning multislice.
Pengukuran CTDI
Setelah
didapatkan nilai CTDI, MSAD dapat diukur dengan menggunakan persamaan 2
IMAGE RECONSTRUCTION
PRINSIP DASAR
Prinsip dasar berhubungan dengan proses rekonstruksi gambaran termasuk
algoritma, transformasi Fourier, konvolusi dan interpolasi. Urutan dari
kejadian setelah sinyal meninggalkan detektor-detektor CT ditunjukkan di Gbr
6-1.
Algoritma
Algoritma kini umum dalam
radiologi karena komputer digunakan
dalam pembuatan imaging dan
aplikasi non imaging. Kata algoritma berasal dari nama sarjana dari
Persia, Abu Ja'far Mohammed ibn Musa Alkowarizmi, yaitu buku teks arithmatics (c.825 CE) yang signifikan
dengan proses matematika selama bertahun-tahun (Knuth, 1977). Menurut Knuth,
satu algoritma adalah "suatu aturan
atau arah agar menjadi suatu keluaran yang spesifik dari suatu masukan yang
spesifik. Fitur pembeda dari suatu
algoritma adalah bahwa/ karena semua ketidakjelasan harus dihapuskan;
aturan-aturan itu harus menguraikan operasi yang sangat sederhana dan
digambarkan dengan baik, mereka dapat
dieksekusi oleh suatu mesin. Lebih lanjut,
algoritma harus selalu menjadi akhir dari sejumlah langkah.









Gambar.6-1. Urutan kejadian
setelah sinyal meninggalkan detektor. Rekonstruksi algoritma suatu gambar yang
berhubungan dengan matematika dari suatu proses CT.
Suatu
pemecahan untuk permasalahan matematik di dalam tomography (CT) perlu dihitung
dengan menggunakan program komputer, atau rekonstruksi gambar.
Transformasi Fourier
Transformasi
Fourier dikembangkan oleh ahli matematik
Baron Jean-Baptiste-Joseph Fourier pada tahun 1807 dan secara luas digunakan di
dalam ilmu pengetahuan dan rancang-bangun. Transformasi Fourier adalah suatu alat analitik yang bermanfaat
pada matematika, ilmu perbintangan, ilmu
kimia, ilmu fisika, pengobatan, dan radiologi. Di radiologi, Transformasi Fourier itu digunakan
untuk merekonstruksi gambaran-gambaran dari anatomi pasien di CT dan juga di
dalam Magnetik Resonans Imaging (MRI).
Untuk memahami Transformasi Fourier, oleh Bracewell (1989) diperkenalkan satu
analogi dengan tindakan tatap muka. Gelombang suara yang datang lalu masuk
dalam telinga dan dipisahkan menjadi sinyal dan intensitas yang berbeda.
Sinyal-sinyal ini sampai di otak dan diatur kembali agar menghasilkan suatu
persepsi bunyi yang asli. Bracewell menggambarkan Transformasi Fourier seperti "suatu fungsi yang menguraikan amplitudo dan tahap-tahap dari
tiap sinusoid, yang berpasangan dengan suatu frekuensi yang spesifik. (Amplitudo
menguraikan tingginya sinusoid; tahap-tahap specifik titik awal di dalam siklus
sinusoid itu)". Dengan kata lain, Transformasi Fourier itu adalah suatu
fungsi mathematika yatitu dengan mengkonversi suatu sinyal di dalam suatu
daerah menjadi suatu sinyal di daerah
frekuensi.
Transformasi Fourier membagi suatu bentuk
gelombang (sinusoid) ke dalam satu rangkaian fungsi cosinus-sinus dari frekwensi yang berbeda dan
amplitudo-amplitudo. Komponen ini lalu dipisahkan. Pada imaging, ketika suatu
sinar x melewati pasien, satu profil gambaran yang ditandai oleh f(x)
diperoleh. Ini dapat dinyatakan secara matematik dalam wujud Deret Fourier
sebagai berikut :
f(x) = ao/2 + (a1
cos x + b1 sin x) (a2 cos 2x + b2 sin 2x) +
(a3 cos 3x +
b3 sin 3x) + …….. + (an cos nx + bn sin nx)
Nilai-nilai ao, a1, b1, dan seterusnya
disebut dengan koefisien Fourier (Gibson, 1981) dan dapat dengan mudah
dihitung. Penggunaan koefisien Fourier memungkinkan merekonstruksi satu
gambaran pada CT.
Konvolusi
Konvolusi adalah suatu teknik pengolahan citra yang
digital untuk memodifikasi gambaran-gambaran melalui suatu fungsi filter.
"Proses ini melibatkan perkalian
dan memilih respon kurva detektor untuk menghasilkan sepertiga fungsi yang
digunakan untuk rekonstruksi statu image (Berland, 1987).
Interpolasi
Interpolasi
digunakan di CT dalam proses
rekonstruksi gambar dan penentuan irisan di CT spiral/ helical imaging.
Interpolasi adalah suatu teknik matematica untuk memperkirakan fungís statu nilai
dari nilai yang sudah diketahui pada suatu
fungsi tertentu.
"Sebagai contoh, jika
kecepatan dari suatu mesin yang dikendalikan oleh suatu pengungkit meningkat
dari 40 sampai 50 putaran per detik di mana pengungkit itu diturunkan 4 cm,
seseorang dapat menyisipkan informasi ini dan berasumsi bahwa dengan
menggerakkan 2cm memberi 45 revolutions per detik. Ini adalah metoda yang
paling sederhana dari interpolasi, yang disebut interpolasi linear . Jika
nilai-nilai yang dikenal dari variabel nya, X, satu perkiraan dari suatu nilai
yang tak dikenal dari Y dapat dibuat suatu garis lurus diantara dua nilai
paling dekat.
Rumusan matematika
untuk interpolasi linear di mana Y3 adalah nilai yang tak dikenal
dari Y (pada X3) dan Y2 dan Y1 (pada X2
dan X1) adalah nilai-nilai yang dikenal paling dekat antara interpolasi yang dibuat."

Gambar 6-2. Bagan dari aplikasi dan prinsip dari
teknik rekonstruksi gambar.
REKONSTRUKSI GAMBAR DARI
PROYEKSI
Perspektif Historis
Sejarah
dari teknik rekonstruksi bermuda pada tahun 1917 ketika Radon mengembangkan
pemecahan matematika pada saat
rekonstruksi gambar dari satu set proyeksinya. Ia menerapkan teknik ini
pada masalah gravitasi. Teknik ini kemudian digunakan untuk permasalahan gravitasi. Teknik ini
selanjutnya digunakan untuk memecahkan permasalahan di dalam ilmu perbintangan
dan ilmu optik, tetapi mereka tidak diberlakukan bagi pengobatan hingga tahun 1961 (Gbr. 6-2).
Dalam inisial
pekerjaannya, gambaran Hounsfield dianggap sebagai hasil teknik
rekonstruksi yang terpilih. Algoritm khusus (konvolusi teknik back projection)
segera diperkenalkan. Algoritma ini dikembangkan oleh Ramachandran dan
Laksminarayanan (1971) dan yang digunakan kemudiannya oleh Shepp dan Logan
(1974) untuk memperbaiki mutu gambaran dan waktu pemrosesan.
Masalah di CT
Pertimbangkan;
satu obyek, O, yang diwakili oleh satu sistem koordinat x-y (Gbr.6-3)
Distribusi dari semua koefisien atenuasi, µ,diberi oleh µ(x,y), yang bervariasi
antara poin-poin di dalam obyek. Umpamakan suatu berkas sinar-X melalui obyek
sepanjang suatu alur yang lurus (panah), dan intensitassuatu berkas sinar-X
yang dipancarkan mengenai
detektor-detektor CT adalah I .Lalu suatu proyeksi diberi baris integral
dari µ( x,y) :
Detector
I = Ioexp
[-∑ µ(x,y)] (6-1)
Source
Dengan logaritma yang negatif, Persamaan 6-1
dapat dijadikan persamaan integralnya :
I
To
(x) = ln --
(6-2)
Io
Io Detector
ln --
= ∑ µ(x,y) (6-3)
I Source
di mana Tθ (x) adalah
transmisi sinar x pada sudut θ, yang adalah pengukuran dari penyerapan total
sepanjang garis lurus di Gbr.6-3. T
θ (x) dikenal sebagai jumlah sinar, yang adalah integral dari µ(x,y)
sepanjang sinar.
Masalah computasi di CT untuk menemukan µ(x,y) dari sejumlah
berkas sinar yang menembus obyek, O. Secara geometris berkas akan akan dibahas
di Bab 5 untuk memastikan bahwa setiap point di dalam obyek itu diteliti
menurut suatu himpunan yang besar dengan menjumlahkan Tθ (x).


![]() |

µ (x,y)

θ
Io
(sumber) O (obyek)
Gambar.6-3. Distribusi total koefisien attenuasi
pada obyek O adalah µ(x,y). Masalah di CT untuk mengkalkulasi µ(x,y) dari satu
set proyeksi-proyeksi yang ditetapkan oleh sudutθ. Io dan I menunjukkan intensitas berkas
sinar dari sumber dan detektor secara
berturut-turut. (dari Seeram E:Computed
tomography rechnology, Philadelphia,
1994, WB Saunders)

Gambar.6-4.
Profil proyeksi yang diperoleh ketika suatu berkas sinar paralel dari sinar-X
menembus obyek oleh f(x,y). (D
adalah jarak dari sinar AA(p) dari asalnya O).
Sejumlah sinar dikenal
sebagai suatu proyeksi (Gbr.6-4), yang dapat dihasilkan sama seperti yang ditunjukkan pada Gbr6-4, seperti (ketika
tabung sinar-X dan detektor menscan obyek secara simultan). Sinar AA' sama dengan x cos θ + y sin θ = d. Proyeksi itu
diperoleh dari P(θ,d) :
P(θ,d) = ∫ AA
f(x,y)ds
(6-4)
di mana d-s adalah diferensial sepanjang
lintasan s.
Untuk memahami
arti dari suatu proyeksi, mempertimbangkan; menganggap kasus yang berikut di
mana suatu berkas dari Intensity I
menembus suatuobyek dari ketebalan x :
|
I in →
→ I out
← x →
Berkas tersebut diatenuasikan
menurut hokum Lambrt-Beer, sebagai berikut :
-µx
I out
= I in e
Karena x, I
in, I out and e diketahui, maka µ dapat dihitung :
I I in
µ =
--- . log ----
x I out

Gambar.6-5. Berkas sinar secara geometri digunakan pada CT
untuk memproyeksikan data. A.Berkas Geometri yang paralel digunakan CT yang
pertama. B. Berkas sinar dalam bentuk kipas diperkenalkan untuk memperoleh data
proyeksi lebih cepat dari berkas yang paralel.
Kasus
berikut mewakili situasi di dalam pasien :
![]() |
I in →
→ I out
![]() |
I out = I
in –( µ1x1 + µ2
x2 + µ3 x 3 + ……… µn Xn ) (6-6)
Karena
x1 = x2 = x3 ……… = xn
I/x log I in / Iout = µ1 + µ2 + µ3 + ……… µn (6-7)
Masalah di CT untuk
mengkalkulasi semua nilai µ untuk suatu proyeksi yang besar. Proyeksi-proyeksi
dapat didapat melalui berkas parallel dan berkas (Gbr.6-5). CT Scan dari Hounsfield yang asli menggunakan
proyeksi berkas parallel yang diperoleh melalui suatu perputaran 180 derajat.
REKONSTRUKSI ALGORITMA
Rekonstruksi gambar dari proyeksi-proyeksi
melibatkan beberapa algoritma untuk mengkalkulasi semua nilai µ pada persamaan 6-7 dari suatu data proyeksi. Algoritma
CT dapat digunakan untuk proyeksi balik,
proyeksi metode iteratif, dan metoda analitik.
Proyeksi Balik
Back-projection (Proyeksi balik)
adalah prosedur yang sederhana dan tidak memerlukan banyak pemahaman
matematika. Back-projection juga
dinamakan metoda tambahan atau "metoda linier superposisi "
merupakan metode pertama yang digunakan oleh Oldendorf (1961) dan Kuhl dan
Edward (1963).
Back-projection dapat dijelaskan dengan suatu
pendekatan grafik atau klasifikasi.

Gambar.6-6. Penyajian grafik back-projection pada teknik
proyeksi rekonstruksi
Pertimbangkan;
bila empat berkas sinar-X menembus suatu obyek yang tak dikenal akan menghasilkan empat proyeksi, P1, P2,
P3, P4 (Gbr.6-6). Persoalan ini melibatkan pemakaian
profil untuk merekonstruksi satu gambaran dari obyek yang tidak diketahui (titik hitam) di dalam kotak. Data dari
proyeksi balik (secara linear) membentuk
gambaran-gambaran BP1, BP2, BP3, dan BP4. Rekonstruksi melibatkan
penjumlahan back-projection dari suatu
obyek untuk membentuk satu gambaran dari obyek.
Yang menjadi persoalan dari proyeksi
balik adalah tidak menghasilkan suatu gambar yang
tajam/jelas dari obyek dan oleh karena itu tidak digunakan di dalam CT klinis.
Artefak paling mencolok pada proyeksi balik adalah pola bintang yang khas yang
terjadi karena nilai dari kepadatan suatu obyek yang menerima sebagian dari proyeksi balik
intensitas obyek itu ( Curry, Dowdey, dan Murry,1990).
Proyeksi balik dapat juga dijelaskan dengan
acuan matrik 2 x 2 berikut :
![]() |
Empat persamaan yang berbeda dapat dihasilkan µ 1, µ 2, µ3,
dan µ4.
I1 = Ioe -(µ 1 + µ2)x
I2 = Ioe -(µ 3 + µ4)x
I3 = Ioe -(µ 1 + µ3)x
I4 = Ioe -(µ 2 + µ4)x
Persamaan ini dapat dipecahkan dengan cepat
oleh suatu komputer.
Suatu contoh kwantitatip akan membantu ke arah pengertian yang mendalam
ke dalam suatu kalkulasi. Pertimbangkan; anggap satu obyek dibagi menjadi empat
kotak(2 x 2 matriks dengan empat piksel), seperti yang ditunjukkan di sini.
![]() |
Empat proyeksi
dikumpulkan pada empat lokasi-lokasi yang dikenal yang berbeda : 0, 90, 45, dan
135 .
Mulailah. Kumpulkan data dari
empat proyeksi :0, 45, 90 dan 135 derajat.
1. Penjumlahan proyeksi 0 derajat pada sisi
kiri adalah 1 (0 +1).
2. Penjumlahan proyeksi 0 derajat pada sisi
kanan adalah 5 (2 +3).
3. Penjumlahan proyeksi 45 derajat adalah 0,
3 (2 + 1), dan 3.
4. Penjumlahan proyeksi 90 derajat pada baris
atas adalah 2 (2 + 0)
5. Penjumlahan proyeksi 90 derajat pada baris
bawah adalah 4 (3 +1).
6. Penjumlahan proyeksi 135 derajat adalah 2, 3 (3 + 0), dan 1
Data proyeksi ini 1,
5, 0, 3, 3, 2, 4, 2, 3, dan 1 kemudian secara sistematis digambarkan oleh
algoritma untuk merekonstruksi gambaran yang asli.
1. Pertama : Tempatkan data dari
proyeksi 0 derajat kedalam matrik untuk memperoleh data :
|
2. Kedua : Tambahkan data dari
proyeksi 45 derajat sampai nilai dari tiap kotak dari data yang pertama :
|
- Ketiga : Tambahkan data dari proyeksi 90 derajat dari setiap nilai dari tiap kotak dari data kedua :
|
- Keempat : Tambahkan data dari proyeksi 135 derajat dari setiap nilai dari setiap kotak dari data ketiga :
|
Langkah berikutnya untuk
memperoleh matrik sesungguhnya, dapat diperoleh dengan :
- Substraksikan nilai 6 (diperoleh dengan menjumlahkan nilai matrik sesungguhnnya- 0 + 1 + 2 + 3 = 6) dari setiap kotak pada data keempat :
|
2. Kurangkan matrik terdahulu agar
menjadi ratio sederhana. Dengan menggunakan pembagi yang umum, sehingga
diperoleh :
|
Ini adalah matrik 2 x 2 asli.
Algoritma Berulang
Pendekatan
lain kepada rekonstruksi gambar didasarkan pada teknik berulang. "Satu
rekonstruksi yang berulang-ulang mulai dengan satu asumsi (sebagai contoh,
bahwa semua poin dalam matriks mempunyai nilai yang sama) dan membandingkan
asumsi ini dengan nilai-nilai yang terukur, dan membuat koreksi buatan untuk
membawa kepada 2 pernyataan, dan lalu mengulangi proses ini berulang kali untuk
nilai-nilai yang terukur dan yang diasumsikan adalah sama atau di dalam batas
berterima " (Curry, Dowdey, dan murry, 1990).
Teknik
termasuk teknik rekonstruksi berulang-ulang bersama, teknik least-squares
berulang, dan teknik reconstuction secara aljabar (ART) (Brooks, and Di Chiro, 1976; Gordon and
Herman, 1974) dan terperinci di sini. Teknik ini
berbeda di dalam aplikasi koreksi kepada pengulangan yang berikut. Teknik
rekonstruksi yang secara aljabar digunakan oleh Hounsfield di dalam scanning
otak EMI (Hounsfield, 1994) yang pertama:
Pertimbangkan ilustrasi yang berikut (Seeram, 1994) :
![]() |
1.
Perkiraan yang awal
:Hitung rata - rata dari empat unsur dan dimasukkan kepada masing-masing
piksel; yang , 1 + 2 + 3 + 4 =10; 10/4 =2,5
![]() |
2,5
|
2,5
|
2,5
|
2,5
|
2.
Koreksi pertama untuk
kesalahan (sinar horisontal asli dijumlahkan lalu dikurangi sinar horisontal
baru penjumlahan dibagi 2) ( 3 - 5 )/ 2 dan ( 7 - 5 )/ 2 = -2/2 dan 2/2 = -1,0
dan 1,0 :
(2,5 – 1)
1,5
|
(2,5 – 1)
1,5
|
(2,5 + 1)
3,5
|
(2,5 +1)
3,5
|
3.
Perkiraan kedua:
1,5
|
1,5
|
3,5
|
3,5
|

4.
Ke dua koreksi untuk
kesalahan (sinar vertikal asli dijumlahkan dikurangi sianr vertikal baru menjumlahkan di vided oleh
2) ( 4 - 5 )/ 2 dan ( 6 - 5 )/ 2 = -1,0/2 dan +1,0/2 dan + 1,0/2 = -0,5 dan +
0,5 :
Penyelesaian matriks
yang akhir adalah seperti itu
1
|
2
|
3
|
4
|
Dewasa ini teknik ini tidak digunakan oleh
karena pembatasan berikut ini :
1. Sulit
untuk memperoleh berkas yang akurat oleh karena noise quantum dan gerakan pasien.
2. Prosedur
pengambilan juga lama untuk menghasilkan
gambaran yang direkonstruksi, karena data berulang-ulang bisa dilakukan hanya
jika data proyeksi tetap telah diperoleh.
3. Untuk menghasilkan suatu gambaran
"yang benar", harus ada lebih banyak data proyeksi menetapkan
dibanding piksel-piksel. Oleh karena itu data proyeksi diagonal diambil
ketepatankan untuk menghapuskan kerancuan.

Gambar 6-7. Proyeksi balik
(Back-projection) dan teknik penyaringan proyeksi balik (back-projection)
digunakan di CT. A, Proyeksi balik
(back-projection) mengakibatkan satu gambaran yang tidak tajam/jelas. B, Penyaringan proyeksi balik (filter
back-projection) menggunakan suatu filter digital (suatu filter belokan ) untuk
menghilangkan blurring, yang hasilkan
suatu gambaran yang tajam/jelas.

Gambar. 6-8. Radiograf dari suatu gambaran
mewakili daerah ruang oleh fungsi f(x,y). Ini dapat diubah kepada satu gambaran
dalam daerah frekuensi F(u,v) menggunakan Fourier transform. Sebagai tambahan,
F(u,v) dapat retransfomed ke dalam f(x,y) menggunakan kebalikan transformasi
Fourier.
Analytic Reconstruction Algorithms
Rekonstruksi analitik algorithma
dikembangkan untuk meniadakan pembatasan dari proyeksi balik (back-projection)
dan algoritma berulang dan digunakan di dalam Ct scanner moderen. Dua rekonstruksi analitik
algoritma adalah algoritma rekonstruksi Fourier dan penyaringan proyeksi balik
(filter back-projection).
Penyaringan Proyeksi Balik (Filtered Back – Projection)
Penyaringan proyeksi balik
(Filtered Back – Projection) adalah juga dikenal sebagai metode belokan (convolution method) (Fig. 6-7). Profil
proyeksi difilter atau digulung untuk menghilangkan blurring seperti bintang
khas merupakan karakteristik dari yang sederhana dari teknik proyeksi balik
(back-projection).
Langkah-langkah di dalam penyaringan metode proyeksi balik
(back-projection) (Gambar. 6-7,B) adalah sebagai berikut:
- Semua profil proyeksi diperoleh.
- Logaritma dari data itu diperoleh.
- Nilai-nilai logaritmis dikalikan dengan suatu filter digital, atau filter convolution, untuk menghasilkan satu set profil yang difilter.
- Profil-profil yang difilter kemudian kembali diproyeksikan.
- Proyeksi-proyeksi yang difilter dijumlahkan dan negatif dan komponen positif kemudian dibatalkan, yang hasilkan satu gambaran bebas dari blurring.
Fourier
Rekonstruksi
Proses rekonstruksi Fourier
digunakan di MRI tetapi bukan di dalam CT Scanner yang modern karena itu
memerlukan matematika lebih yang rumit dibanding penyaringan algoritma proyeksi
balik (filtered back projection algorithm).
Suatu gambaran
radiograf dapat dipertimbangkan dalam daerah ruang; meliputi, mewakili gambaran
keabuan (gray represent) yang menunjukkan variasi bagian dari anatomi
(e.g.,tulang adalah putih dan udara adalah hitam) di dalam ruang(spasi). Dengan
transform Fourier, gambaran daerah ini - radiograf yang diwakili oleh fungsi
f(x,y) - dapat diubah menjadi suatu gambaran daerah frekuensi yang diwakili
oleh fungsi F(u,v). Gambaran
daerah frekuensi ini terdiri dari bidang frekwensi tinggi sampai frekwensi yang
rendah. Sebagai tambahan, gambaran ini dapat diubah kembali ke dalam suatu
gambaran daerah ruang dengan inverse transformasi Fourier. (Fig.6-8)
Ada beberapa
keuntungan-keuntungan pada proses
perubahan bentuk ini.Pertama-tama, gambaran di dalam daerah frekuensi dapat
dimanipuasi (e.g., peningkatan tepi atau menghaluskan) dengan mengubah
amplitudo-amplitudo dari komponen-komponen frekuensi. Ke dua, suatu komputer dapat melaksanakan
manipulasi-manipulasi (pengolahan citra digital). Ketiga; informasi frekuensi
dapat digunakan untuk mengukur mutu gambaran melalui pokok spread fungsi, garis
spread fungsi, dan fungsi transfer modulasi (Huang,1999).
Daerah slice Fourier berbanding
Fourier transform suatu proyeksi dari
obyek pada angel θ sama dengan suatu slice dari transform Fourier dari obyek sepanjang
angel θ (Fig. 6-9) (Parker, 1991).
Rekonstruksi
Fourier terdiri dari langkah-langkah yang berikut (Gambar. 6-10) :
- Obyek yang untuk diteliti diwakili oleh fungsi f(x,y).
- Data proyeksi diperoleh dari obyek. Suatu proyeksi data yang di atur untuk rekonstuksi yang cukup diperlukan perputaran 180 derajat. Proyeksi ini menunjukkan suatu gambaran ruang.
- Masing-masing proyeksi diubah menjadi daerah frekuensi menggunakan transform Fourier. Gambaran ini yang harus diubah jadi suatu gambaran yang secara klinis bermanfaat.
- Karena CT scanner menggunakan suatu transform Fourier sehingga cepat berkembang terutama untuk implementasi digital, gambaran daerah frekuensi harus ditempatkan di suatu rectangular grid (Fig. 6-10). Ini tercapai oleh interpolation. Kecepatan transform Fourier memerlukan piksel-piksel di dalam grid array adalah 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, 256, 512, 1024, dan seterusnya.
- Akhirnya, gambaran yang disisipkan adalah operasi perubahan
Teknik rekonstruksi Fourier tidak
menggunakan setiap filter karena interpolasi menghasilkan suatu hasil yang
serupa. Juga, proses interpolasi 2D dapat mengakibatkan artefak-artefak jika
itu tidak dilakukan dengan teliti dan oleh karena itu tidak digunakan di CT.

Gambar. 6-9. Proyeksi slice dalil membentuk
dasar dari matematika rekonstruksi Fourier. Transform Fourier dari proyeksi
dengan 'respect dari X', Po (k) sama
dengan irisan dari transform Fourier F(k., k)di dalam arah negatif (-).

Gambar. 6-11 menunjukkan evolusi
data dari
acquisition, rekonstruksi, dan tampilan gambar. Empat
tipe
data adalah data pengukuran, data mentah,
data mentah yang difilter atau
convolved data, dan
gambar data atau merekonstruksi data.
Pengukuran
Data

detektor. Data ini diatur agar patuh kepada proses
untuk
mengoreksi pengukuran data pada
gambaran rekonstruksi algoritma. Correection
bersifat perlu karena error dalam pengukuran data
dari berkas sinar (beam
hardening), penyesuaian
untuk detektor yang tidak baik dalam membaca, atau
scattered radiasi. Jika error ini tidak dikoreksi,
hal ini akan menyebabkan
mutu gambaran
yang lemah dan menghasilkan gambaran artefak.
Raw Data
|
preprocessed dan diperlakukan pada gambaran
reconstrution algoritma yang digunakan oleh scanner.
Data ini dapat strored dan sesudah itu mendapat
kembali jika dibutuhkan.
Data Convolved
Gambaran
rekonstruksi algoritma yang digunakan
oleh CT scanner adalah filter proyeksi
balik
algoritma (filtered back-projection algorithm), yang
termasuk kedua
filter dan proyeksi balik
(back-projection). Raw data harus difilter
dengan
suatu filter mathematical, atau inti. Proses
ini juga dikenal sebagai teknik
convolution.
Convolution memperbaiki mutu gambaran melalui
removal dari blur
(Gambar. 6-12). Gambar. 6-12,
A, menunjukkan derajat tingkat dari blurring di
satu gambaran convolution. Gambar.6-12,
B, menunjukkan ketajaman gambaran
setelah
convolution. Convolution kernals hanya dapat berada
pada raw data.
Image Data
Image data, atau merekonstruksi data,
convolved
data yang telah diback-projected ke dalam
gambaran matriks untuk
menciptakan gambaran
CT yang terdisplay pada monitor. Variasi filter
digital tersedia untuk menekan
noise dan memperbaiki
detil (Fig. 6-13). Fig. 6-13 menunjukkan hubungan
antara
noise gambar dan detil gambar dari suatu
algoritma yang standar, suatu smoothing
algoritma , dan suatu enhancement algorithm.
algoritma yang standar, suatu smoothing
algoritma , dan suatu enhancement algorithm.
Standar algoritma biasanya
digunakan terhadap algoritma yang sebelumnya, terutama ketika suatu
keseimbangan antara gambaran noise dan detil gambaran. Smothing algoritma (Fig.
6-14) mengurangi gambaran noise dan menampakkan anatomi soft tissue dengan
baik; hal ini digunakan di dalam pengujian-pengujian dimana pembedaan soft
tissue adalah penting bagi visualisasi struktur kontras yang rendah. Tepi
enhancement algoritma menekankan tepi dari struktur dan memperbaiki detil
tetapi menciptakan gambaran noise (lihat Fig. 6-14). Hal ini digunakan di dalam
pengujian-pengujian di mana detil yang bagus adalah penting, seperti bagian
dalam telinga, struktur tulang, irisan tipis, dan pengujian berkenaan dengan
pemeriksaan paru-paru.

Gambar. 6-11. Evolusi data di CT, dari
acquisisi ke display gambar suatu monitor.

Gambar. 6-12. Pengaruh convolution di mutu gambaran pada CT. A,
Gambaran dari back-projection tanpa convolution. B, Himpunan data sesudah
convolved sebelum back-projection. (Courtesy Simens Medical Systems; Iselin, NJ.)

Gambar 6-13. Hubungan antara detil
gambar dan gambaran noise dari tiga filter digital pada CT. Meski membingkai
algoritma peningkatan menyediakan detil baik bandingkan dengan smothing
algoritma, hal ini juga mengakibatkan lebih banyak noise. Smoothing algoritma
mengurangi gambaran noise atas detail tetapi menunjukkan struktur soft tissue
yang baik.
REKONSTRUKSI GAMBARAN DI SINGLE-SLICE SPIRAL/HELICAL CT
Gambaran rekonstruksi rekonstruksi sebelumnya
digambarkan oleh single-slice CT
konvensional. Di dalam volume single-slice CT (spiral/helical CT),
filter back-projection algoritma digunakan pada satu pertimbangan tambahan.
Karena pasien bergerak secara terus-menerus melalui gantry dari suatu
perputaran 360-degree, gambaran yang reconstrucred akan kabur dan oleh karena
itu perlu interpolation sebelum filter back-projection digunakan. Suatu bagian
planar harus pertama dihitung dari himpunan data volume menggunakan
interpolation, setelah yang gambaran dihasilkan dengan berbagai algoritma
interpolation.
REKONSTRUKSI GAMBARAN PADA MULTISLICE SPIRAL/HELICAL CT
Tidak terdapat
perbedaan antara volume CT single-slice dan volume CT multislice pada pemakaian
multiple detektor row dan cover lebih besar dari volume pada penambahan
kecepatan serta membutuhkan perhitungan baru. Umumnya didalam, volume
multislice CT algoritma mempertimbangkan rekonstruksi dari variabel slice
thicknesses dan tujuan dari penambahan volume yang meningkat serta kecepatan
dari meja pemeriksaan. Ini yang mungkin yang dibuat oleh sacnning
spiral/helical dengan sampel yang ada, longitudinal interpolation, dan fan beam
rekonstruksi dengan filter back projection algoritma.
PERBANDINGAN DARI
ALGORITMA REKONSTRUKSI
Metoda-metoda analitik, filter back-projection,
dan rekonstruksi Fourier bersifat lebih cepat dan menghasilkan gambaran lebih
akurat dibanding yang memperoleh algoritma-algoritma dengan berulang-ulang.
Dari metoda-metoda analitik, filter back - projection algoritma digunakan di
dalam filter CT scanner yang modern termasuk state-of-the-art yang ada pada
multislice volume CT sacnner.

Gambar. 6-14. Pengaruh
dari dua filter digital pada penampilan dari gambaran CT. A, Satu filter meningkatan tepi
digunakan dan lebih banyak gambaran noise yang tampak. B, Suatu filter digital smoothing digunakan dan mengakibatkan
gambaran noise yang berkurang dan perbedaan soft tisu dengan baik.
3D ALGORITHMS
Aplikasi-aplikasi gambaran 3D dengan
peningkatan kecepatan (Udupa, 1999; Calhoun et al, 1999). Gambaran
tiga-dimensional menggunakan permukaan 3D dan rekonstruksi volume. Algoritma
untuk gambaran 3D didasarkan pada mereka yang menggunakan grafik komputer dan
persepsi penglihatan di dalam ilmu pengetahuan.
Satu algoritma untuk mendisplay
permukaan (Gambar. 6-15) didasarkan pada sedikitnya dua proses, prepemrosesan
dan tampilkan, dan terdiri dari operasi yang berikut: interpolasi, segmentasi,
formasi permukaan, dan proyeksi (Udapa, 1999; Calhoun et al, 1999). 3D
algorithma membebaskan penggunaan untuk
"secara interaktip memvisualisasi, mengolah, dan mengukur object 3D yang
besar di seluruh putpose workstation " (Udapa dan Odhner, 1991).
![]() |
x
|
y
|
z
|
i
|
Gambar.6-15. Algoritma untuk mendisplay permukaan suatu gambaran 3D
dari CT scanner.
![]() |
No comments:
Post a Comment