APLIKASI NUKLIR DI BIDANG KESEHATAN
1. Pendahuluan
Asal-mula fisika nuklir terikat pada fisika atom, teori relativitas,
dan teori kuantum dalam permulaan abad kedua-puluh. Kemajuan awal utama
meliputi penemuan radioaktivitas (1898), penemuan inti atom dengan
menginterpretasikan hasil hamburan partikel alfa (1911), identifikasi
isotop dan isobar (1911), pemantapan hukum-hukum pergeseran yang
mengendalikan perubahan-perubahan dalam nomor atom yang menyertai
peluruhan radioaktivitas (1913), produksi transmutasi nuklir karena
penembakan dengan partikel alfa (1919) dan oleh partikel-partikel yang
dipercepat secara artifisial (1932), formulasi teori peluruhan beta
(1933), produksi inti-inti radioaktif oleh partikel-partikel yang
dipercepat (1934), dan penemuan fissi nuklir (1938). Fisika nuklir ialah
unik pada tingkat dimana ia menghadirkan banyak topik terapan dan
paling fundamental. Instrumentasi-intrumentasinya telah memiliki
kegunaan yang banyak di seluruh sains, teknologi, dan kedokteran;
rekayasa nuklir dan kedokteran nuklir adalah dua bidang spesialisasi
terapan yang sangat penting. Aplikasi teknik nuklir, baik aplikasi
radiasi maupun radioisotop, sangat dirasakan manfaatnya sejak program
penggunaan tenaga atom untuk maksud damai dilancarkan pada tahun 1953.
Dewasa ini penggunaannya di bidang kedokteran sangat luas, sejalan
dengan pesatnya perkembangan bioteknologi, serta didukung pula oleh
perkembangan instrumentasi nuklir dan produksi radioisotop umur pendek
yang lebih menguntungkan ditinjau dari segi medik. Energi radiasi yang
dipancarkan oleh suatu sumber radiasi, dapat menyebabkan peruba.hari
fisis, kimia dan biologi pada materi yang dilaluinya. Perubahan yang
terjadi dapat dikendalikan dengan jalan memilih jenis radiasi (α, β, γ
atau neutron) serta mengatur dosis terserap, sesuai dengan efek yang
ingin dicapai.
II.Pembahasan Penggunaan isotop radioaktif
dalam bidang kedokteran telah dimulai tahun 1901 oleh Henri Danlos
yang menggunakan Radium untuk pengobatan penyakit Tuberculosis pada
kulit. Tetapi yang dianggap Bapak Ilmu Kedokteran Nuklir adalah George C
de Havessy. Dialah yang meletakkan dasar prinsip perunut dengan
menggunakan zat radioaktif. Waktu itu yang digunakan adalah radioisotop
alam Pb212. Dengan ditemukannya radioisotop buatan, maka radioisotop
alam tidak lagi digunakan.Radioisotop buatan yang banyak dipakai pada
masa awal perkembangan kedokteran nuklir adalah I131. Pemakaiannya kini
telah terdesak oleh Tc99m, selain karena sifatnya yang ideal dari segi
proteksi radiasi dan pembentukan citra juga dapat diperoleh dengan
mudah, serta harga relatif murah. Namun demikian, I131 masih sangat
diperlukan untuk diagnostik dan terapi, khususnya kanker kelenjar
tiroid. Perkembangan ilmu kedokteran nuklir yang sangat pesat didukung
oleh perkembangan teknologi instrumentasi untuk pembuatan citra terutama
dengan digunakannya komputer untuk pengolahan data sehingga sistem
intrumentasi yang dahulu hanya menggunakan detektor radiasi biasa dengan
sistem elektronik sederhana, kini telah berkembang menjadi peralatan
canggih kamera gamma dan kamera positron yang dapat menampilkan citra
alat tubuh, baik dua dimensi maupun tiga dimensi, serta statik maupun
dinamik. Berbagai disiplin ilmu kedokteran seperti penyakit dalam, ilmu
penyakit syaraf, ilmu penyakit jantung, dan sebagainya telah mengambil
manfaat dari teknik nuklir ini. Kedokteran Nuklir Merupakan cabang
ilmu kedokteran yang menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari
disintegrasi inti radionuklida buatan, untuk mempelajari perubahan
fisiologi, anatomi dan biokimia, sehingga dapat digunakan untuk tujuan
diagnostik, terapi dan penelitian kedokteran. Radioisotop dapat
dimasukkan ke tubuh pasien (studi in-vivo) maupun hanya direaksikan saja
dengan bahan biologis antara lain darah, cairan lambung, urine, dan
sebagainya, yang diambil dari tubuh pasien, yang lebih dikenal sebagai
studi in-vitro (dalam gelas percobaan). Pada studi in-vivo, setelah
radioisotop dapat dimasukkan ke tubuh pasien melalui mulut, suntikan,
atau dihirup lewat hidung, maka informasi yang dapat diperoleh dari
pasien dapat berupa: 1. Citra atau gambar dari organ/bagian tubuh
pasien yang diperoleh dengan bantuan peralatan kamera gamma ataupun
kamera positron (teknik imaging). 2. Kurva-kurva kinetika radioisotop
dalam organ/bagian tubuh tertentu dan angka-angka yang menggambarkan
akumulasi radioisotop dalam organ/bagian tubuh tertentu disamping citra
atau gambar yang diperoleh dengan kamera gamma ataupun kamera positron
3. Radioaktivitas yang terdapat dalam contoh bahan biologis )darah,
urine, dll) yang diambil dari tubuh pasien, dicacah dengan instrumen
yang dirangkaikan pada detektor radiasi (teknik non-imaging). Data yang
diperoleh baik dengan teknik imaging maupun teknik non-imaging
memberikan informasi mengenai fungsi organ yang diperiksa. Pencitraan
(imaging) pada kedokteran nuklir dalam beberapa hal berbeda dengan
pencitraan dalam radiologi (lihat tabel dibawah).
KEDOKTERAN NUKLIR RADIOLOGI
Sumber Radiasi Zat radioaktif yang terbuka Pesawat pembangkit radiasi
Pembentukan Citra Emisi radiasi, perbedaan akumulasi radioisotop dalam
berbagai bagian tubuh Transmisi radiasi; pembedaan daya tembus radiasi
terhadap berbagai bagian tubuh Informasi yang diberikan Terutama
fungsional Terutama anatomis-morfologis Pada studi in-vitro. dari tubuh
pasien diambil sejumlah tertentu bahan biologis misalnya 1 ml darah.
Cuplikan bahan biologis tersebut kemudian direaksikan dengan suatu zat
yang telah ditandai dengan radioisotop. Pemeriksaannya dilakukan dengan
bantuan detektor radiasi gamma yang dirangkai dengan suatu sistem
instrumentasi. Studi semacam ini biasanya dilakukan untuk mengetahui
kandungan hormon-hormon tertentu dalam darah pasien seperti insulin,
tiroksin, dan lain-lain. Pemeriksaan kedokteran nuklir banyak membantu
dalam menunjang diagnosis berbagai penyakit seperti penyakit jantung
koroner, kelenjar gondok, gangguan fungsi ginjal, menentukan tahapan
penyakit kanker dengan mendeteksi penyebarannya pada tulang, mendeteksi
pendarahan pada saluran penceraan makanan dan menentukan lokasinya,
serta masih banyak lagi yang dapat diperoleh dari diagnosis dengan
penerapan teknologi nuklir yang sangat pesat perkembangannya. Disamping
membantu penetapan diagnosis, teknologi nukilr juga berperan dalam
terapi penyakit-penyakit tertentu, misalnya kanker kelenjar gondok,
hiperfungsi kelenjar gondok yang membandel terhadap pemberian
obat-obatan non radiasi, keganasan sel darah merah, inflamasi
(peradangan) sendi yang sulit dikendalikan dengan menggunakan terapi
obat-obatan biasa. Untuk keperluan diagnosis, radioisotop diberikan
dalam dosis yang sangat kecil, tapi dalam terapi radioisotop sengaja
diberikan dosis yang besar terutama dalam pengobatan terhadap janringan
kanker dengan tujuan untuk melenyapkan sel-sel yang menyusun janringan
kanker itu.
III.Dampak Teknologi nuklir dalam bidang kedokteran
Di Indonesia, kedokteran nuklir diperkenalkan pada akhir tahun
1960an, yaitu setelah reaktor atom Indonesia yang pertama di Bandung
mulai dioperasikan.Dampak teknologi nuklir dalam bidang kedokteran
diantaranya adalah adanya alat-alat kedokteran yang menggunakan tenaga
nuklir salah satunya Radiostop.Beberapa tenaga ahli Indonesia dibantu
oleh tenaga ahli dari luar negeri merintis pendirian suatu unit
kedokteran nuklir di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Nuklir di
Bandung. Unit ini merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir RSU Hasan
Sadikin, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Menyusul kemudian
unit-unit berikutnya di Jakarta (RSCM, RS Pusat Pertamina, RS Gatot
Subroto) dan di Surabaya (RS Soetomo). Pada tahun 1980an didirikan
unit-unit kedokteran nuklir berikutnya di RS Sardjito Yogyakarta, RS
Karyadi Semarang, RS Jantung Harapan Kita Jakarta, dan RS Fatmawati
Jakarta. Saat ini di Indonesia terdapat 15 rumah sakit yang melakukan
pelayanan kedokteran nuklir dengan menggunakan kamera gamma, disamping
masih terdapat 2 rumah sakit lagi yang hanya mengoperasikan alat penatah
ginjal yang dikenal dengan nama Renograf.
Sumber :
1. Google 2. Wikipedia Teknologi Fisika 3. U.S. Public Health
Service, Training Publication No. 141(2.63), p. 1-8, 1963 4. UNSCEAR.
Sources and Effects of Ionizing Radiation, Vol 1., 2000. 5. PANETH, F
dan HEVESY, G. Monathsc. Chem, 34, p. 1401-1407, 1913
No comments:
Post a Comment