Wednesday, 25 January 2012


RADIOBIOLOGI 4

Pendekatan LQ untuk fraksinasi (rbio04)

Kurva survival sel LQ dapat digunakan untuk menentukan hubungan antara dosis total isoefektif dengan dosis per fraksi.
Dosis total isoefektif atau dosis toleransi diukur sebagai fungsi dosis per fraksi, diperoleh kurva isoefek jaringan dengan respons lambat (contoh: ginjal) lebih curam dibanding dengan kuva isoefek jaringan dengan respons dini (contoh: kulit).

 

Kurva garis penuh dikalkulasi berdasarkan persamaan model LQ:


Kurva dengan garis putus-putus mengikuti persamaan NSD

Total dose = NSD N0.24 T0.11

Perhatikan bahwa hanya sebagian kurva isoefek LQ yang cocok dengan kurva isoefek NSD.

Hasil eksperimen klinis maupun laboratorium menunjukkan terdapat respons terhadap perubahan fraksinasi berbeda antara jaringan dengan respons dini dan respons akut. Bila dosis per fraksi tinggi dan jumlah fraksi rendah, jaringan dengan reaksi lambat menderita lebih berat dibanding dengan jaringan dengan reaksi dini. Perbedaan ini diakibatkan oleh kemampuan perbaikan yang direpresentasikan oleh bahu kurva survival. Kurva survival untuk jaringan respons lambat lebih melengkung dibanding dengan kurva untuk jaringan respons dini. Dengan demikian harga a/b kedua kurva menjadi berbeda. Rasio a/b adalah dosis yang mengakibatkan pembunuhan sel akibat dosis linear sama dengan akibat dosis kuadratik.


Untuk reaksi dini, a/b tinggi sebagai konsekuensi dominasi a tinggi pada dosis rendah, sehingga kurva melengkung setelah mencapai dosis relatif tinggi. Komponen linear dan kuadratik dalam pembunuhan sel sama pada sekitar dosis 10 Gy. Untuk reaksi lambat, kurva melengkung pada dosis rendah, komponen dosis linear dan dosis kuadratik mempunyai harga sama pada dosis rendah, sehingga harga a/b kecil, sekitar 2 Gy.

Kurva survival untuk organ berbeda dengan kurva untuk koloni sel. Fungsi organ tergantung pada proporsi sel fungsional yang tersisa bila organ diradiasi pada suatu saat tertentu dibanding dengan proporsi koloni sel stem. Kurva survival koloni sel lebih lurus dibanding dengan kurva survival organ yang lebih kurvatur dan mempunyai bahu lebih lebar. Dengan sendirinya kurva survival untuk fungsi organ lebih sesuai untuk representasi toleransi jaringan normal.

Fraksi survival (SF) target sel setelah menerima dosis satu fraksi mengikuti hubungan berikut.
SF = exp (-ad - bd2)
Fraksi survival tiap fraksi sama, sehingga fraksi survival untuk n fraksi menjadi

SF = exp (-ad - bd2)n

Efek (E) akibat radiasi n fraksi

E = - ln (SF)n = - n ln (SF)
= n (ad + bd2) = D (a + bd)

Persamaan di atas dapat diatur menjadi berbagai bentuk sebagai berikut:

1/D = (a/E) + (b/E) d
1/n = (a/E)d + (b/E) d2
D = (E/a)/[1 + d/(a/b)]
D2/D1 = (d1 + a/b)/(d2 + a/b)

Dari hasil eksperimen dibuat kurva antara suatu kerusakan fungsi ginjal sebagai fungsi dosis total yang diberikan dalam 1 -64 fraksi. Dengan menggunakan persamaan di atas harga a/b dapat ditentukan.




Hubungan antara 1/D dengan dosis per fraksi d adalah linear dengan kemiringan b/E. Titik potong dengan sumbu vertikal pada harga a/E, dan titik potong dengan sumbu horisontal terjadi pada harga d = - a/b. Kontribusi a dan b pada harga rasio a/b dapat diperoleh dari harga a/E (harga 1/D pada saat d = 0) dan harga kemiringan b/E.

Untuk jaringan dengan respon akut, yang kerusakannya dalam jangkauan hari sampai minggu, harga a/b berkisar di daerah 7 – 20 Gy, sedangkan untuk jaringan dengan respons lambat yang kerusakannya terjadi dalam jangkauan bulan atau tahunan setelah menerima radiasi, harga a/b berada dalam daerah 0.5 – 6 Gy. Harga a/b tidak konstan, dalam penggunaannya harus dipilih hati-hati agar sesuai dengan jaringan organ yang dimaksud.

Respons fraksinasi tumor kandungan oksigen cukup dianggap sama dengan jaringan normal dengan respons akut, seringkali dengan harga a/b tinggi. 


Penurunan LQ berdasarkan formula isoefek
Dengan model LQ dapat diperoleh berbagai cara untuk kalkulasi isoefek yang berhubungan dengan radioterapi, kesemuanya berdasarkan asumsi yang sama. Dua formulasi dikenalkan oleh Barendsen (1982), konsep Extrapolated Tolerance Dose (ETD), dan oleh Thames dan Hendry (1987) dengan konsep Total Effect (TE). Fowler (1989) memberikan konsep lain yang identik dengan ETD, yakni Biologically Effective Dose (BED). Kalkulasi ETD digunakan untuk efek toleransi penuh, sedangkan BED lebih fleksibel dapat digunakan untuk kalkulasi derajat efek di bawah toleransi jaringan normal.

Formula ini untuk menentukan jangkauan perencanaan fraksinasi yang isoefektif. Pertama kali ditentukan efek akhir telebih dahulu. Anggapan khusus dalam LQ adalah adanya hubungan langsung antara suatu isoefek dengan derajat tertentu, inaktivasi sel atau fraksi survival sel (SF).

Efek (E) = - ln(SF) = D(a + bd)
E/a = D [1 + d/(a/b)] = nd [1 + d/(a/b)] = BED

BED -Biological Effective Dose

BED merupakan suatu besaran dengan satuan dosis Gy yang dapat digunakan untuk inter komparasi antar berbagai aturan fraksinasi yang berbeda-beda. Suatu aturan/teknik perlakuan dapat dibandingkan dengan aturan perlakuan referensi dengan mengikuti persamaan berikut:


Dr= dosis total acuan, Dx= dosis total baru dengan fraksinasi berbeda, dr = dosis fraksinasi acuan, dx = dosis fraksinasi yang baru.

Sebagai contoh, andaikan suatu perlakuan dengan dosis total 50 Gy diberikan dalam 25 fraksi akan memberikan suatu efek biologi tertentu. Bila perlakuan menggunakan 4 Gray per fraksi, berapa dosis total yang harus diberikan untuk memperoleh efek biologi sama dengan pada perlakuan acuan.

Dengan menggunakan formula di atas diperoleh :
 

Dx = 50 Gy  = 39 Gy.

Selain untuk inter komparasi antar aturan perlakuan. harga BED dapat dinyatakan untuk perlakuan parsial, sehingga beberapa BED perlakuan yang terpisah dapat dijumlahkan untuk memperoleh harga BED total.

Besaran lain yang juga berguna adalah standard effective dose (SED). Besaran ini mirip dengan BED tetapi dengan dosis 2 Gy per fraksi, sehingga dengan mengambil nilai d = 2 Gy diperoleh nilai SED dapat diperoleh dari persamaan berikut:
α BED = nd (α + βd)
α SED = n2 (α + 2β)

Perhatikan bahwa nd = 2 n yang nilainya sama dengan dosis total



SED selalu lebih kecil dari BED (karena pemberian 2 Gy/ fraksi lebih efektive dibanding dengan dosis sama dengan fraksi sangat rendah), dan lebih besar dari nd bila d > 2 Gy dan lebih kecil dari nd bila d < 2 Gy. Nilai SED ini penting karena dosis 2 Gy merupakan ukuran fraksi yang digunakan sebagai referensi untuk rencana dengan fraksinasi lain yang ekuivalen. Perhatikan bahwa nilai rasio antara SED dengan BED independent terhadap dosis dan konstan untuk harga α/β tertentu. Artinya bila BED konstan dengan suatu perubahan perencanaan fraksinasi, demikian pula dengan SED. Untuk dokter nilai SED ini memberikan suatu gambaran atau perkiraan efek relatif terhadap regime fraksinasi standar yang telah diketahui.

Jaringan yang diharapkan memperoleh efek konstan dapat tumor ataupun jaringan sehat, yang masing-masing mempunyai nilai α/β berbeda-beda. Dengan demikian apabila rencana fraksinasi isoefek dikalkulasi apakah untuk jaringan tumor atau jaringan sehat, hanya struktur yang terkait yang akan mengalami efek biologi sama. Oleh karenanya harus dipastikan bahwa efek untuk keduanya masih dapat diterima secara klinis. 

Ada pula besaran lain yang penting, yakni relative effectiveness (RE) dan standard relative effectiveness (SRE). Kedua nilai dipakai untuk menyatakan kefektifan suatu rencana fraksinasi dibandingkan dengan bila menggunakan fraksinasi dosis sangat kecil atau 2 Gy. Secara khusus merupakan rasio antara dosis yang dibutuhkan dalam fraksinasi dosis 0 atau 2 Gy yang memberikan efek sama dengan skema yang diberikan (BED atau SED) atau dengan dosis yang sebenarnya.

RE =  =

SRE = =


Tampak nilai SRE akan meningkat dengan kenaikan SED, yakni bila dosis yang lebih tinggi dalam fraksinasi dosis 2 Gy dibutuhkan untuk memperoleh efek sama, yang tentunya akan mempunyai nilai lebih tinggi dari 1 bila d > 2 Gy.

Formulasi TE (Total Effect) mempunyai konsep sama, dalam hal ini E dibagi dengan b untuk memperoleh harga TE.
TE = E/b = D (a/b +d)
Unit TE adalah Gy2 yang membuat kurang menyenangkan dalam perhitungan dibanding dengan BED. Hubungan antara TE dan BED sebagai berikut.
TE = (a/b) x BED
Bila multifraksi per hari digunakan, perbaikan (penyembuhan) kerusakan akibat satu dosis radiasi kemungkinan tidak komplet sebelum dosis radiasi berikutnya diberikan, terutama bila waktu paroh untuk perbaikan (T1/2) relatif panjang terhadap waktu interval antar fraksi. Perbaikan tidak komplet cenderung mengurangi dosis isoefek dan koreksi harus diberikan sebagai konsekuensi kehilangan toleransi. Penggunaan model perbaikan tidak komplet (incomplete repair model) dikenalkan oleh Thames and Hendry, 1987. Harga perbaikan kerusakan yang tidak diperbaiki dinyatakan sebagai fungsi Hm yang tergantung pada jumlah fraksi per hari (m), waktu interval antar fraksi, dan waktu paroh perbaikan.
BED = D[1 + d/(a/b) + Hm d/(a/b)]
(untuk fraksinasi radioterapi)
Harga Hm dapat dilihat dalam Tabel yang dibuat oleh Thames dan Hendry (1987).

Untuk radioterapi yang kontinu, HDR (high dose rate) tidak memberi kesempatan perbaikan selama perlakuan radioterapi, tidak seperti LDR (low dose rate) dengan dosis kurang dari 5 cGy/jam. Bila laju dosis rendah, waktu perlakuan menjadi relatif lama, induksi kerusakan dikurangi oleh perbaikan, sehingga meningkatkan dosis isoefektif. Harga BED berkaitan dengan faktor g untuk perbaikan tidak komplet menjadi sebagai berikut:
BED = D[1 + D.g/(a/b)]
(untuk radioterapi kontinu dengan laju dosis rendah)
Efek keseluruhan waktu total pada toleransi jaringan normal tergantung pada laju proliferasi sel target dalam jaringan yang dimaksud. Efek tinggi terjadi pada jaringan dengan laju proliferasi cepat (jaringan dengan respons dini), dan mungkin tidak ada efek pada jaringan dengan pergantian sel lambat (jaringan dengan respons lambat). Sementara ini belum ada konsensus koreksi untuk keseluruhan waktu total.
Contoh Soal
1.    Direncanakan perlakuan kanker pada daerah kepala dan leher dengan dosis 70 Gy dalam 35 fraksi. Karena kesalahan perhitungan 6 fraksi pertama diberikan dengan dosis 4 Gy/fraksi. Selanjutnya perlakuan diteruskan dengan dosis 2 Gy/fraksi. Berapa fraksi dengan dosis 2 Gy/fraksi yang harus diberikan agar memperoleh efek fibrosis sama seperti yang direncanakan. Diketahui a/b untuk fibrosis lanjut = 3.5 Gy.
2.    Perlakuan untuk kanker lidah dengan stadium T2 (3.5 cm). Direncanakan perlakuan terdiri dari 2 bagian: radiasi eksternal 50 Gy dalam 25 fraksi, kemudian dilanjutkan dengan implantasi interstitial dengan dosis 30 Gy dalam 3 hari. Bila perlakuan total diberikan dalam 2 Gy/fraksi, berapa dosis ekuivalen biologi untuk fibrosis lanjut. Gunakan a/b = 3.5 Gy, T1/2 = 1.0 jam, faktor g (3 hari) = 0.04.
3.    Perlakuan melanoma dengan radiasi selektif pada daerah nodal. Direncanakan perlakuan 5 fraksi dengan 6 Gy/fraksi dan 2 fraksi/minggu. Setelah 1 fraksi diberikan, diketahui radiasi tunggal dengan dosis 12 Gy telah diberikan. Diputuskan untuk memberi perlakuan dengan 5 fraksi. Tentukan ukuran fraksi yang harus diberikan untuk memenuhi sisa 4 fraksi. Evaluasi apakah ada risiko kerusakan pada spinal cord.




Model LQ dengan faktor proliferasi tumor.

Bila populassi sel tumbuh secara eksponensial dengan koefesien waktu γ, persamaan survival menjadi:
S = exp (-nd (α + βd) +γT)

Bila dengan dosis 0 atau tidak diberi radiasi populasi sel dua kali lipat dalam waktu Tp, dengan mengambil S sama dengan 2 dan T = Tp diperoleh γ = ln2/Tp . Bila populasi tidak mulai aktif proliferasi sampai suatu waktu Tk (waktu untuk kickoff) setelah perlakuan dimulai, maka diperoleh


dan efektiveness menjadi
E = - ln S =

1 comment: