Wednesday 25 January 2012

MAGNETIK RESONANCE IMEJING
Tinjauan Pustaka
A.      Prinsip Dasar MRI
1.      Komponen Dasar MRI 
a.      Magnet Utama
Magnet utama digunakan untuk memproduksi medan magnet yang besar, yang mampu menginduksi jaringan atau obyek sehingga mampu menimbulkan magnetisasi dalam obyek. Beberapa jenis magnet utama adalah:
1)      Permanen Magnet.







Gambar 2.1  Permanen Magnet (Westbrook dan Kaut,1998).
Permanen magnet dibuat dari bahan-bahan ferromagnetic. Yang umum digunakan sebagai pembuat magnet permanen adalah campuran antara alumunium, nikel, dan kobalt, disebut juga alnico. Permanen magnet tidak memerlukan listrik, kadangkala dirancang dengan model terbuka dan sangat umum digunakan pada pasien-pasien klaustrophobia, obesitas, ataupun pasien dengan pemeriksaan musculo skeletal dan teknik
intervensional yang sulit dilakukan dengan MRI yang tertutup (Westbrook dan Kaut, 1998)
2)      Resistive Magnet.






Gambar 2.2 Resistive magnet (Westbrook dan Kaut,1998)
Magnet jenis ini dibangkitkan dengan memberikan arus listrik melalui kumparan. Resistive magnet lebih ringan dibandingkan dengan permanen magnet, sementara kuat medan magnet maksimum yang dihasilkan kurang dari 0,3 Tesla.
3)      Super Conducting magnet.
Super conducting magnet menggunakan bahan yang terbuat dari miobium dan titanium. Bahan tersebut akan menjadi superconductive pada temperatur 4K (Kelvin) dengan memberikan arus listrik melalui kumparan-kumparan. Untuk menjaga kemagnetan kumparan harus dalam temperatur yang sangat dingin. Biasanya digunakan helium cair yang disebut juga dengan cryogen bath. Kuat medan magnet yang dihasilkan berkisar antara 0,5-4 Tesla untuk pencitraan diagnostik, dan lebih dari 9 Tesla untuk penelitian spectroscopic dan high resolution.
b.      Koil Gradien
Koil gradien digunakan untuk membangkitkan suatu medan magnet yang mempunyai fraksi-fraksi kecil terhadap medan magnet utama. Gradien digunakan untuk memvariasikan medan pada pusat magnet. Terdapat tiga medan yang saling tegak lurus antara ketiganya, yaitu bidang x, y, dan z. Fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan irisan yang dipilih (axial, sagital, atau koronal), gradien ini digunakan sesuai dengan koordinat dimensi ruang sebagai berikut:
1)      Gradien pemilihan irisan (slice selection) yaitu Gz.
2)      Gradien pemilihan fase (phase encode), yaitu Gy.
3)      Gradien pemilihan frekuensi (frequency encode), yaitu Gx.







Gambar 2.3  Kumparan gradien pada MRI menunjukkan tiga kumparan gradien yang saling tegak lurus pada bidang x, y, dan z. (Hashemi dan Bradley, 1997)








Gambar 2. 4 Menunjukkan pemilihan gradien sepanjang sumbu x, y, dan z dengan z axis pasien sejajar dengan z axis magnet. (Hashemi dan Bradley, 1997)
Dengan asumsi bahwa z axis tubuh sejajar dengan long axis magnet dengan arah cranio-caudal (CC), y axis pada arah posteroanterior (PA) dan x axis dari arah kanan ke kiri (R/L) akan menghasilkan gradien pemilihan irisan sepanjang z.
Pemilihan irisan dapat kita lihat dalam tabel berikut:
Tabel 2.1. Tabel Gradien

Slice- Select Gradient
Phase-Encoding Gradient
Frequency-Encoding Gradient
Axial
Z
Y
X
Sagittal
X
Y
Z
Coronal
Y
X
Z

Sumber : Hashemi dan Bradley, 1997
 
c.      Koil Radiofrekuensi
Koil yang umum digunakan, yaitu koil penerima dan koil pemancar-penerima (transceiver – receiver coil).
Dengan medan magnet yang tinggi akan lebih efisien menggunakan koil transceiver jika dibandingkan dengan penggunaan koil penerima saja, karena koil transceiver hanya membutuhkan energi Radio-Frekuensi ( RF ) yang kecil untuk menghasilkan magnetisasi transversal, sehingga SAR (Specific Absorbtion Rate) terhadap pasien dapat dikurangi.
Koil pemancar berfungsi memancarkan gelombang radio pada inti yang terlokalisir sehingga terjadi eksitasi. Sedangkan koil penerima berfungsi untuk menerima sinyal output dari sistem setelah eksitasi terjadi (Woordward, Peggy, 1995).
Semakin dekat objek terhadap koil, kemampuan koil menerima sinyal semakin baik. Receive Only Coils, koil jenis ini hanya menerima sinyal, didesain untuk dapat ditempatkan pada organ-organ tertentu seperti caudorectal untuk melihat prostat, rectum, atau uterus. Koil jenis ini disebut juga local coil. Beberapa jenis koil diantaranya :
1)      Koil Volume. Koil Volume dapat menangkap sinyal lebih besar dari jaringan yang tereksitasi sehingga Signal to Noise Ratio (SNR) menjadi lebih baik. Koil ini merupakan koil transceiver yang berfungsi sebagai pemancar sekaligus penerima, digunakan untuk pemeriksaan kepala, ekstremitas, abdomen, dan pelvis.
2)    Koil Permukaan (Surface Coil), merupakan penguat sinyal yang diterima dan dapat ditempatkan dekat dengan objek (sumber sinyal). Surface coil juga meningkatkan SNR.
3)      Koil Linier, merupakan koil yang sensitif terhadap perubahan arah medan magnet atau perubahan medan magnet sepanjang axis.
4) Koil Kuadrat, merupakan koil yang sensitif terhadap perubahan medan magnet sepanjang axis ganda.
Koil Phased Array, disebut juga multicoil yang dapat mencakup objek lebih besar tanpa menimbulkan noise sebagaimana jika digunakan dua koil yang diletakkan berdekatan.
d.      Sistem Komputer
 Sistem komputer digunakan sebagai pengendali sebagian besar operasional peralatan MRI. Dengan kelengkapan perangkat lunaknya, computer mampu melakukan tugas-tugas mulai dari input data, pemilihan protokol pemeriksaan, pemilihan irisan, mengontrol seluruh sistem, pengolahan data, penyimpanan data, pengolahan citra, display citra sampai rekam data.















Gambar 2.5  Instrumentasi Dasar MRI
(Westbrook dan Kaut, 1998)
2.      Prinsip Dasar Pencitraan MRI
Atom terdiri atas inti atom dan orbit elektron. Inti atom terdiri atas proton yang bermuatan +1 dan neutron yang tidak bermuatan. Sedangkan elektron bermuatan -1. Sedangkan nomor atom menunjukkan jumlah proton di dalam inti dan massa atom menunjukkan jumlah proton dan neutron di dalam inti (Westbrook, 1998).
a.      Spinning
  Spinning (gerakan berputar yang berotasi pada sumbunya) dari suatu partikel bermuatan yaitu proton akan menghasilkan momen dipol magnetic yang disebut juga dengan spin. Inti yang paling banyak mendominasi jaringan tubuh adalah atom hidrogen (1 proton tanpa neutron). Atom hidrogen juga mempunyai momen dipol magnetic yang kuat sehingga akan menghasilkan konsentrasi yang besar dan kekuatan yang kuat per inti. Hal inilah yang menyebabkan signal atom hidrogen yang dihasilkan lebih besar (1000x lebih besar dari atom lain daripada yang lainnya), sehingga atom inilah yang digunakan sebagai sumber signal dalam pencitraan MRI (Westbrook, 1998).
b.      Presesi
Tidak semua proton arahnya paralel dan anti paralel terhadap medan magnet luar, bahkan mereka berputar dengan cara tertentu, yang disebut dengan presesi (precession).
Frekuensi presesi adalah kecepatan angular dari presesi proton. Perputaran pada atom dimana satu putaran dari suatu titik dan kembali ke titik yang sama disebut Frekuensi
Frekuensi presisi tidak konstan, tergantung kekuatan medan magnet eksternal. Medan magnet luar semakin kuat maka precessi semakin cepat dan frekuensi semakin tinggi.
Dalam keadaan normal, spinning proton atom hidrogen adalah acak (random). Sehingga tidak menimbulkan magnetisasi (magnetisasi sama dengan nol). Jika spinning proton diletakkan dalam medan magnet luar yang sangat kuat maka akan mengalami precessi, yaitu pergerakan spin proton yang unik seperti gangsing. Kecepatan atau frekuensi precessi atom hidrogen tergantung pada kuat medan magnet yang diberikan pada jaringan. Semakin besar kuat medan magnet yang diberikan maka semakin cepat precessi proton. Frekuensi precessi proton  tergantung pada kuat medan magnet disebut dengan frekuensi larmor yang mengikuti persamaan



                         ω = γ B
 
 


          


dimana        ω = frekuensi Larmor proton
                              γ  = koefisien gyromagnetic
                              B  = medan magnet eksternal
                              (Sumber Westbrook dan Kaut 1998)








Gambar  2.6  Presesi Atom Hidrogen (Westbrook dan Kaut, 1998)
c.      Resonansi.
Resonansi terjadi apabila pada obyek diberikan gangguan berupa gelombang radio yang mempunyai frekuensi yang sama dengan frekuensi presisi Larmor obyek. Untuk keperluan klinis, pembentukan citra didasarkan pada pemanfaatan atom hidrogen dalam tubuh dengan kata lain agar fenomena resonansi terjadi gelombang radio (RF) yang diberikan harus mempunyai frekuensi Larmor yang sama dengan frekuensi larmor hidrogen, yaitu 42,57 MHz/Tesla. Pengaplikasian gelombang radio (RF) yang menyebabkan resonansi terjadi eksitasi sebagai hasil dari fenomena resonansi Nett Magnetitation Vector (NMV) menjadi terotasi dari bidang longitudinal ke bidang transversal xy. Magnetisasi pada bidang ini dikenal dengan magnetisasi transversal. Mxy  sudut  perotasi  dikenal  dengan flip angle.











Gambar  2.7  Arah magnetisasi longitudinal dan transversal
(Westbrook dan Kaut, 1998)
Fenomena terpenting pada pencitraan MRI adalah peristiwa resonansi magnetik dari suatu spinning proton yang mengalami precessi ketika berada pada medan magnet luar yang sangat kuat. Syarat untuk menimbulkan fenomena resonance magnetic ini adalah dengan  menggunakan pulsa RF (yang dipancarkan oleh suatu coil transmitter) yang sama dengan frekuensi larmor yang dimiliki oleh proton  atom hydrogen dalam tubuh. Dari peristiwa resonance magnetik ini akan didapatkan signal yang pancarkan oleh proton atom hidrogen tubuh yang kemudian ditangkap oleh coil receiver dan selanjutnya signal ini akan diolah oleh komputer menjadi sebuah citra (Westbrook, 1998).
B.     Proses Pembentukan Gambar
1.      Pulsa RF  ( Radio Frequency )
Pulsa RF merupakan gelombang elektromagnetik yang memiliki frekuensi antara 1 – 80 MHz (Bushong, 1996). Apabila spin ditembak oleh sejumlah pulsa yang mempunyai frekuensi sama dengan frekuensi Larmor, maka resonansi akan terjadi. Spin memungkinkan menyerap energi pulsa dan mengakibatkan sudut presesi semakin besar. Peristiwa tersebut dikenal dengan Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Pada hidrogen, agar terjadi resonansi maka frekuensi pulsa yang diaplikasikan harus sebesar frekuensi Larmornya.
Perubahan sudut presesi akibat pemberian pulsa RF tergantung dari lama dan intensitas pulsa. Pulsa yang mengakibatkan sudut presesi menjadi 90° disebut pulsa 90°, pulsa yang mengakibatkan sudut 180° disebut pulsa 180°, pulsa yang mengakibatkan sudut < 90° disebut pulsa  alpha  flip.
Peristiwa resonansi mengakibatkan Nuclear Magnetic Vektor ( NMV ) berada pada bidang transversal. Magnetisasi transversal akan menginduksi koil penerima sehingga terbentuk sinyal. Sinyal ini disebut sinyal MR (magnetic resonance), dimana besarnya frekuensi adalah sama dengan frekuensi Larmor (Westbrook, 1998).
2.      Waktu Relaksasi Longitudinal ( T1 ) dan Tranversal ( T2 )
a.      Waktu Relaksasi Longitudinal (T1)
Pada waktu pemberian pulsa RF dihentikan, Nuclear Magnetic Vektor ( NMV ) akan bergerak menuju bidang longitudinal. Masing-masing komponen magnetisasi mengalami relaksasi secara bebas. Seiring dengan itu, maka nilai magnetisasi longitudinal (Mz) akan muncul kembali dan bertambah besar, tetapi nilai komponen magnetisasi transversal (MT) semakin berkurang.


 

 
Gambar 2.8 Kurva karakteristik T1, tumbuh kembali magnetisasi longitudinal (Longitudinal recovery) menjadi 63% (Westbrook, 1999)
Waktu yang dibutuhkan  untuk kembalinya 63 % magnetisasi lonitudinal disebut waktu relaksasi longitudinal atau T1, disebut juga relaksasi spin-kisi.
b.      Waktu Relaksasi Tranversal (T2)
Sementara waktu yang dibutuhkan komponen magnetisasi tranversal untuk meluruh hingga 37 % dari nilai awalnya disebut waktu relaksasi tranversal atau T2, disebut juga relaksasi spin-spin (Bushong, 1998).  T2 decay disebabkan oleh pertukaran energi inti – inti atom dengan atom lainnya. Pertukaran energi ini disebabkan oleh interaksi medan magnet tiap inti atom.
Proses ini dinamakan spin relaxation dan menghasilkan decay atau hilangnya transverse magnetisasi. Decay rate juga merupakan proses eksponensial.Seperti halnya T1, T2 relaxation time adalah waktu yang konstan pada saat 63% transverse magnetisasi hilang.


 









Gambar 2.9 Kurva Karakteristik T2, berkurangnya magnetisasi transversal (Transversal Decay) menjadi 37% (Westbrook, 1999)
c.      Mekanisme Kekontrasan Gambar
Gambar akan memiliki kontras apabila ada perbedaan intensitas sinyal yang ditangkap. Sinyal tinggi memberikan gambaran yang terang (hiperintens) sedangkan sinyal yang rendah menghasilkan warna gelap (hipointens) dan beberapa tempat ada yang intermediate (isointens). Jaringan tampak terang jika memiliki komponen magnetisasi transversal yang besar, sehingga amplitudo sinyal yang diterima koil besar pula. Begitu juga sebaliknya dengan jaringan yang memiliki komponen magnetisasi transversal yang kecil tampak gelap  (Westbrook,1998).
Text Box: intensitas sinyal 
Gambar 2.10  Grafik intensitas sinyal terhadap waktu (Sprawl, 1987).
Secara skematis, dengan aplikasi waktu TR dan TE maka kedua jaringan(A dan B) mengalami pemulihan magnetisasi longitudinal dan peluruhan magnetisasi transversal sebelum full recovery. Formasi echo yang dihasilkan memiliki perbedaan intensitas sehingga menghasilkan kontras gambar  (dilihat pada skala keabuan).
1)      Kontras Citra T1 dan T2
Salah satu aspek outstanding diagnostik pada pencitraan MRI adalah kemampuan untuk melihat variasi tipe dari jaringan yang normal dan abnormal. Dengan menggunakan parameter yang benar, pencitraan MRI akan memberikan kita sebuah kontras jaringan yang baik. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary mendefinisikan istilah kontras sebagai “perbandingan untuk merinci suatu perbedaan”. Untuk diagnosis yang akurat, gambar MR harus dapat menujukkan perbedaan antar jaringan.
Hal yang paling penting adalah seorang operator harus memahami dan menguasai prinsip-prinsip untuk mendapatkan kontras gambar yang baik. Pada penggunaan pulse sequence spin echo, hanya ada dua faktor yang berperan langsung dalam mengontrol kontras jaringan pada gambar, yaitu TR dan TE. TR adalah TR (Time Repetition) adalah waktu pengulangan antar pulse Rf  900 yang satu dengan yang berikutnya pada sebuah slice. Nilai TR berkisar antara 350-3000 ms. Sedangkan TE adalah waktu tengah antar pulsa 900 dan signal maksimum (echo).  Nilai TE pada spin echo standar berkisar antara 10-120 ms (Woodward, 1995).
a)      Kontras Citra T1 (pembobotan T1)
Yang dimaksud dengan citra dengan pembobotan T1 adalah citra yang kontrasnya tergantung pada perbedaan T1 time. T1 time adalah waktu yang diperlukan untuk recovery hingga 63% dan dikontrol oleh TR. Karena TR mengontrol seberapa jauh vector dapat recover sebelum diaplikasi RF berikutnya, maka untuk mendapatkan pembobotan T1, TR harus dibuat pendek sehingga baik lemak maupun air tidak cukup waktu untuk kembali ke Bo, sehingga kontras lemak dan air dapat tervisualisasi dengan baik. Jika TR panjang lemak dan air akan cukup waktu untuk kembali ke Bo dan recover longitudinal magnetisasi secara penuh sehingga tidak bisa mendemonstrasikan keduanya.
Atom hydrogen pada jaringan yang berbeda dalam tubuh manusia mempunyai nilai karakteristik intrinsik berupa T1 yang berbeda. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan lingkungan makro melekularnya. T1 yang disebut juga dengan waktu relaksasi longitudinal atau spin-lattice (Bontrager, 2001) didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan untuk kembalinya 63% magnetisasi sepanjang sumbu longitudinal setelah pemberian pulsa RF 900 (Bushberg, 2002).
Pada pulse sekuens spin echo untuk mengontrol kontras T1 dapat digunakan short TR short TE yaitu TR : 250-700 ms, TE : 10-25 ms (Westbrook, 1998).        
b)      Kontas Citra T2 (pembobotan T2)                                           
 Yang dimaksud dengan pembobotan citra T2 adalah citra yang kontrasnya tergantung perbedaan T2 time. T2 time adalah waktu yang diperlukan untuk decay hingga 37% dan dikontrol oleh TE. Untuk mendapatkan T2 weighting, TE harus panjang untuk memberikan kesempatan lemak dan air untuk decay, sehingga kontras lemak dan dan air dapat tervisualisasi dengan baik. Jika TE terlalu pendek maka baik lemak dan air tidak punya waktu untuk decay sehingga keduanya tidak akan menghasilkan kontras citra yang baik. Penjelasan tersebut secara ringkas dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Sebagaimana T1, jaringan yang berbeda dalam tubuh manusia mempunyai nilai karakteristik intrinsik berupa T2 yang berbeda pula. T2 atau yang disebut juga dengan waktu relaksasi transversal atau spin-spin (Bontrager, 2001) .
Didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan magnetisasi transversal untuk meluruh 37% dari nilai awalnya (Bushberg, 2002).
Pada pulse sekuens spin echo untuk mengontrol kontras T2 dapat digunakan long TR long TE yaitu TR : +2000 ms, TE : +60 ms (Westbrook, 1998)                        
C.     Pulse Sequence Pada MRI Thorakal.
Pulse sequence adalah pengaturan pemilihan dari radiofrekuensi dan pulse gradient yang tepat,  biasanya berulang beberapa kali selama scanning, dimana interval waktu antara pulse dan amplitudo dan gelombang gradient dikontrol oleh penerimaan signal NMR (nukleic magnetic resonance) dan karakteristik yang mempengaruhi gambaran MRI (mr-tip, 2008).
  1. Spin Echo
Dalam Spin Echo dengan  memberikan pulse RF (radio frekuensi) 90º terhadap NMV (nuclei magnetisasi vector) mengakibatkan magnetisasi longitudinal berubah ke dalam bidang transversal, kemudian mengalami dephasing. Setelah waktu berikutnya diberikan pulse RF 180° sehingga NMV mengalami dephasing berlawanan dengan bidang transversal. Pada saat mengalami dephasing 180° akan terbentuk echo dan waktu yang terjadi disebut time echo (TE). Spin echo terbentuk ketika terjadi magnetisasi transversal in phase signal maksimum yang menginduksi coil. Spin echo terdiri dari T1 dan T2.
Pulse sequence menghasilkan gambaran T1 weighted jika mempunyai nilai TR dan TE pendek. Kontras image terjadi apabila terjadi perbedaan waktu T1 dalam lemak dan air karena banyak echo, atau T2 dalam jaringan karena sedikit echo yang terjadi. T1 weighting memberikan gambaran anatomis organ dan T2 weghting memberikan gambaran patologis karena adanya cairan (odema/hemorhage) dalam jaringan


Gambar 2.11  Phase Encode pada Spin Echo konvensional (Westbrook dan Kaut, 1998)

  1. Fast Spin Echo
 Fast spin echo (FSE) sama dengan spin echo akan tetapi waktu scanning jauh lebih singkat. Pada spin echo sequencenya adalah 90°kemudian diaplikasi 180° (refocusing echo), dan hanya satu phase encoding step per TR pada masing-masing slice sehingga hanya satu baris K-space yang terisi per TR.
 Pada fast spin echo waktu dikurangi dengan cara melakukan lebih dari satu phase encoding step per TR yang dikenal dengan echo train  dan kemudian mengisi  lebih dari satu baris K-space per TR.
Fast spin echo banyak digunakan untuk image T2 weighted karena waktu bisa lebih singkat.  Fast spin echo digunakan pada pemeriksaan sistem syaraf pusat, pelvis dan musculoskeletal. Penggunaan Fast spin echo  pada thorax dan abdomen kadang dapat menimbulkan respiratori artefak sehingga perlu adanya teknik respiratori compensation.










Gambar 2.12  Phase Encode pada Fast Spin Echo (Echo Train) (Westbrook dan Kaut, 1998)

Tabel 2.2  Nilai-nilai Parameter Pada sekuens Fast Spin Echo Echo (Terry M. Button, Ph.D, 149.28.118.44/meetings/lakegeorge_2003/button2.ppt, diakses 23 des 2008)

Parameter
Nilai
TR  Panjang
         2500 ms+ (4000ms+)
TR  Pendek
         500 ms  (400-600ms)
TE  Pendek
        10 ms     (min -20ms)
TE  Panjang
  100 ms   (90ms+)

Tabel 2.3  Parameter  TR dan TE yang digunakan dalam Fast Spin Echo  (Westbrook, dan  Kaut, 1999)



Sekuens
Parameter
TR
TE
T1   weighting
Pendek
Pendek
T2  weighting
Panjang
Panjang
Proton Density  weighting
Panjang
Pende



a.      Keunggulan Sekuens Fast Spin Echo
   Waktu menjadi lebih singkat, SNR masih relatif bagus, dapat untuk membuat citra high resolution dengan waktu yang relatif singkat, motion artefak dapat diminimalkan, adanya rephasing pulse yang membuat distorsi pada objek metalik dapat dikurangi. Keuntungan FSE yang utama adalah pengurangan waktu scan yang sangat signifikan terutama untuk pembobotan T2. (Hashemi dan Bradley, 1997)
b.      Keterbatasan Sekuens Fast Spin Echo  
   Berkurangnya   jumlah   slice,    adanya   “contras averaging” 
(K-space averaging) yang dapat menyebabkan cerebro spinal fluid menjadi lebih terang. Kerugian dari fast spin echo terutama adalah adanya blurring atau kekaburan yang berhubungan dengan pemilihan ETL  yang digunakan. Hal ini dapat ditanggulangi dengan pemilihan ETL yang rendah.
D.     Anatomi
Anatomi tulang sangat komplek, tersusun oleh berbagai tipe jaringan. Korpus vertebra memberikan support mekanik, sedangkan diskus intervertebralis menjadi bantalan gerakan. Berbagai ligamen menghubungkan struktur – struktur tersebut. Medula spinalis yang dikelilingi oleh LCS ( Liquor Cerebro Spinalis ), berada pada lingkungan yang terlindung dalam kolumna spinalis.
 Pada setiap segmen, sepasang nervus spinalis keluar melalui forament neuralis. Terdapat pula jaringan vasculer yang luas, dimana arteri-arteri secara segmental mendarahi tulang, otot, meningens, dan medula serta terdapat pula jaringan vena drainase yang terbentang di dalam kanalis vertebralis dan melingkari korpus vertebra. Tiap struktur tersebut memiliki karakteristik sinyal yang berbeda tergantung pulsasi sekuen yang digunakan.
                            







                         









Gambar 2.13  Anatomi Tulang belakang   (http://yourtotalhealth.ivillage.com/spinal-anatomy.html, diakses 23 des 2008)
E.     Artefak pada MRI
Artefak adalah area sinyal abnormal pembentuk gambar  yang bukan berasal  dari  anatomi dan patologi pasien.
Menurut ( Markisz dan Aqulia ,1996) , penyebab artefak dibagi menjadi beberapa faktor, yaitu :
  1. Faktor pasien.
a.      Faktor utama penyebab artefak dari pasien yaitu Artefak motion / gerakan. Gerakan pasien pada saat pemeriksaan dapat menyebabkan artefak motion, begitu juga gerakan dari tubuh seperti gerakan perut dan denyut jantung.


 













Gambar 2.14  Artefak  gerakan  (www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008)
Untuk mengatasi gerakan peristaltik usus  dapat dikurangi dengan cara diberi obat anti kejang sebelum scan dimulai untuk pemeriksaan abdomen. Meningkatkan NEX juga dapat membantu meningkatkan jumlah signal. Untuk denyut jantung dapat dikurangi dengan cara memberikan gating atau teknik gradien moment nulling.
b.      Artefak phase mismapping / ghosting
Artefak phase mismapping / ghosting disebabkan karena pergerakan organ pada saat aplikasi phase encoding gradien dan pergerakan searah dengan phase encode gradien pada saat akuisisi data. Penyebabnya adalah denyut pembuluh, pergerakan dada saat respirasi, dan pergerakan jantung (Westbrook, 1999).
Artefak phase mismapping dapat dikurangi dengan cara menempatkan pre-saturation antara asal artefak dengan FOV, menggunakan respiratori gating, menggunakan gating EKG dan peripheral gating, menggunakan GMN (gradien moment nulling) dan swapping phase axis.






 



















Gambar 2.15 Artefak Mismapping  / Aliran CSF(www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008


 













Gambar 2.16  Artefak mismapping / pergerakan jantung (www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008)
c.      Magnetic susceptibility
Terjadi karena semua jaringan mengalami magnetisasi dengan derajat yang berbeda tergantung dari karakteristik magnetiknya. Hal tersebut akan menghasilkan perbedaan precessional frekuensi dan phase. Perbedaan tersebut menyebabkan dephasing disekitar struktur yang memiliki magnetic susceptibility yang sangat berbeda, sehingga akan terjadi sinyal loss.
Biasanya pada GRE. Magnetic susceptibility bermanfaat pada pemeriksaan hemorhage atau blood produk karena dengan adanya artefak tersebut berarti perdarahannya masih baru. Dapat dikurangi dengan menggunakan SE / FSE dan bahan logam dihilangkan dari pasien.
 











Gambar 2.17  Magnetic susceptibility (www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008)
  1. Faktor fisiologi pasien
a.      Artefak chemical misregistration
Artefak chemical misregistration adalah artefak yang juga menghasilkan frekuensi precessional yang berbeda antara lemak dan air. Namun, dalam hal ini artefak di sebabkan karena lemak dan air sephase pada waktu yang sama dan kemudian out phase karena perbedaan frekuensi precessional. Artefak ini menyebabkan cincin dari signal yang hitam disekitar organ yang terdapat lemak dan air dalam voxel yang sama, contohnya pada ginjal. Artefak ini juga dapat mengakibatkan kehilangan slice karena penggunaan TE yang meningkat.
Untuk mengurangi artefak misregistration dalam pulse sequence gradien echo dipilih TE yang tepat untuk lemak dan air. Dengan kata lain memilih TE yang menghasilkan echo ketika lemak dan air in phase. Untuk memilih nilai TE dari lemak dan air bergantung pada kekuatan medan magnet. Contohnya untuk 1.5 T untuk mengurangi artefak misregistration digunakan TE sebesar     4.2 ms.










 















Gambar 2.18 Artefak chemical misregistration
(www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008)
b.      Artefak Black Boundary










 








Gambar 2.19Artefak Black Boundary
(www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008
c.      Artefak   Entry Slice Phenomena
Flow nuklei yang berjalan searah dengan slice excitation menerima beberapa RF excitation pulse dan akan menjadi saturated. Nuklei yang bergerak berlawanan arah terhadap slice excitation tidak akan menerima RF excitation pulse, sehingga akan selalu fresh pada slice tertentu.
Fenomena tersebut menghasilkan sinyal yang berbeda antara arteri dan vena dimana flow tegak lurus dengan bidang slice tersebut. Diatasi dengan menggunakan pre saturation


 







                                          Gambar 2.20  Artefak   Entry Slice Phenomena
(www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008)
 
  1. Faktor alat.
a.      Artefak  cross talk
Artefak  cross talk terjadi jika eksitasi pulse RF tidak tepat. Pulse pada saat setengah amplitudo, normalnya bervariasi hingga 10°/0º. Akibatnya, inti atom dalam slice berimpit dengan eksitasi pulse RF. Slice yang berbatasan menerima energi dari eksitasi pulse RF dari daerah sekitarnya.
Akibat dari artefak  cross talk SNR akan menurun dan Scan time menjadi lebih panjang karena double scan time.







Gambar 2.21  Artefak  cross talk
(www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008)
b.      Artefak Aliasing
Terjadi ketika bagian antomi dalam receiver coil berada diluar FOV. Bagian anatomi tersebut tampak spt terlipat dalam gambar. Bisa terjadi dalam frekuensi encoding maupun phase encoding (phase wrap)
Dapat dikurangi dengan cara: memperbesar FOV, oversampling pada phase direction, menempatkan spatial pre sat di atas bagian anatomi yg menghasilkan sinyal.







http://www.mritutor.org/mritutor/images/alias2.jpg


 








Gambar 2.22  Artefak Aliasing
(www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008)
c.      Artefak Edy Curent
Gejala Eddy  Curent dapat menyebabkan artifak dalam gambar yang serius dan dapat menurunkan keseluruhan kinerja magnet. Distorsi gambar terlihat pada seluruh slice. Karakteristik artefak ini berupa daerah hitam dengan bintik-bintik terang dengan keseluruhan kualitas gambar yang buruk.









Gambar 2.23   Artefak Edy Curent
(www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008)
d.      Artefak Central Point
Artifak Central Point merupakan titik fokus peningkatan sinyal di pusat gambar.. Hal ini disebabkan oleh Selisih dari tegangan DC di  reciever. Setelah transformasi Fourier, Selisih ini memberikan titik terang di tengah gambar .


 










Gambar 2.24  artefak Central Point (www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008)
  1. Faktor luar.
Faktor luar yang sering menyebabkan artefak yaitu terjadinya kerusakan pada sangkar farady sehingga gangguan frekuensi dari luar bisa masuk.
F.      Pemeriksaan MRI  Thorakal
Supaya pemeriksaan MRI Thorakal optimal perlu diperhatikan parameter-parameter yaitu
  1. Signal to noise ratio (SNR)
SNR adalah perbandingan antara besarnya amplitudo sinyal  dengan besarnya amplitudo noise dalam gambar MRI. Noise bisa disebabkan oleh sistem komponen MRI dan juga dari pasien. Semakin besar sinyal yang dihasilkan akan semakin meningkatkan SNR (Westbrook, 1999)
SNR dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu densitas proton dari daerah yang diperiksa, voxel volume, TR, TE, dan flip angle, NEX, receive bandwidth, dan koil.
  1. Contrast to noise ratio (CNR)
Contrast to noise ratio adalah perbedaan SNR antara organ yang saling berdekatan. CNR yang baik dapat menunjukkan perbedaan daerah patologis dan daerah sehat ( Westbrook, 1999 ).
Untuk meningkatkan CNR dapat dilakukan dengan cara :
a.      Menggunakan kontras media.
b.      Menggunakan T2 weighting.
c.      Menghilangkan gambaran jaringan yang tidak dibutuhkan dengan spectral    pre-saturation.
  1. Scan time
Waktu scanning dipengaruhi oleh TR (time repetition), jumlah phase encoding, dan NEX (Westbrook, 1999). Untuk mengurangi waktu scan time dilakukan dengan cara:
a.      Pemilihan TR .
Pada pulse sequence spin echo, SNR yang dihasilkan akan lebih baik karena menggunakan flip angle 90 derajat sehingga magnetisasi Longitudinal menjadi magnetisasi transversal  dibandingkan dengan gardient echo yang flip anglenya kurang dari 90 derajat. Flip angle berpengaruh terhadap jumlah magnetisasi transversal.
TR merupakan parameter yang mengontrol jumlah magnetisasi longitudinal yang recovery sebelum RF pulse berikutnya. TR yang panjang memungkinkan full recovery sehingga lebih banyak yang akan mengalami magnetisasi transversal pada RF pulse berikutnya. TR yang panjang akan meningkatkan SNR dan TR yang pendek akan menurunkan SNR.
Secara matematis, TR mempunyai hubungan searah dengan waktu scanning. Semakin panjang TR yang digunakan maka semakin lama waktu scanning. Untuk pemeriksaan MRI secara umum, hubungan antara waktu pencitraan dengan parameter lain dijelaskan melalui persamaan  :



        
Waktu pencitraan  =  TR  X  N phase  X   NEX

 
 




TR adalah waktu pengulangan pulsa,
N phase merupakan jumlah fase enkoding per step, dan
NEX menyatakan  berapa kali data dicatat selama akuisisi.
(Westbrook, 1998)
b.      Pemilihan Matriks
Matriks adalah jumlah elemen gambar (piksel) dalam satu FOV (field of view). Ukuran matriks ditentukan oleh dua sisi gambar, yaitu sisi yang berhubungan dengan jumlah sampel frekuensi yang diambil, dan sisi yang berhubungan dengan fase enkoding yang dibentuk. Misalnya matrik 256 x 192, ini berarti bahwa ada 256 sampel frekuensi yang diambil selama readout dan sebanyak 192 fase enkoding yang dibentuk. Banyaknya sampel frekuensi dan fase enkoding menentukan banyaknya piksel dalam FOV. Matriks kasar memiliki sedikit piksel dalam FOV, sedangkan matriks halus berarti banyak piksel dalam FOV (Westbrook, 1998)
c.      NEX sekecil mungkin
                 NEX (Number of Excitation)
NEX (Number of Excitation) merupakan angka yang menunjukkan berapa kali data diperoleh/dicatat selama scanning.
NEX adalah nilai yang menunjukkan jumlah pengulangan pencatatan data selama akuisisi dengan amplitudo dan fase enkoding yang sama. NEX mengontrol sejumlah data yang masing-masing disimpan dalam lajur K space. Data tersebut terdiri dari sinyal dan derau (noise). Data tersebut terdiri dari sinyal dan derau. K space merupakan area frekuensi spasial dimana sinyal berupa frekuensi yang berasal dari pasien akan disimpan. (Westbrook, 1998). Sinonim NEX adalah NSA, Nacq = NA (number of acquisition) atau average.
NEX adalah cara yang umum digunakan dalam meningkatkan SNR (signal to noise ratio). Peningkatan NEX berati akan menambah sinyal secara linier tetapi deraunya acak,  sehingga menambah NEX sebesar 2 kali hanya akan menambah SNR sebesar √2 kali, atau SNR =  √ NEX


 







Gambar 2.25 Grafik peningkatan NEX teradap SNR  (Westbrook, 1998)
  1. Penanganan  Artefak
a.       Kompensasi Respiratori
 Kompensasi respiratori (RC) mengurangi phase missmaping dari gerakan permukaan dada sepanjang gradien phase encoding selama akuisisi data. Diusahakan ditempatkan disekitar area pernafasan di bawah melingkari dada pasien. Gerakan udara ke belakang dan seterusnya selama inspirasi dan ekspirasi dirubah ke waveforms (gelombang sinusoidial) dengan transduser.
Gambar 2.26  Respiratory Gating ( Panti Rapih, 2008 )
Gambar 2.27  Pengambilan slice pada Respiratory Cycle ( Instruction Manual Hitachi, 2004)

Sistem kemudian membentuk phase gradien encode lereng curam ketika gerakan maksimum permukaan dada  dan sebaliknya gradien membentuk lereng yang dangkal untuk gerakan minimum permukaan dada. Dalam hal ini signal diakuisisi ketika permukaan dada sedang bergerak dan kemudian phase ghosting (artefak ghosting) dikurangi. Bentuk lain kompensasi gerakan respirasi disebut respiratori trigering dimana menurut Soto et al (2003) penggunaan respiratory triggered 3D maximum intensity projection fast spin echo teknik. Dengan cara yang sama gating diakuisisi dari data gate ke respiratori. Teknik ini kadang-kadang tidak efisien karena phase berulang, tetapi mempunyai keuntungan karena phase yang berulang sesuai, seperti FSE (Westbrook, 1999).
b.      Gating kardiac
Gating kardiac menggunakan sinyal  listrik, dengan mendeteksi dada pasien pada trigger pada setiap eksitasi pulse RF. Dengan cara ini tiap image selalu diakuisisi pada phase yang sama dari siklus kardiac, sehingga phase missmaping dari kardiac dikurangi. Penempatan lead sangat penting untuk mengoptimisasi kualitas image (Westbrook, 1999).

Gambar 2.28  Gating kardiac ( Panti Rapih, 2008 )


Gambar 2.29  Pengambilan slice pada  Gating Cardiac ( Instruction Manual Hitachi, 2004)
 Lead mempunyai warna yang berbeda untuk memudahkan penggunaannya. Beberapa sistem ada juga yang menggunakan tiga lead, tetapi prinsipnya sama dalam penempatanya, dapat di letakkan di anterior atau posterior tetapi lebih mudah anterior karena biasanya untuk menemukan landmark (Westbrook, 1999).
a.      Lead  hitam        : Kiri atas dada di bawah klavikula
b.      Lead  putih         : Midline pada superior sternum
c.      Lead merah        : Pada space intercostal inferior ke kiri  puting susu
d.  Lead hijau       : Kanan berdekatan dengan lead merah tetapi   tidak sampai bersentuhan dengan lead merah.
Lead hitam mungkin dihilangkan jika dalam sistem tidak tersedia. Ketika lead terpasang dan masuk ke dalam sistem, cek gambaran pada EKG. Gambaran mungkin bervariasi sesuai rata-rata ritme dan out put kardiac.

Gambar 2.30  Pemasangan cardiac gating ( Instruction Manual Hitachi, 2004)
  1. Peripheral gating
Peripheral gating (gating Pe) menggunakan sensor photo yang dilekatkan pada jari biasanya pada jempol untuk mendeteksi peningkatan volume kapiler selama sistol yang akan mempengaruhi jumlah cahaya ke sensor dan menghasilkan dalam bentuk gelombang (Westbrook, 1999).

Gambar 2.31 Pulsa Gating ( Panti Rapih, 2008 )

Gambar 2.32   Pemasangan Pulsa Gating ( Instruction Manual Hitachi, 2004)


Gambar 2.33  Pengambilan Slice pada Pulsa Gating ( Instruction Manual Hitachi, 2004)

Gelombang gating Pe tidak mempunyai karakteristik seperti EKG tetapi puncak gelombang pada R-wave sekitar 250 ms yang ditampilkan di monitor.
 










Gambar 2.34  Gambar Artefak pada penggunaan Pulsa Gating ( Panti Rapih, 2008 )
  1. Presaturation
Pre sat akan menolkan sinyal dari nuklei yang menghasilkan artefak dengan aplikasi RF 90 pada jaringan  yang dipilih sebelum pulse sequence dimulai.


 










Gambar 2.35 Gambar Artefak pada penggunaan Presaturation ( Panti Rapih, 2008 )
Gambar 2.36  Pre sat out side dan inside ( Instruction Manual Hitachi, 2004 )
 
 Magnetic moment nuklei  tersebut akan dinversi 180 oleh excitation pulse dan tidak menghasilkan sinyal. Presaturation dapat dilakukan dengan presesional frekuensi tertentu seperti fat dan water untuk menolkan sinyal dari fat dan water tersebut. Yang biasa disebut dengan chemical /spectral pre saturation.
     










Gambar 2.37  Gambar pemakaian  Pre Saturation ( Panti Rapih, 2008 )

No comments:

Post a Comment