Sunday, 19 February 2012

CT DOSIMETRI ( CTDI
Dua pertanyaan yang sering muncul berhubungan dengan modalitas CT-Scan adalah Berapa besar dosis radiasi yang diberikan CT kepada pasien? Bagaimana dosis radiasi jika dibandingkan dari satu CT-scan dengan CT-scan yang lainnya? Dosis radiasi harus diketahui untuk memperkirakan berapa besar dosis radiasi potensial yang dapat diterima oleh pasien dan sebagai pertimbangan antara resiko yang terjadi dan keuntungan dari penggunaan CT-scan. Tambahan pula, banyak peraturan tentang radiasi yang mengharuskan dilakukannya penghitungan dan perkiraan dosis radiasi yang diterima pasien dari pesawat sinar X.
CT SCANNER X-RAY BEAM GEOMETRY
Beberapa CT-scan modern saat ini banyak menggunakan berkas sinar kipas (fan-shaped) yang dapat melakukan potongan melintang tubuh dengan sangat tipis. Melalui bidang longitudinal tubuh, berkas sinar sangat tipis dengan ketebalan hanya beberapa millimeter. Gambar yang menunjukkan tipe berkas sinar Ct-scan melintasi tubuh diperlihatkan pada gambar 12-1.
Gambar 12-1
CT-scan modern saat ini menggunakan berkas sinar kipas (fan-shaped). Berkas sinarnya berdimensi besar dan dapat mengkover seluruh permukaan pasien.
Gambar 12-2
Lebar berkas sinar X tampak dari samping (A). kolimator berada didekat sumber radiasi (lebarnya dibesarkan agar lebih jelas) untuk membuka dan menutup berkas
Gambar 12-2 memperlihatkan berkas sinar X dari samping dengan ketebalan yang diperbesar agar lebih jelas. Jika bidang longitudinal (cranial-caudal) pasien sebagai sumbu z, dan di teori, intensitas dari berkas radiasi melalui bidang dapat digrafikkan. Idealnya intensitas radiasi diukur melalui sumbu z yang besarnya sama dengan intensitas dimanapun dalam berkas radiasi dan tidak terdapat intensitas pada bagian sisi/samping. Gambar 12-2 (B) memperlihatkan intensitas persegi panjang dari berkas radiasi. Pada kenyataannya, intensitas radiasi diukur melaui sumbu z yang memiliki tepi tipis dan tampak sebagai kurva yang berbentuk lonceng (bell-shaped). Distribusi dosis selalu lebih lebar dibandingkan dengan lebar irisan/SW (slice width). Pabrik pembuat CT-scan pada umumnya selalu membuat ukuran berkas sinar X lebih lebar dibandingkan dengan lebar irisan (SW), hal ini digunakan untuk menipiskan/mengurangidari ketidaksegarisan berkas sinar X dan faktanya berkas sinar X memang tidak memiliki bentuk persegiempat yang ideal.
Dosis Distribusi didefinisikan sebagai fungsi D(z), yang menggambarkan perubahan intensitas dosis yang diterima oleh pasien. Pada umumnya, D(z) bervariasi antara pesawat CT-scan satu dengan yang lainnya.
METODE PENGUKURAN DOSIS PASIEN
Dosis radiasi dari pemeriksaan CT-scan merupakan yang paling besar dalam pemeriksaan radiologi. Pengukuran dosis yang akurat dari CT-scan menjadi sangat penting untuk dilaksanakan. Walaupun sangat banyak metode yang digunakan dalam pengukuran dosis namun, dalam chapter ini hanya akan membahas metode pencil ionization chamber dan metode CT Dose Index (CTDI). Metode Ionisasi Chamber (Tabung Ionisasi) merupakan metode yang paling mudah dilaksanakan dengan probabilitas yang akurat dan sering digunakan untuk pelaporan dosis.
Historical Perspective
Menurut sejarahnya, terdapat banyak skema pengukuran dosis yang didefinisikan sebagai D(z). beberapa skema diantaranya meliputi film dosimetri, thermoluminescent dosimetry (TLD) yaitu meletakkan dua Kristal pada tepi-tepi lebar berkas sinar X, dilakukan eksposi kemudian pengukuran dosis yang diserap oleh masing-masing Kristal tersebut (Jucius and Kambic, 1977; Dixon and Eckstrand, 1978; Shope et al, 1982; Cacak and Hendee, 1979). Teknik lainnya menggunakan tabung ionisasi khusus yang dapat digunakan untuk mengukur dosis dari beberapa titik pada lebar berkas sinar X (Moore, Cacak, and Hendee, 1981) dan merekonstruksi dosis hasil pengukuran tersebut ke dalam kurva dosis. Data dalam skema pengukuran seperti ini tidak selalu menjadii kebutuhan untuk mengetahui pengukuran dosis CT-scan.
Pada tahun 1981, Bureau of Radiological Health (sekarang menjadi Center for Devices and Radiological Health) menganjurkan suatu metode pengukuran dosis CT-scan yang mudah dan akurat yang dikenal dengan metode  CT Dose Index (CTDI) dan pengukuran dosis rata-rata dari multi scaning dengan metode Multiple Scan Average Dose (MSAD) (Shope, Gagne, and Johnson, 1981). Teknik ini menggunakan pengukuran single tabung ionisasi dan penghitungan sederhana untuk mengetahui dosis rata-rata yang diberikan kepada pasien yang menerima scaning berlanjutan (multiscan) dengan suatu teknik khusus yang disebut Bed Indexing (BI, rentang antar scan satu dengan scan berikutnya). Sejak saat itu, beberapa anjuran untuk pengukuran dosis bermunculan (Spokas, 1982; Poletti, 1984). MSAD menunjukkan keakuratan pengukuran dosis untuk tipe CT-scan terbaru seperti CT Spiral/Helical maupun CT single slice.
Ionisasi Chamber
Tabung Ionisasi (Ionization chamber) merupakan suatu instrument yang digunakan menghitung radiasi yang dikeluarkan secara akurat. Ionisasi chamber ini terdiri dari container/tabung kecil berisi udara yang memiliki dinding tipis sehingga memungkinkan radiasi dapat melewatinya dengan mudah. Ketika photon sinar X dengan energy tinggi bertabrakan dengan molekul udara bebas dalam tabung ionisasi, beberapa molekul mengalami proses ionisasi (satu atau lebih electron dari beberapa molekul). Elektron bebas yang ada dapat dikumpulkan dalam kawat penghubung atau plat dan diukur sebagai muatan listrik. Jumlah muatan yang terkumpul sebanding dengan jumlah ionisasi yang terjadi dan dapat diartikan sebanding dengan jumlah radiasi yang melewati tabung. Muatan dikeluarkan dari tabung ionisasi kemudian diukur dengan electrometer. Total muatan listrik dibangkitkan oleh berkas sinar X sebagai fungsi Q dengan satuan Coulomb (1 Coulomb = 1,6 x 1019 elektron).
MSAD (Multiple Scan Average Dose)
Dalam MSAD, scaning CT-scan secara berkelanjutan terhadap pasien diperlihatkan oleh gambar di bawah ini.
Gambar 12-3
Scaning secara berkelanjutan dari tujuh irisan didistribusikan ke dalam kurva distribusi dosis (gambar atas). Saat dosis dari kurva dijumlahkan, hasil total dosis tampak pada gambar bawahnya. Kurva total dosis mencapai puncak saat kurva berbentuk lonceng mengalami overlap. Garis putus yang melewati kurva dosis total merupakan dosis rata-rata multiple scan.
Di antara tiap scan, pasien bergerak sejauh bed index (BI). Tiap irisan didistribusikan ke dalam kurva dosis dengan bentuk menyerupai lonceng. Jika dosis dari seluruh scaning dijumlahkan, hasil dosis total yang diterima pasien dalam kurva menyerupai kurva osilasi (bolak-balik). Total dosis pada kurva kedua (bawah) merupakan MSAD (garis putus-putus) yang dapat dihitung dengan pengukuran matematis dari puncak dan lembah kurva MSAD.
Dosis Index (Dose Index)
Dosis index CT-scan didistribusikan ke dalam persamaan sebagai berikut :
CTDI =                     (1)
Keterangan :
n          : bilangan bidang nyata dari data yang terkumpul selama satu revolusi
SW      : lebar slice/irisan (mm)
D(z)     : distribusi dosis dan z adalah dimensi tubuh pasien
Catatan :
Untuk CT scan spiral dan non-spiral dengan detector single array nilai n = 1
Untuk CT scan multislice, nilai n merupakan jumlah detector yang diaktifkan selama scaning.
Gambar 12-4
Integral dari persamaan 1 dan 3 merupakan bagian area dengan garis-garis, sama pada kurva distribusi dosis

CTDI dapat ditingkatkan dengan cara menaikkan area yang berada di bawah kurva. Area tersebut dapat meningkat karena kenaikan intensitas radiasi, memperpanjang tinggi kurva atau memperlebar kurva, dan biasanya dengan membuka kolimator dekat dengan tabung sinar X. peningkatan dari CTDI berarti meningkatkan dosis radiasi yang diterima oleh pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh BRH menunjukkan bahwa, jika CTDI dapat diukur akan mempermudah penghitungan dari MSAD tanpa melihat bentuk kurva distribusi dosis. Mereka membuktikan bahwa MSAD dapat dihitung dengan melipatgandakan rasio SW terhadap BI dengan menggunakan CTDI. Persamaan yang didapat akan menjadi seperti di bawah ini :
MSAD = CTDI () =                          (2)
Dalam persamaan ini, BI adalah bed index, SW adalah slice width (mm).
Karena nilai dari n dan BI diketahui, maka sangat penting untuk mengukur dosis integral untuk mengetahui nilai dari MSAD (dapat diketahui dengan mudah menggunakan single scan dan pencil ion chamber.
Jika nilai BI meningkat, nilai MSAD pada umumnya menjadi menurun. Hal ini berarti jika irisan satu dengan yang lain memiliki jarak yang jauh, radiasi menyebar di atas tubuh pasien sehingga dosis rata-rata yang diterima kecil. Tentu saja jika rentang irisan dinaikkan, maka semakin banyak bagian organ yang tidak tampak (diantara slice satu dengan yang lain), cara menanggulangi hal tersebut adalah dengan menaikkan BI. Sebaliknya, disaat bed index dibuat kecil, irisan akan tipis, dosis distribusi menjadi berhimpit sehingga dosis rata-rat menjadi meningkat. Ketika slice width sama dengan bed index, maka MSAD juga sama dengan CTDI.
Tepatnya, MSAD hanya valid pada pertengahan scan saat scaning multislice. Pada dosis terakhir (dosis pada slice terakhir) scaning multislice, MSAD terlalu tinggi dalam menunjukkan dosis rata-rata yang diterima oleh pasien. Meskipun demikian, MSAD sangat akurat dalam mengukur dosis rata-rata pada pertengahan scaning multislice.
Pengukuran CTDI
Setelah didapatkan nilai CTDI, MSAD dapat diukur dengan menggunakan persamaan 2
IMAGE RECONSTRUCTION
PRINSIP DASAR
Prinsip dasar berhubungan dengan proses rekonstruksi gambaran termasuk algoritma, transformasi Fourier, konvolusi dan interpolasi. Urutan dari kejadian setelah sinyal meninggalkan detektor-detektor CT ditunjukkan di Gbr 6-1.
 Algoritma
Algoritma  kini umum dalam radiologi karena komputer digunakan  dalam pembuatan imaging dan  aplikasi non imaging. Kata algoritma berasal dari nama sarjana dari Persia, Abu Ja'far Mohammed ibn Musa Alkowarizmi, yaitu buku teks  arithmatics (c.825 CE) yang signifikan dengan proses matematika selama bertahun-tahun (Knuth, 1977). Menurut Knuth, satu algoritma adalah "suatu  aturan atau arah agar menjadi suatu keluaran yang spesifik dari suatu masukan yang spesifik. Fitur  pembeda dari suatu algoritma adalah bahwa/ karena semua ketidakjelasan harus dihapuskan; aturan-aturan itu harus menguraikan operasi yang sangat sederhana dan digambarkan  dengan baik, mereka dapat dieksekusi oleh suatu mesin. Lebih lanjut,  algoritma harus selalu menjadi akhir dari sejumlah langkah.
                                                                              Detektor CT
                                                                    



Gambar.6-1. Urutan  kejadian setelah sinyal meninggalkan detektor. Rekonstruksi algoritma suatu gambar yang berhubungan dengan matematika dari suatu proses CT.
Suatu pemecahan untuk permasalahan matematik di dalam tomography (CT) perlu dihitung dengan menggunakan program komputer, atau rekonstruksi gambar.
Transformasi Fourier
Transformasi Fourier  dikembangkan oleh ahli matematik Baron Jean-Baptiste-Joseph Fourier pada tahun 1807 dan secara luas digunakan di dalam ilmu pengetahuan dan rancang-bangun. Transformasi Fourier  adalah suatu alat analitik yang bermanfaat pada  matematika, ilmu perbintangan, ilmu kimia, ilmu fisika, pengobatan, dan radiologi. Di  radiologi, Transformasi Fourier itu digunakan untuk merekonstruksi gambaran-gambaran dari anatomi pasien di CT dan juga di dalam Magnetik Resonans Imaging (MRI).
             Untuk memahami Transformasi Fourier,  oleh Bracewell (1989) diperkenalkan satu analogi dengan tindakan tatap muka. Gelombang suara yang datang lalu masuk dalam telinga dan dipisahkan menjadi sinyal dan intensitas yang berbeda. Sinyal-sinyal ini sampai di otak dan diatur kembali agar menghasilkan suatu persepsi bunyi yang asli. Bracewell menggambarkan Transformasi  Fourier seperti "suatu fungsi yang  menguraikan amplitudo dan tahap-tahap dari tiap sinusoid, yang berpasangan dengan suatu frekuensi yang spesifik. (Amplitudo menguraikan tingginya sinusoid; tahap-tahap specifik titik awal di dalam siklus sinusoid itu)". Dengan kata lain, Transformasi Fourier itu adalah suatu fungsi mathematika yatitu dengan mengkonversi suatu sinyal di dalam suatu daerah menjadi suatu sinyal  di daerah frekuensi.
             Transformasi Fourier membagi suatu bentuk gelombang (sinusoid) ke dalam satu rangkaian fungsi cosinus-sinus dari  frekwensi yang berbeda dan amplitudo-amplitudo. Komponen ini lalu dipisahkan. Pada imaging, ketika suatu sinar x melewati pasien, satu profil gambaran yang ditandai oleh f(x) diperoleh. Ini dapat dinyatakan secara matematik dalam wujud Deret Fourier sebagai berikut :
              f(x) = ao/2 + (a1 cos x + b1 sin x) (a2 cos 2x + b2 sin 2x) +
                        (a3 cos 3x + b3 sin 3x) + …….. + (an cos nx + bn sin nx)
Nilai-nilai ao, a1, b1, dan seterusnya disebut dengan koefisien Fourier (Gibson, 1981) dan dapat dengan mudah dihitung. Penggunaan koefisien Fourier memungkinkan merekonstruksi satu gambaran pada CT.
Konvolusi
Konvolusi  adalah suatu teknik pengolahan citra yang digital untuk memodifikasi gambaran-gambaran melalui suatu fungsi filter. "Proses ini  melibatkan perkalian dan memilih respon kurva detektor untuk menghasilkan sepertiga fungsi yang digunakan untuk rekonstruksi statu image (Berland, 1987).
 Interpolasi
Interpolasi digunakan di CT  dalam proses rekonstruksi gambar dan penentuan irisan di CT spiral/ helical imaging. Interpolasi adalah suatu teknik matematica untuk memperkirakan fungís statu nilai dari nilai yang sudah diketahui pada suatu  fungsi tertentu.
"Sebagai contoh, jika kecepatan dari suatu mesin yang dikendalikan oleh suatu pengungkit meningkat dari 40 sampai 50 putaran per detik di mana pengungkit itu diturunkan 4 cm, seseorang dapat menyisipkan informasi ini dan berasumsi bahwa dengan menggerakkan 2cm memberi 45 revolutions per detik. Ini adalah metoda yang paling sederhana dari interpolasi, yang disebut interpolasi linear . Jika nilai-nilai yang dikenal dari variabel nya, X, satu perkiraan dari suatu nilai yang tak dikenal dari Y dapat dibuat suatu garis lurus diantara dua nilai paling dekat.
             Rumusan matematika untuk interpolasi linear di mana Y3 adalah nilai yang tak dikenal dari Y (pada X3) dan Y2 dan Y1 (pada X2 dan X1) adalah nilai-nilai yang dikenal paling dekat antara  interpolasi yang dibuat."
Y3 = Y1 + ( X3 - X1) ( Y2 -Y1) / ( X2 -X1)

























Gambar 6-2. Bagan dari aplikasi dan prinsip dari teknik rekonstruksi gambar.
REKONSTRUKSI GAMBAR DARI PROYEKSI
Perspektif Historis
Sejarah dari teknik rekonstruksi bermuda pada tahun 1917 ketika Radon mengembangkan pemecahan matematika pada saat  rekonstruksi gambar dari satu set proyeksinya. Ia menerapkan teknik ini pada masalah gravitasi. Teknik ini kemudian digunakan untuk  permasalahan gravitasi. Teknik ini selanjutnya digunakan untuk memecahkan permasalahan di dalam ilmu perbintangan dan ilmu optik, tetapi mereka tidak diberlakukan bagi pengobatan  hingga tahun 1961 (Gbr. 6-2).
             Dalam inisial  pekerjaannya, gambaran Hounsfield dianggap sebagai hasil teknik rekonstruksi yang terpilih. Algoritm khusus (konvolusi teknik back projection) segera diperkenalkan. Algoritma ini dikembangkan oleh Ramachandran dan Laksminarayanan (1971) dan yang digunakan kemudiannya oleh Shepp dan Logan (1974) untuk memperbaiki mutu gambaran dan waktu pemrosesan.
Masalah di CT
Pertimbangkan; satu obyek, O, yang diwakili oleh satu sistem koordinat x-y (Gbr.6-3) Distribusi dari semua koefisien atenuasi, µ,diberi oleh µ(x,y), yang bervariasi antara poin-poin di dalam obyek. Umpamakan suatu berkas sinar-X melalui obyek sepanjang suatu alur yang lurus (panah), dan intensitassuatu berkas sinar-X yang dipancarkan mengenai  detektor-detektor CT adalah I .Lalu suatu proyeksi diberi baris integral dari   µ( x,y) :
                                                  Detector
            I = Ioexp [-∑                µ(x,y)]                                       (6-1)
                                  Source
           
             Dengan logaritma yang negatif, Persamaan 6-1 dapat dijadikan persamaan integralnya :
                               I
            To (x) =  ln --                                                                 (6-2)
                               Io
                 Io                 Detector
            ln  --  =                  µ(x,y)                                            (6-3)                 
                 I              Source
di mana Tθ (x) adalah transmisi sinar x pada sudut θ, yang adalah pengukuran dari penyerapan total sepanjang garis lurus di Gbr.6-3.  T θ (x) dikenal sebagai jumlah sinar, yang adalah integral dari µ(x,y) sepanjang sinar.
             Masalah computasi  di CT untuk menemukan µ(x,y) dari sejumlah berkas sinar yang menembus obyek, O. Secara geometris berkas akan akan dibahas di Bab 5 untuk memastikan bahwa setiap point di dalam obyek itu diteliti menurut suatu himpunan yang besar dengan menjumlahkan Tθ (x).                       
                                                          y
                                                                          I (detector)


 
 



                                              µ (x,y)                                       
                                                                                                 x
                                              θ

                                 Io (sumber)                  O (obyek)
Gambar.6-3. Distribusi total koefisien attenuasi pada obyek O adalah µ(x,y). Masalah di CT untuk mengkalkulasi µ(x,y) dari satu set proyeksi-proyeksi yang ditetapkan oleh sudutθ. Io dan I menunjukkan intensitas berkas sinar dari sumber dan detektor secara  berturut-turut. (dari Seeram E:Computed tomography rechnology, Philadelphia, 1994, WB Saunders)
             
Gambar.6-4. Profil proyeksi yang diperoleh ketika suatu berkas sinar paralel dari sinar-X menembus obyek oleh f(x,y). (D adalah jarak dari sinar AA(p) dari asalnya O).
Sejumlah sinar dikenal sebagai suatu proyeksi (Gbr.6-4), yang dapat dihasilkan sama seperti  yang ditunjukkan pada Gbr6-4, seperti (ketika tabung sinar-X dan detektor menscan obyek secara simultan). Sinar AA' sama dengan x cos θ + y sin θ = d.     Proyeksi itu diperoleh dari P(θ,d) :
                 P(θ,d) =  ∫  AA f(x,y)ds                                                                           (6-4)
 di mana d-s adalah diferensial sepanjang lintasan s.
             Untuk memahami arti dari suatu proyeksi, mempertimbangkan; menganggap kasus yang berikut di mana suatu berkas  dari Intensity I menembus suatuobyek dari ketebalan x :



µ
 

                                 I in  →            →    I out
                                              ← x →
Berkas tersebut diatenuasikan menurut hokum Lambrt-Beer, sebagai berikut :
                                                                       -µx
                                   I out = I in e
Karena  x, I in, I out and e diketahui, maka µ dapat dihitung :                    
                                               I             I in
                                       µ = ---  . log   ----
                                               x            I out
              
Gambar.6-5. Berkas sinar secara geometri digunakan pada CT untuk memproyeksikan data. A.Berkas Geometri yang paralel digunakan CT yang pertama. B. Berkas sinar dalam bentuk kipas diperkenalkan untuk memperoleh data proyeksi lebih cepat dari berkas yang paralel.
 Kasus  berikut mewakili situasi di dalam pasien :



     I in →                                                              → I out


 



     I out =     I in –( µ1x1 + µ2 x2  + µ3 x 3 + ……… µn Xn )            (6-6)    
Karena x1 = x2 = x3 ……… = xn
      I/x log I in / Iout  =  µ1 + µ2 + µ3 + ……… µn    (6-7)
Masalah di CT untuk mengkalkulasi semua nilai µ untuk suatu proyeksi yang besar. Proyeksi-proyeksi dapat didapat melalui berkas parallel dan berkas (Gbr.6-5). CT Scan  dari Hounsfield yang asli menggunakan proyeksi berkas parallel yang diperoleh melalui suatu perputaran 180 derajat.
REKONSTRUKSI  ALGORITMA
 Rekonstruksi gambar dari proyeksi-proyeksi melibatkan beberapa algoritma untuk mengkalkulasi semua  nilai µ pada persamaan  6-7 dari suatu data proyeksi. Algoritma CT  dapat digunakan untuk proyeksi balik, proyeksi metode iteratif, dan metoda analitik.
Proyeksi Balik
Back-projection (Proyeksi balik) adalah prosedur yang sederhana dan tidak memerlukan banyak pemahaman matematika. Back-projection juga  dinamakan metoda tambahan atau "metoda linier superposisi " merupakan metode pertama yang digunakan oleh Oldendorf (1961) dan Kuhl dan Edward (1963).
 Back-projection dapat dijelaskan dengan suatu pendekatan grafik atau klasifikasi.
Gambar.6-6. Penyajian grafik back-projection pada teknik proyeksi rekonstruksi
Pertimbangkan; bila empat berkas sinar-X menembus suatu obyek yang tak dikenal akan  menghasilkan empat proyeksi, P1, P2, P3, P4 (Gbr.6-6). Persoalan ini melibatkan pemakaian profil untuk merekonstruksi satu gambaran dari obyek yang tidak diketahui  (titik hitam) di dalam kotak. Data dari proyeksi balik  (secara linear) membentuk gambaran-gambaran BP1, BP2, BP3, dan BP4. Rekonstruksi melibatkan penjumlahan  back-projection dari suatu obyek untuk membentuk satu gambaran dari obyek.
 Yang menjadi persoalan dari proyeksi balik  adalah  tidak menghasilkan suatu gambar yang tajam/jelas dari obyek dan oleh karena itu tidak digunakan di dalam CT klinis. Artefak paling mencolok pada proyeksi balik adalah pola bintang yang khas yang terjadi karena nilai dari kepadatan suatu obyek yang  menerima sebagian dari proyeksi balik intensitas obyek itu ( Curry, Dowdey, dan Murry,1990).
 Proyeksi balik dapat juga dijelaskan dengan acuan matrik 2 x 2 berikut :


 












Empat persamaan  yang berbeda dapat dihasilkan µ 1, µ 2, µ3, dan µ4.
              I1 = Ioe -(µ 1 + µ2)x
              I2 = Ioe -(µ 3 + µ4)x
              I3 = Ioe -(µ 1 + µ3)x
              I4 = Ioe -(µ 2 + µ4)x
 Persamaan ini dapat dipecahkan dengan cepat oleh suatu komputer.
Suatu contoh kwantitatip akan membantu ke arah pengertian yang mendalam ke dalam suatu kalkulasi. Pertimbangkan; anggap satu obyek dibagi menjadi empat kotak(2 x 2 matriks dengan empat piksel), seperti yang ditunjukkan di sini.


 













Empat proyeksi dikumpulkan pada empat lokasi-lokasi yang dikenal yang berbeda : 0, 90, 45, dan 135 .
Mulailah. Kumpulkan data dari empat proyeksi :0, 45, 90 dan 135 derajat.
1.      Penjumlahan proyeksi 0 derajat pada sisi kiri adalah 1 (0 +1).                                               
2.      Penjumlahan proyeksi 0 derajat pada sisi kanan adalah 5 (2 +3). 
3.      Penjumlahan proyeksi 45 derajat adalah 0, 3 (2 + 1), dan 3.                                                 
4.      Penjumlahan proyeksi 90 derajat pada baris atas adalah 2 (2 + 0) 
5.      Penjumlahan proyeksi 90 derajat pada baris bawah adalah 4 (3 +1). 
6.      Penjumlahan proyeksi 135 derajat  adalah 2, 3 (3 + 0), dan 1 
Data proyeksi ini 1, 5, 0, 3, 3, 2, 4, 2, 3, dan 1 kemudian secara sistematis digambarkan oleh algoritma untuk merekonstruksi gambaran yang asli.
1.   Pertama : Tempatkan data dari proyeksi 0 derajat kedalam matrik untuk memperoleh data :



1
(0 + 1)
5
(2 + 3)
1
(0 + 1)
5
(2 + 3)
 






2.   Kedua : Tambahkan data dari proyeksi 45 derajat sampai nilai dari tiap kotak dari data yang pertama :



1
(0 + 1)
8
(5 + 3)
4
(0 + 3)
8
(5 + 3)

 





  1. Ketiga : Tambahkan data dari proyeksi 90 derajat dari setiap nilai dari tiap kotak dari data kedua :



3
(1 + 2)
10
(8 + 2)
8
(4 + 4)
12
(8 + 4)

 






  1. Keempat : Tambahkan data dari proyeksi 135 derajat dari setiap nilai  dari setiap kotak dari data ketiga :



6
(3 + 3)
12
(10+2)
9
(8 + 1)
15
(12+3)

 
 






Langkah berikutnya untuk memperoleh matrik sesungguhnya, dapat diperoleh dengan :
  1. Substraksikan nilai 6 (diperoleh dengan menjumlahkan nilai matrik sesungguhnnya- 0 + 1 + 2 + 3 = 6) dari setiap kotak pada data keempat :



0
(6 + 6)
6
(12-6)
3
(9 - 6)
9
(15-6)

 






2.   Kurangkan matrik terdahulu agar menjadi ratio sederhana. Dengan menggunakan pembagi yang umum, sehingga diperoleh :



0
 (0 / 3)
2
(6 / 3)
1
(3 / 3)
3
(9 / 3)

 
 






Ini adalah matrik 2 x 2 asli.
 Algoritma Berulang
Pendekatan lain kepada rekonstruksi gambar didasarkan pada teknik berulang. "Satu rekonstruksi yang berulang-ulang mulai dengan satu asumsi (sebagai contoh, bahwa semua poin dalam matriks mempunyai nilai yang sama) dan membandingkan asumsi ini dengan nilai-nilai yang terukur, dan membuat koreksi buatan untuk membawa kepada 2 pernyataan, dan lalu mengulangi proses ini berulang kali untuk nilai-nilai yang terukur dan yang diasumsikan adalah sama atau di dalam batas berterima " (Curry, Dowdey, dan murry, 1990).
Teknik termasuk teknik rekonstruksi berulang-ulang bersama, teknik least-squares berulang, dan teknik reconstuction secara aljabar (ART) (Brooks, and Di Chiro, 1976; Gordon and Herman, 1974) dan terperinci di sini. Teknik ini berbeda di dalam aplikasi koreksi kepada pengulangan yang berikut. Teknik rekonstruksi yang secara aljabar digunakan oleh Hounsfield di dalam scanning otak EMI (Hounsfield, 1994) yang pertama:
 Pertimbangkan ilustrasi yang berikut (Seeram, 1994) :


 
















1.      Perkiraan yang awal :Hitung rata - rata dari empat unsur dan dimasukkan kepada masing-masing piksel; yang , 1 + 2 + 3 + 4 =10; 10/4 =2,5


 




2,5
2,5
2,5
2,5

2.      Koreksi pertama untuk kesalahan (sinar horisontal asli dijumlahkan lalu dikurangi sinar horisontal baru penjumlahan dibagi 2) ( 3 - 5 )/ 2 dan ( 7 - 5 )/ 2 = -2/2 dan 2/2 = -1,0 dan 1,0 :

(2,5 – 1)
1,5
(2,5 – 1)
1,5
(2,5 + 1)
3,5
(2,5 +1)
3,5
3.      Perkiraan kedua:

1,5
1,5
3,5
3,5




4.      Ke dua koreksi untuk kesalahan (sinar vertikal asli dijumlahkan dikurangi  sianr vertikal baru menjumlahkan di vided oleh 2) ( 4 - 5 )/ 2 dan ( 6 - 5 )/ 2 = -1,0/2 dan +1,0/2 dan + 1,0/2 = -0,5 dan + 0,5 :
 Penyelesaian matriks yang akhir adalah seperti itu

1
2
3
4

 Dewasa ini teknik ini tidak digunakan oleh karena pembatasan berikut ini :
1.   Sulit untuk memperoleh berkas yang akurat oleh karena noise quantum dan gerakan pasien.
2.   Prosedur pengambilan  juga lama untuk menghasilkan gambaran yang direkonstruksi, karena data berulang-ulang bisa dilakukan hanya jika data proyeksi tetap telah diperoleh.
3.   Untuk menghasilkan suatu gambaran "yang benar", harus ada lebih banyak data proyeksi menetapkan dibanding piksel-piksel. Oleh karena itu data proyeksi diagonal diambil ketepatankan untuk menghapuskan kerancuan.
 
Gambar 6-7.  Proyeksi balik (Back-projection) dan teknik penyaringan proyeksi balik (back-projection) digunakan di CT. A, Proyeksi balik (back-projection) mengakibatkan satu gambaran yang tidak tajam/jelas. B, Penyaringan proyeksi balik (filter back-projection) menggunakan suatu filter digital (suatu filter belokan ) untuk menghilangkan blurring,  yang hasilkan suatu gambaran yang tajam/jelas.
Gambar. 6-8. Radiograf dari suatu gambaran mewakili daerah ruang oleh fungsi f(x,y). Ini dapat diubah kepada satu gambaran dalam daerah frekuensi F(u,v) menggunakan Fourier transform. Sebagai tambahan, F(u,v) dapat retransfomed ke dalam f(x,y) menggunakan kebalikan transformasi Fourier.
Analytic Reconstruction Algorithms
Rekonstruksi analitik algorithma dikembangkan untuk meniadakan pembatasan dari proyeksi balik (back-projection) dan algoritma berulang dan digunakan di dalam Ct scanner moderen. Dua rekonstruksi analitik algoritma adalah algoritma rekonstruksi Fourier dan penyaringan proyeksi balik (filter back-projection).
Penyaringan Proyeksi Balik (Filtered Back – Projection)
Penyaringan proyeksi balik (Filtered Back – Projection) adalah juga dikenal sebagai metode belokan (convolution method) (Fig. 6-7). Profil proyeksi difilter atau digulung untuk menghilangkan blurring seperti bintang khas merupakan karakteristik dari yang sederhana dari teknik proyeksi balik (back-projection).
Langkah-langkah di dalam penyaringan metode proyeksi balik (back-projection) (Gambar. 6-7,B) adalah sebagai berikut:
  1. Semua profil proyeksi diperoleh.
  2. Logaritma dari data itu diperoleh.
  3. Nilai-nilai logaritmis dikalikan dengan suatu filter digital, atau filter convolution, untuk menghasilkan satu set profil yang difilter.
  4. Profil-profil yang difilter kemudian kembali diproyeksikan.
  5. Proyeksi-proyeksi yang difilter dijumlahkan dan negatif dan komponen positif kemudian dibatalkan, yang hasilkan satu gambaran bebas dari blurring.
Fourier Rekonstruksi
Proses rekonstruksi Fourier digunakan di MRI tetapi bukan di dalam CT Scanner yang modern karena itu memerlukan matematika lebih yang rumit dibanding penyaringan algoritma proyeksi balik (filtered back projection algorithm).
Suatu gambaran radiograf dapat dipertimbangkan dalam daerah ruang; meliputi, mewakili gambaran keabuan (gray represent) yang menunjukkan variasi bagian dari anatomi (e.g.,tulang adalah putih dan udara adalah hitam) di dalam ruang(spasi). Dengan transform Fourier, gambaran daerah ini - radiograf yang diwakili oleh fungsi f(x,y) - dapat diubah menjadi suatu gambaran daerah frekuensi yang diwakili oleh fungsi F(u,v). Gambaran daerah frekuensi ini terdiri dari bidang frekwensi tinggi sampai frekwensi yang rendah. Sebagai tambahan, gambaran ini dapat diubah kembali ke dalam suatu gambaran daerah ruang dengan inverse transformasi Fourier. (Fig.6-8)
Ada beberapa keuntungan-keuntungan pada  proses perubahan bentuk ini.Pertama-tama, gambaran di dalam daerah frekuensi dapat dimanipuasi (e.g., peningkatan tepi atau menghaluskan) dengan mengubah amplitudo-amplitudo dari komponen-komponen frekuensi. Ke dua, suatu komputer dapat melaksanakan manipulasi-manipulasi (pengolahan citra digital). Ketiga; informasi frekuensi dapat digunakan untuk mengukur mutu gambaran melalui pokok spread fungsi, garis spread fungsi, dan fungsi transfer modulasi (Huang,1999).
Daerah slice Fourier berbanding Fourier transform suatu proyeksi dari  obyek pada angel θ sama dengan suatu slice dari transform Fourier dari obyek sepanjang angel θ (Fig.  6-9) (Parker, 1991).
Rekonstruksi Fourier terdiri dari langkah-langkah yang berikut (Gambar. 6-10) :
  1. Obyek yang untuk diteliti diwakili oleh fungsi f(x,y).
  2. Data proyeksi diperoleh dari obyek. Suatu proyeksi data yang di atur untuk rekonstuksi yang cukup diperlukan perputaran 180 derajat. Proyeksi ini menunjukkan suatu gambaran ruang.  
  3. Masing-masing proyeksi diubah menjadi daerah frekuensi menggunakan transform Fourier. Gambaran ini yang harus diubah jadi suatu gambaran yang secara klinis bermanfaat.
  4. Karena CT scanner menggunakan suatu transform Fourier sehingga cepat berkembang terutama untuk  implementasi digital, gambaran daerah frekuensi harus ditempatkan di suatu rectangular grid (Fig. 6-10). Ini tercapai oleh interpolation. Kecepatan transform Fourier memerlukan piksel-piksel di dalam grid array adalah 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, 256, 512, 1024, dan seterusnya.
  5. Akhirnya, gambaran yang disisipkan adalah operasi perubahan
Teknik rekonstruksi Fourier tidak menggunakan setiap filter karena interpolasi menghasilkan suatu hasil yang serupa. Juga, proses interpolasi 2D dapat mengakibatkan artefak-artefak jika itu tidak dilakukan dengan teliti dan oleh karena itu tidak digunakan di CT.
Gambar. 6-9. Proyeksi slice dalil membentuk dasar dari matematika rekonstruksi Fourier. Transform Fourier dari proyeksi dengan 'respect dari X',  Po (k) sama dengan irisan dari transform Fourier F(k., k)di dalam arah negatif (-).
JENIS DARI DATA
Gambar. 6-11 menunjukkan evolusi data dari 
acquisition, rekonstruksi, dan tampilan gambar. Empat 
tipe data adalah data pengukuran, data mentah, 
data mentah yang difilter atau convolved data, dan 
gambar data atau merekonstruksi data.
Pengukuran Data
 Pengukuran data, atau data scan, pembangkit dari 
detektor. Data ini diatur agar patuh kepada proses 
untuk mengoreksi pengukuran data pada 
gambaran rekonstruksi algoritma. Correection 
bersifat perlu karena error dalam pengukuran data 
dari berkas sinar (beam hardening), penyesuaian 
untuk detektor yang tidak baik dalam membaca, atau 
scattered radiasi. Jika error ini tidak dikoreksi,
 hal ini akan menyebabkan mutu gambaran 
yang lemah dan menghasilkan gambaran artefak.
Raw Data

Interpolation
 
Raw data adalah hasil dari data scan yang
preprocessed dan diperlakukan pada gambaran
reconstrution algoritma yang digunakan oleh scanner.
 Data ini dapat strored dan sesudah itu mendapat
kembali jika dibutuhkan.
Data Convolved
Gambaran rekonstruksi algoritma yang digunakan 
oleh CT scanner adalah filter proyeksi balik 
algoritma (filtered back-projection algorithm), yang
 termasuk kedua filter dan proyeksi balik 
(back-projection). Raw data harus difilter 
dengan suatu filter mathematical, atau inti. Proses 
ini juga dikenal sebagai teknik convolution. 
Convolution memperbaiki mutu gambaran melalui 
removal dari blur (Gambar. 6-12). Gambar. 6-12, 
A, menunjukkan derajat tingkat dari blurring di
 satu gambaran convolution. Gambar.6-12, 
B, menunjukkan ketajaman gambaran setelah 
convolution. Convolution kernals hanya dapat berada
 pada raw data.
Image Data
 Image data, atau merekonstruksi data, convolved
data yang telah diback-projected ke dalam 
gambaran matriks untuk menciptakan gambaran 
CT yang terdisplay pada monitor. Variasi filter 
digital tersedia untuk menekan noise dan memperbaiki
detil (Fig. 6-13). Fig. 6-13 menunjukkan hubungan 
antara noise gambar dan detil gambar dari suatu 
algoritma yang standar, suatu smoothing 
algoritma , dan suatu enhancement algorithm.
Standar algoritma biasanya digunakan terhadap algoritma yang sebelumnya, terutama ketika suatu keseimbangan antara gambaran noise dan detil gambaran. Smothing algoritma (Fig. 6-14) mengurangi gambaran noise dan menampakkan anatomi soft tissue dengan baik; hal ini digunakan di dalam pengujian-pengujian dimana pembedaan soft tissue adalah penting bagi visualisasi struktur kontras yang rendah. Tepi enhancement algoritma menekankan tepi dari struktur dan memperbaiki detil tetapi menciptakan gambaran noise (lihat Fig. 6-14). Hal ini digunakan di dalam pengujian-pengujian di mana detil yang bagus adalah penting, seperti bagian dalam telinga, struktur tulang, irisan tipis, dan pengujian berkenaan dengan pemeriksaan paru-paru.
Gambar. 6-11. Evolusi data di CT, dari acquisisi ke display gambar suatu monitor.
Gambar. 6-12. Pengaruh convolution di mutu gambaran pada CT. A, Gambaran dari back-projection tanpa convolution. B, Himpunan data sesudah convolved sebelum back-projection. (Courtesy Simens Medical Systems; Iselin, NJ.)
                              
Gambar 6-13. Hubungan antara detil gambar dan gambaran noise dari tiga filter digital pada CT. Meski membingkai algoritma peningkatan menyediakan detil baik bandingkan dengan smothing algoritma, hal ini juga mengakibatkan lebih banyak noise. Smoothing algoritma mengurangi gambaran noise atas detail tetapi menunjukkan struktur soft tissue yang baik.
REKONSTRUKSI GAMBARAN DI SINGLE-SLICE SPIRAL/HELICAL CT
Gambaran rekonstruksi rekonstruksi sebelumnya digambarkan  oleh single-slice CT konvensional. Di dalam volume single-slice CT (spiral/helical CT), filter back-projection algoritma digunakan pada satu pertimbangan tambahan. Karena pasien bergerak secara terus-menerus melalui gantry dari suatu perputaran 360-degree, gambaran yang reconstrucred akan kabur dan oleh karena itu perlu interpolation sebelum filter back-projection digunakan. Suatu bagian planar harus pertama dihitung dari himpunan data volume menggunakan interpolation, setelah yang gambaran dihasilkan dengan berbagai algoritma interpolation.
REKONSTRUKSI GAMBARAN PADA MULTISLICE SPIRAL/HELICAL CT
Tidak terdapat perbedaan antara volume CT single-slice dan volume CT multislice pada pemakaian multiple detektor row dan cover lebih besar dari volume pada penambahan kecepatan serta membutuhkan perhitungan baru. Umumnya didalam, volume multislice CT algoritma mempertimbangkan rekonstruksi dari variabel slice thicknesses dan tujuan dari penambahan volume yang meningkat serta kecepatan dari meja pemeriksaan. Ini yang mungkin yang dibuat oleh sacnning spiral/helical dengan sampel yang ada, longitudinal interpolation, dan fan beam rekonstruksi dengan filter back projection algoritma.
PERBANDINGAN DARI ALGORITMA REKONSTRUKSI
 Metoda-metoda analitik, filter back-projection, dan rekonstruksi Fourier bersifat lebih cepat dan menghasilkan gambaran lebih akurat dibanding yang memperoleh algoritma-algoritma dengan berulang-ulang. Dari metoda-metoda analitik, filter back - projection algoritma digunakan di dalam filter CT scanner yang modern termasuk state-of-the-art yang ada pada multislice volume CT sacnner.
Gambar. 6-14. Pengaruh dari dua filter digital pada penampilan dari gambaran CT.  A, Satu filter meningkatan tepi digunakan dan lebih banyak gambaran noise yang tampak. B, Suatu filter digital smoothing digunakan dan mengakibatkan gambaran noise yang berkurang dan perbedaan soft tisu dengan baik.
3D ALGORITHMS
Aplikasi-aplikasi gambaran 3D dengan peningkatan kecepatan (Udupa, 1999; Calhoun et al, 1999). Gambaran tiga-dimensional menggunakan permukaan 3D dan rekonstruksi volume. Algoritma untuk gambaran 3D didasarkan pada mereka yang menggunakan grafik komputer dan persepsi penglihatan di dalam ilmu pengetahuan.
Satu algoritma untuk mendisplay permukaan (Gambar. 6-15) didasarkan pada sedikitnya dua proses, prepemrosesan dan tampilkan, dan terdiri dari operasi yang berikut: interpolasi, segmentasi, formasi permukaan, dan proyeksi (Udapa, 1999; Calhoun et al, 1999). 3D algorithma membebaskan  penggunaan untuk "secara interaktip memvisualisasi, mengolah, dan mengukur object 3D yang besar di seluruh putpose workstation " (Udapa dan Odhner, 1991).


 




















x
y
z
i


Gambar.6-15. Algoritma untuk mendisplay permukaan suatu gambaran 3D dari CT scanner.


 

No comments:

Post a Comment