RADIOBIOLOGI 4
Pendekatan LQ untuk fraksinasi (rbio04)
Kurva survival
sel LQ dapat digunakan untuk menentukan hubungan antara dosis total isoefektif
dengan dosis per fraksi.
Dosis total isoefektif atau dosis toleransi diukur
sebagai fungsi dosis per fraksi, diperoleh kurva isoefek jaringan dengan
respons lambat (contoh: ginjal) lebih curam dibanding dengan kuva isoefek
jaringan dengan respons dini (contoh: kulit).
Kurva garis penuh dikalkulasi berdasarkan persamaan model
LQ:
Kurva dengan garis putus-putus mengikuti persamaan
NSD
Total dose = NSD N0.24
T0.11
Perhatikan bahwa hanya sebagian kurva isoefek LQ
yang cocok dengan kurva isoefek NSD.
Hasil eksperimen klinis maupun laboratorium
menunjukkan terdapat respons terhadap perubahan fraksinasi berbeda antara jaringan
dengan respons dini dan respons akut. Bila dosis per fraksi tinggi dan jumlah
fraksi rendah, jaringan dengan reaksi lambat menderita lebih berat dibanding
dengan jaringan dengan reaksi dini. Perbedaan ini diakibatkan oleh kemampuan
perbaikan yang direpresentasikan oleh bahu kurva survival. Kurva survival untuk
jaringan respons lambat lebih melengkung dibanding dengan kurva untuk jaringan
respons dini. Dengan demikian harga a/b kedua kurva menjadi
berbeda. Rasio a/b adalah dosis yang
mengakibatkan pembunuhan sel akibat dosis linear sama dengan akibat dosis
kuadratik.
Untuk reaksi dini, a/b tinggi sebagai konsekuensi dominasi a tinggi pada
dosis rendah, sehingga kurva melengkung setelah mencapai dosis relatif tinggi. Komponen linear dan
kuadratik dalam pembunuhan sel sama pada sekitar dosis 10 Gy. Untuk reaksi
lambat, kurva melengkung pada dosis rendah, komponen dosis linear dan dosis
kuadratik mempunyai harga sama pada dosis rendah, sehingga harga a/b kecil, sekitar 2 Gy.
Kurva survival untuk organ berbeda dengan kurva
untuk koloni sel. Fungsi organ tergantung pada proporsi sel fungsional yang
tersisa bila organ diradiasi pada suatu saat tertentu dibanding dengan proporsi
koloni sel stem. Kurva survival koloni sel lebih lurus dibanding dengan kurva survival
organ yang lebih kurvatur dan mempunyai bahu lebih lebar. Dengan sendirinya
kurva survival untuk fungsi organ lebih sesuai untuk representasi toleransi
jaringan normal.
Fraksi survival (SF) target sel setelah menerima dosis satu fraksi
mengikuti hubungan berikut.
SF = exp (-ad - bd2)
Fraksi survival
tiap fraksi sama, sehingga fraksi survival untuk n fraksi menjadi
SF = exp (-ad - bd2)n
Efek (E) akibat
radiasi n fraksi
E = - ln (SF)n = - n
ln (SF)
= n (ad + bd2) = D (a + bd)
Persamaan di atas dapat diatur menjadi berbagai bentuk sebagai berikut:
1/D = (a/E) + (b/E) d
1/n = (a/E)d + (b/E) d2
D = (E/a)/[1 + d/(a/b)]
D2/D1 = (d1
+ a/b)/(d2 + a/b)
Dari hasil eksperimen dibuat kurva antara suatu
kerusakan fungsi ginjal sebagai fungsi dosis total yang diberikan dalam 1 -64
fraksi. Dengan menggunakan
persamaan di atas harga a/b dapat ditentukan.
Hubungan antara 1/D dengan dosis per fraksi d adalah linear dengan kemiringan b/E. Titik potong dengan sumbu vertikal pada harga a/E, dan titik potong dengan sumbu horisontal terjadi pada harga d = - a/b. Kontribusi a dan b pada harga rasio a/b dapat diperoleh dari harga a/E (harga 1/D pada saat d = 0) dan harga kemiringan b/E.
Untuk jaringan dengan respon akut, yang kerusakannya
dalam jangkauan hari sampai minggu, harga a/b berkisar di daerah 7 – 20 Gy, sedangkan
untuk jaringan dengan respons lambat yang kerusakannya terjadi dalam jangkauan
bulan atau tahunan setelah menerima radiasi, harga a/b berada dalam daerah 0.5 – 6 Gy. Harga a/b tidak konstan, dalam
penggunaannya harus dipilih hati-hati agar sesuai dengan jaringan organ yang
dimaksud.
Respons fraksinasi tumor kandungan oksigen cukup
dianggap sama dengan jaringan normal dengan respons akut, seringkali dengan
harga a/b tinggi.
Penurunan LQ berdasarkan formula isoefek
Dengan model LQ dapat diperoleh berbagai cara untuk
kalkulasi isoefek yang berhubungan dengan radioterapi, kesemuanya berdasarkan
asumsi yang sama. Dua formulasi dikenalkan oleh Barendsen (1982), konsep
Extrapolated Tolerance Dose (ETD), dan oleh Thames
dan Hendry (1987) dengan konsep Total Effect (TE). Fowler (1989) memberikan
konsep lain yang identik dengan ETD, yakni Biologically Effective Dose (BED).
Kalkulasi ETD digunakan untuk efek toleransi penuh, sedangkan BED lebih fleksibel
dapat digunakan untuk kalkulasi derajat efek di bawah toleransi jaringan
normal.
Formula ini untuk menentukan jangkauan perencanaan
fraksinasi yang isoefektif. Pertama kali ditentukan efek akhir telebih dahulu.
Anggapan khusus dalam LQ adalah adanya hubungan langsung antara suatu isoefek
dengan derajat tertentu, inaktivasi sel atau fraksi survival sel (SF).
Efek (E) = - ln(SF) = D(a + bd)
E/a = D [1 + d/(a/b)] = nd [1 + d/(a/b)] = BED
BED -Biological Effective Dose
BED merupakan suatu besaran dengan satuan dosis Gy
yang dapat digunakan untuk inter komparasi antar berbagai aturan fraksinasi
yang berbeda-beda. Suatu aturan/teknik perlakuan dapat dibandingkan dengan
aturan perlakuan referensi dengan mengikuti persamaan berikut:
Dr= dosis total acuan, Dx= dosis
total baru dengan fraksinasi berbeda, dr = dosis fraksinasi acuan, dx = dosis
fraksinasi yang baru.
Sebagai contoh, andaikan suatu perlakuan dengan dosis
total 50 Gy diberikan dalam 25 fraksi akan memberikan suatu efek biologi
tertentu. Bila perlakuan menggunakan 4 Gray per fraksi, berapa dosis total yang
harus diberikan untuk memperoleh efek biologi sama dengan pada perlakuan acuan.
Dengan menggunakan formula di atas diperoleh :
Dx = 50 Gy = 39 Gy.
Selain untuk inter komparasi antar aturan perlakuan. harga
BED dapat dinyatakan untuk perlakuan parsial, sehingga beberapa BED perlakuan
yang terpisah dapat dijumlahkan untuk memperoleh harga BED total.
Besaran lain yang juga berguna adalah standard
effective dose (SED). Besaran ini mirip dengan BED tetapi dengan dosis 2 Gy per
fraksi, sehingga dengan mengambil nilai d = 2 Gy diperoleh nilai SED dapat
diperoleh dari persamaan berikut:
α BED = nd (α + βd)
α SED = n2 (α + 2β)
Perhatikan bahwa nd = 2 n yang nilainya sama dengan
dosis total
SED selalu lebih kecil dari BED (karena pemberian 2
Gy/ fraksi lebih efektive dibanding dengan dosis sama dengan fraksi sangat
rendah), dan lebih besar dari nd bila d > 2 Gy dan lebih kecil dari nd bila
d < 2 Gy. Nilai SED ini penting karena dosis 2 Gy merupakan ukuran fraksi
yang digunakan sebagai referensi untuk rencana dengan fraksinasi lain yang
ekuivalen. Perhatikan bahwa nilai rasio antara SED dengan BED independent
terhadap dosis dan konstan untuk harga α/β tertentu. Artinya bila BED konstan
dengan suatu perubahan perencanaan fraksinasi, demikian pula dengan SED. Untuk
dokter nilai SED ini memberikan suatu gambaran atau perkiraan efek relatif terhadap
regime fraksinasi standar yang telah diketahui.
Jaringan yang diharapkan memperoleh efek konstan dapat
tumor ataupun jaringan sehat, yang masing-masing mempunyai nilai α/β
berbeda-beda. Dengan demikian apabila rencana fraksinasi isoefek dikalkulasi
apakah untuk jaringan tumor atau jaringan sehat, hanya struktur yang terkait
yang akan mengalami efek biologi sama. Oleh karenanya harus dipastikan bahwa
efek untuk keduanya masih dapat diterima secara klinis.
Ada pula besaran lain yang penting, yakni
relative effectiveness (RE) dan standard relative effectiveness (SRE). Kedua
nilai dipakai untuk menyatakan kefektifan suatu rencana fraksinasi dibandingkan
dengan bila menggunakan fraksinasi dosis sangat kecil atau 2 Gy. Secara khusus
merupakan rasio antara dosis yang dibutuhkan dalam fraksinasi dosis 0 atau 2 Gy
yang memberikan efek sama dengan skema yang diberikan (BED atau SED) atau
dengan dosis yang sebenarnya.
RE = =
SRE = =
Tampak nilai SRE akan meningkat dengan kenaikan
SED, yakni bila dosis yang lebih tinggi dalam fraksinasi dosis 2 Gy dibutuhkan
untuk memperoleh efek sama, yang tentunya akan mempunyai nilai lebih tinggi
dari 1 bila d > 2 Gy.
Formulasi TE (Total Effect) mempunyai konsep sama,
dalam hal ini E dibagi dengan b untuk memperoleh harga TE.
TE = E/b = D (a/b +d)
Unit TE adalah Gy2 yang membuat kurang menyenangkan dalam
perhitungan dibanding dengan BED. Hubungan antara TE dan BED sebagai berikut.
TE = (a/b) x BED
Bila multifraksi per hari digunakan, perbaikan
(penyembuhan) kerusakan akibat satu dosis radiasi kemungkinan tidak komplet
sebelum dosis radiasi berikutnya diberikan, terutama bila waktu paroh untuk
perbaikan (T1/2) relatif panjang terhadap waktu interval antar
fraksi. Perbaikan tidak komplet cenderung mengurangi dosis isoefek dan koreksi
harus diberikan sebagai konsekuensi kehilangan toleransi. Penggunaan model
perbaikan tidak komplet (incomplete repair model) dikenalkan oleh Thames and
Hendry, 1987. Harga perbaikan kerusakan yang tidak diperbaiki dinyatakan
sebagai fungsi Hm yang tergantung pada jumlah fraksi per hari (m),
waktu interval antar fraksi, dan waktu paroh perbaikan.
BED = D[1 + d/(a/b) + Hm d/(a/b)]
(untuk fraksinasi radioterapi)
Harga Hm dapat dilihat dalam Tabel yang dibuat oleh Thames dan
Hendry (1987).
Untuk radioterapi yang kontinu, HDR (high dose
rate) tidak memberi kesempatan perbaikan selama perlakuan radioterapi, tidak
seperti LDR (low dose rate) dengan dosis kurang dari 5 cGy/jam. Bila laju dosis
rendah, waktu perlakuan menjadi relatif lama, induksi kerusakan dikurangi oleh
perbaikan, sehingga meningkatkan dosis isoefektif. Harga BED berkaitan dengan
faktor g untuk perbaikan tidak komplet menjadi sebagai berikut:
BED = D[1 + D.g/(a/b)]
(untuk radioterapi kontinu dengan
laju dosis rendah)
Efek keseluruhan waktu total pada toleransi
jaringan normal tergantung pada laju proliferasi sel target dalam jaringan yang
dimaksud. Efek tinggi terjadi pada jaringan dengan laju proliferasi cepat
(jaringan dengan respons dini), dan mungkin tidak ada efek pada jaringan dengan
pergantian sel lambat (jaringan dengan respons lambat). Sementara ini belum ada
konsensus koreksi untuk keseluruhan waktu total.
Contoh Soal
1. Direncanakan perlakuan
kanker pada daerah kepala dan leher dengan dosis 70 Gy dalam 35 fraksi. Karena
kesalahan perhitungan 6 fraksi pertama diberikan dengan dosis 4 Gy/fraksi.
Selanjutnya perlakuan diteruskan dengan dosis 2 Gy/fraksi. Berapa fraksi dengan
dosis 2 Gy/fraksi yang harus diberikan agar memperoleh efek fibrosis sama
seperti yang direncanakan. Diketahui
a/b untuk
fibrosis lanjut = 3.5 Gy.
2. Perlakuan untuk kanker
lidah dengan stadium T2 (3.5 cm). Direncanakan perlakuan terdiri
dari 2 bagian: radiasi eksternal 50 Gy dalam 25 fraksi, kemudian dilanjutkan
dengan implantasi interstitial dengan dosis 30 Gy dalam 3 hari. Bila perlakuan
total diberikan dalam 2 Gy/fraksi, berapa dosis ekuivalen biologi untuk
fibrosis lanjut. Gunakan a/b = 3.5 Gy, T1/2
= 1.0 jam, faktor g (3 hari) = 0.04.
3. Perlakuan melanoma dengan
radiasi selektif pada daerah nodal. Direncanakan perlakuan 5 fraksi dengan 6 Gy/fraksi dan 2
fraksi/minggu. Setelah 1 fraksi diberikan, diketahui radiasi tunggal dengan
dosis 12 Gy telah diberikan. Diputuskan untuk memberi perlakuan dengan 5
fraksi. Tentukan ukuran fraksi yang harus diberikan untuk memenuhi sisa 4
fraksi. Evaluasi apakah ada
risiko kerusakan pada spinal cord.
Model LQ dengan faktor proliferasi tumor.
Bila populassi sel tumbuh secara eksponensial
dengan koefesien waktu γ, persamaan survival menjadi:
S = exp (-nd (α + βd) +γT)
Bila dengan dosis 0 atau tidak diberi radiasi populasi
sel dua kali lipat dalam waktu Tp, dengan mengambil S sama dengan 2
dan T = Tp diperoleh γ = ln2/Tp . Bila populasi tidak mulai aktif proliferasi
sampai suatu waktu Tk (waktu untuk kickoff) setelah perlakuan
dimulai, maka diperoleh
dan efektiveness menjadi
E = - ln S =
kok kagak da gambar kurvanya
ReplyDelete