MAGNETIK
RESONANCE IMEJING
Tinjauan
Pustaka
A. Prinsip Dasar MRI
1. Komponen Dasar
MRI
a. Magnet Utama
Magnet utama digunakan
untuk memproduksi medan magnet yang besar, yang mampu menginduksi jaringan atau
obyek sehingga mampu menimbulkan magnetisasi dalam obyek. Beberapa jenis magnet
utama adalah:
1)
Permanen Magnet.
Gambar 2.1 Permanen Magnet (Westbrook dan Kaut,1998).
Permanen magnet dibuat dari bahan-bahan ferromagnetic.
Yang umum digunakan sebagai pembuat magnet permanen adalah campuran antara
alumunium, nikel, dan kobalt, disebut juga alnico. Permanen magnet tidak
memerlukan listrik, kadangkala dirancang dengan model terbuka dan sangat umum
digunakan pada pasien-pasien klaustrophobia,
obesitas, ataupun pasien dengan
pemeriksaan musculo skeletal dan
teknik
intervensional yang sulit dilakukan dengan MRI yang
tertutup (Westbrook dan Kaut, 1998)
2)
Resistive Magnet.
Gambar 2.2 Resistive magnet (Westbrook
dan Kaut,1998)
Magnet jenis ini dibangkitkan dengan
memberikan arus listrik melalui kumparan. Resistive magnet lebih ringan
dibandingkan dengan permanen magnet, sementara kuat medan magnet maksimum yang
dihasilkan kurang dari 0,3 Tesla.
3)
Super Conducting
magnet.
Super conducting magnet menggunakan
bahan yang terbuat dari miobium dan titanium. Bahan tersebut akan menjadi superconductive
pada temperatur 4K (Kelvin) dengan memberikan arus listrik melalui
kumparan-kumparan. Untuk menjaga kemagnetan kumparan harus dalam temperatur
yang sangat dingin. Biasanya digunakan helium cair yang disebut juga dengan cryogen
bath. Kuat medan magnet yang dihasilkan berkisar antara 0,5-4 Tesla
untuk pencitraan diagnostik, dan lebih dari 9 Tesla untuk penelitian spectroscopic
dan high resolution.
b. Koil Gradien
Koil gradien
digunakan untuk membangkitkan suatu medan magnet
yang mempunyai fraksi-fraksi kecil terhadap medan magnet utama. Gradien digunakan untuk
memvariasikan medan pada pusat magnet. Terdapat tiga medan yang saling tegak
lurus antara ketiganya, yaitu bidang x, y, dan z. Fungsi yang berbeda-beda
sesuai dengan irisan yang dipilih (axial, sagital, atau koronal), gradien ini
digunakan sesuai dengan koordinat dimensi ruang sebagai berikut:
1)
Gradien pemilihan irisan (slice selection) yaitu Gz.
2)
Gradien pemilihan fase (phase encode), yaitu Gy.
3)
Gradien pemilihan frekuensi (frequency encode), yaitu
Gx.
Gambar 2.3 Kumparan gradien pada MRI menunjukkan tiga
kumparan gradien yang saling tegak lurus pada bidang x, y, dan z. (Hashemi
dan Bradley, 1997)
Gambar 2. 4 Menunjukkan pemilihan gradien sepanjang sumbu
x, y, dan z dengan z axis pasien sejajar dengan z axis magnet. (Hashemi dan Bradley, 1997)
Dengan asumsi bahwa z axis tubuh sejajar
dengan long axis magnet dengan arah cranio-caudal (CC), y axis pada arah
posteroanterior (PA) dan x axis dari arah kanan ke kiri (R/L) akan menghasilkan
gradien pemilihan irisan sepanjang z.
Pemilihan irisan dapat kita lihat
dalam tabel berikut:
Tabel 2.1. Tabel Gradien
Slice- Select Gradient
|
Phase-Encoding Gradient
|
Frequency-Encoding Gradient
|
|
Axial
|
Z
|
Y
|
X
|
Sagittal
|
X
|
Y
|
Z
|
Coronal
|
Y
|
X
|
Z
|
Sumber :
Hashemi dan Bradley, 1997
c.
Koil Radiofrekuensi
Koil yang umum digunakan, yaitu koil
penerima dan koil pemancar-penerima (transceiver – receiver coil).
Dengan medan magnet yang tinggi akan lebih
efisien menggunakan koil transceiver jika dibandingkan dengan penggunaan
koil penerima saja, karena koil transceiver hanya membutuhkan energi
Radio-Frekuensi ( RF ) yang kecil untuk menghasilkan magnetisasi transversal,
sehingga SAR (Specific Absorbtion Rate) terhadap pasien dapat dikurangi.
Koil pemancar berfungsi memancarkan
gelombang radio pada inti yang terlokalisir sehingga terjadi eksitasi.
Sedangkan koil penerima berfungsi untuk menerima sinyal output dari
sistem setelah eksitasi terjadi (Woordward, Peggy, 1995).
Semakin dekat objek terhadap koil, kemampuan
koil menerima sinyal semakin baik. Receive Only Coils, koil jenis ini
hanya menerima sinyal, didesain untuk dapat ditempatkan pada organ-organ
tertentu seperti caudorectal untuk
melihat prostat, rectum, atau uterus. Koil jenis ini disebut juga local coil.
Beberapa jenis koil diantaranya :
1)
Koil Volume. Koil Volume dapat menangkap sinyal lebih besar
dari jaringan yang tereksitasi sehingga Signal to Noise Ratio (SNR)
menjadi lebih baik. Koil ini merupakan koil transceiver yang berfungsi sebagai
pemancar sekaligus penerima, digunakan untuk pemeriksaan kepala, ekstremitas,
abdomen, dan pelvis.
2) Koil Permukaan (Surface
Coil), merupakan penguat sinyal yang diterima dan dapat ditempatkan dekat
dengan objek (sumber sinyal). Surface coil juga meningkatkan
SNR.
3) Koil Linier, merupakan koil yang sensitif terhadap perubahan arah medan
magnet atau perubahan medan magnet sepanjang axis.
4) Koil Kuadrat, merupakan koil yang sensitif terhadap perubahan medan magnet
sepanjang axis ganda.
Koil Phased Array,
disebut juga multicoil yang dapat
mencakup objek lebih besar tanpa menimbulkan noise sebagaimana jika digunakan
dua koil yang diletakkan berdekatan.
d.
Sistem Komputer
Sistem komputer digunakan sebagai pengendali sebagian besar operasional
peralatan MRI. Dengan kelengkapan perangkat lunaknya, computer mampu melakukan
tugas-tugas mulai dari input data, pemilihan protokol pemeriksaan, pemilihan
irisan, mengontrol seluruh sistem, pengolahan data, penyimpanan data,
pengolahan citra, display citra sampai rekam data.
Gambar 2.5
Instrumentasi Dasar MRI
(Westbrook
dan Kaut, 1998)
2.
Prinsip Dasar
Pencitraan MRI
Atom terdiri atas inti atom dan orbit
elektron. Inti atom terdiri atas proton yang bermuatan +1 dan neutron yang
tidak bermuatan. Sedangkan elektron bermuatan -1. Sedangkan nomor atom
menunjukkan jumlah proton di dalam inti dan massa atom menunjukkan jumlah
proton dan neutron di dalam inti (Westbrook, 1998).
a.
Spinning
Spinning (gerakan berputar yang
berotasi pada sumbunya) dari suatu partikel bermuatan yaitu proton akan
menghasilkan momen dipol magnetic yang disebut juga dengan spin. Inti yang
paling banyak mendominasi jaringan tubuh adalah atom hidrogen (1 proton tanpa
neutron). Atom hidrogen juga mempunyai momen
dipol magnetic yang kuat sehingga akan menghasilkan konsentrasi yang besar
dan kekuatan yang kuat per inti. Hal inilah yang menyebabkan signal atom hidrogen
yang dihasilkan lebih besar (1000x lebih besar dari atom lain daripada yang
lainnya), sehingga atom inilah yang digunakan sebagai sumber signal dalam pencitraan
MRI (Westbrook, 1998).
b.
Presesi
Tidak semua proton arahnya paralel dan anti paralel
terhadap medan
magnet luar, bahkan mereka berputar dengan cara tertentu, yang disebut dengan
presesi (precession).
Frekuensi presesi adalah kecepatan angular dari presesi proton.
Perputaran pada atom dimana satu putaran dari suatu titik dan kembali ke titik
yang sama disebut Frekuensi
Frekuensi presisi tidak konstan, tergantung kekuatan medan magnet eksternal. Medan magnet
luar semakin kuat maka precessi semakin
cepat dan frekuensi semakin tinggi.
Dalam keadaan normal,
spinning proton atom hidrogen adalah acak (random). Sehingga tidak menimbulkan
magnetisasi (magnetisasi sama dengan nol). Jika spinning proton diletakkan
dalam medan magnet luar yang sangat kuat maka akan mengalami precessi, yaitu pergerakan spin proton
yang unik seperti gangsing. Kecepatan atau frekuensi precessi atom hidrogen
tergantung pada kuat medan magnet yang diberikan pada jaringan. Semakin besar
kuat medan magnet yang diberikan maka semakin cepat precessi proton. Frekuensi precessi
proton tergantung pada kuat medan
magnet disebut dengan frekuensi larmor yang mengikuti persamaan
|
dimana ω = frekuensi Larmor proton
γ =
koefisien gyromagnetic
B =
medan magnet eksternal
(Sumber Westbrook dan Kaut 1998)
Gambar 2.6 Presesi Atom Hidrogen (Westbrook dan Kaut,
1998)
c.
Resonansi.
Resonansi terjadi
apabila pada obyek diberikan gangguan berupa gelombang radio yang mempunyai
frekuensi yang sama dengan frekuensi presisi Larmor obyek. Untuk keperluan
klinis, pembentukan citra didasarkan pada pemanfaatan atom hidrogen dalam tubuh
dengan kata lain agar fenomena resonansi terjadi gelombang radio (RF) yang
diberikan harus mempunyai frekuensi Larmor yang sama dengan frekuensi larmor
hidrogen, yaitu 42,57 MHz/Tesla. Pengaplikasian gelombang radio (RF) yang menyebabkan
resonansi terjadi eksitasi sebagai hasil dari fenomena resonansi Nett
Magnetitation Vector (NMV) menjadi terotasi dari bidang longitudinal ke
bidang transversal xy. Magnetisasi pada bidang ini dikenal dengan magnetisasi
transversal. Mxy sudut perotasi
dikenal dengan flip angle.
Gambar 2.7 Arah magnetisasi longitudinal dan transversal
(Westbrook
dan Kaut, 1998)
Fenomena terpenting
pada pencitraan MRI adalah peristiwa resonansi magnetik dari suatu spinning
proton yang mengalami precessi ketika
berada pada medan magnet luar yang sangat kuat. Syarat untuk menimbulkan
fenomena resonance magnetic ini adalah dengan
menggunakan pulsa RF (yang dipancarkan oleh suatu coil transmitter) yang
sama dengan frekuensi larmor yang dimiliki oleh proton atom hydrogen dalam tubuh. Dari peristiwa
resonance magnetik ini akan didapatkan signal yang pancarkan oleh proton atom
hidrogen tubuh yang kemudian ditangkap oleh coil receiver dan selanjutnya
signal ini akan diolah oleh komputer menjadi sebuah citra (Westbrook, 1998).
B.
Proses Pembentukan Gambar
1. Pulsa RF ( Radio Frequency )
Pulsa RF merupakan gelombang
elektromagnetik yang memiliki frekuensi antara 1 – 80 MHz (Bushong, 1996).
Apabila spin ditembak oleh
sejumlah pulsa yang mempunyai frekuensi sama dengan frekuensi Larmor, maka resonansi akan terjadi. Spin memungkinkan
menyerap energi pulsa dan mengakibatkan sudut presesi semakin besar. Peristiwa
tersebut dikenal dengan Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Pada hidrogen,
agar terjadi resonansi maka frekuensi pulsa yang diaplikasikan harus sebesar
frekuensi Larmornya.
Perubahan sudut presesi akibat
pemberian pulsa RF tergantung dari lama dan intensitas pulsa. Pulsa yang
mengakibatkan sudut presesi menjadi 90° disebut pulsa 90°, pulsa yang
mengakibatkan sudut 180° disebut pulsa 180°, pulsa yang mengakibatkan sudut
< 90° disebut pulsa alpha flip.
Peristiwa resonansi mengakibatkan Nuclear Magnetic Vektor ( NMV ) berada pada bidang transversal.
Magnetisasi transversal akan menginduksi koil penerima sehingga terbentuk
sinyal. Sinyal ini disebut sinyal MR (magnetic resonance), dimana
besarnya frekuensi adalah sama dengan frekuensi Larmor (Westbrook, 1998).
2.
Waktu Relaksasi
Longitudinal ( T1 ) dan Tranversal ( T2 )
a.
Waktu Relaksasi
Longitudinal (T1)
Pada waktu
pemberian pulsa RF dihentikan, Nuclear
Magnetic Vektor ( NMV ) akan bergerak menuju bidang longitudinal.
Masing-masing komponen magnetisasi mengalami relaksasi secara bebas. Seiring
dengan itu, maka nilai magnetisasi longitudinal (Mz) akan muncul
kembali dan bertambah besar, tetapi nilai komponen magnetisasi transversal (MT)
semakin berkurang.
Gambar 2.8 Kurva karakteristik T1, tumbuh kembali magnetisasi
longitudinal (Longitudinal recovery) menjadi 63% (Westbrook, 1999)
Waktu
yang dibutuhkan untuk kembalinya 63 %
magnetisasi lonitudinal disebut waktu relaksasi longitudinal atau T1, disebut juga relaksasi spin-kisi.
b.
Waktu Relaksasi
Tranversal (T2)
Sementara waktu yang dibutuhkan komponen magnetisasi tranversal untuk meluruh hingga
37 % dari nilai awalnya disebut waktu relaksasi tranversal atau T2, disebut juga relaksasi
spin-spin (Bushong, 1998). T2 decay disebabkan oleh pertukaran
energi inti – inti atom dengan atom lainnya. Pertukaran energi ini disebabkan
oleh interaksi medan magnet tiap inti atom.
Proses
ini dinamakan spin relaxation dan menghasilkan decay
atau hilangnya transverse magnetisasi. Decay
rate juga merupakan proses eksponensial.Seperti halnya T1, T2 relaxation
time adalah waktu yang konstan pada saat 63% transverse magnetisasi hilang.
Gambar 2.9 Kurva Karakteristik T2, berkurangnya
magnetisasi transversal (Transversal Decay) menjadi 37% (Westbrook, 1999)
c.
Mekanisme Kekontrasan
Gambar
Gambar akan memiliki kontras apabila ada perbedaan intensitas sinyal yang
ditangkap. Sinyal tinggi memberikan gambaran yang terang (hiperintens) sedangkan sinyal yang rendah menghasilkan warna gelap
(hipointens) dan beberapa tempat ada
yang intermediate (isointens).
Jaringan tampak terang jika memiliki komponen magnetisasi transversal yang
besar, sehingga amplitudo sinyal yang diterima koil besar pula. Begitu juga
sebaliknya dengan jaringan yang memiliki komponen magnetisasi transversal yang
kecil tampak gelap (Westbrook,1998).
Gambar 2.10 Grafik intensitas sinyal terhadap waktu
(Sprawl, 1987).
Secara
skematis, dengan aplikasi waktu TR dan TE maka kedua jaringan(A dan B) mengalami pemulihan magnetisasi
longitudinal dan peluruhan magnetisasi transversal sebelum full recovery.
Formasi echo yang dihasilkan memiliki perbedaan intensitas sehingga
menghasilkan kontras gambar (dilihat
pada skala keabuan).
1) Kontras Citra T1 dan T2
Salah satu aspek
outstanding diagnostik pada pencitraan MRI adalah kemampuan untuk melihat
variasi tipe dari jaringan yang normal dan abnormal. Dengan menggunakan
parameter yang benar, pencitraan MRI akan memberikan kita sebuah kontras
jaringan yang baik. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary mendefinisikan
istilah kontras sebagai “perbandingan untuk merinci suatu perbedaan”. Untuk
diagnosis yang akurat, gambar MR harus dapat menujukkan perbedaan antar
jaringan.
Hal yang paling
penting adalah seorang operator harus memahami dan menguasai prinsip-prinsip
untuk mendapatkan kontras gambar yang baik. Pada penggunaan pulse sequence spin
echo, hanya ada dua faktor yang berperan langsung dalam mengontrol kontras
jaringan pada gambar, yaitu TR dan TE. TR adalah TR (Time Repetition) adalah
waktu pengulangan antar pulse Rf 900
yang satu dengan yang berikutnya pada sebuah slice. Nilai TR berkisar antara
350-3000 ms. Sedangkan TE adalah waktu tengah antar pulsa 900 dan
signal maksimum (echo). Nilai TE pada spin echo
standar berkisar antara 10-120 ms (Woodward, 1995).
a)
Kontras Citra T1 (pembobotan
T1)
Yang dimaksud dengan citra dengan
pembobotan T1 adalah citra yang kontrasnya tergantung pada perbedaan T1 time.
T1 time adalah waktu yang diperlukan untuk recovery hingga 63% dan dikontrol
oleh TR. Karena TR mengontrol seberapa jauh vector dapat recover sebelum
diaplikasi RF berikutnya, maka untuk mendapatkan pembobotan T1, TR harus dibuat
pendek sehingga baik lemak maupun air tidak cukup waktu untuk kembali ke Bo,
sehingga kontras lemak dan air dapat tervisualisasi dengan baik. Jika TR
panjang lemak dan air akan cukup waktu untuk kembali ke Bo dan recover longitudinal magnetisasi secara
penuh sehingga tidak bisa mendemonstrasikan keduanya.
Atom hydrogen pada jaringan yang berbeda dalam
tubuh manusia mempunyai nilai karakteristik intrinsik berupa T1 yang berbeda.
Hal ini dikarenakan adanya perbedaan lingkungan makro melekularnya. T1 yang
disebut juga dengan waktu relaksasi longitudinal atau spin-lattice (Bontrager, 2001) didefinisikan sebagai waktu yang
diperlukan untuk kembalinya 63% magnetisasi sepanjang sumbu longitudinal setelah
pemberian pulsa RF 900 (Bushberg, 2002).
Pada pulse sekuens spin echo untuk mengontrol
kontras T1 dapat digunakan short TR short TE yaitu TR : 250-700 ms, TE : 10-25
ms (Westbrook, 1998).
b)
Kontas Citra T2 (pembobotan
T2)
Yang dimaksud dengan pembobotan citra T2
adalah citra yang kontrasnya tergantung perbedaan T2 time. T2 time adalah waktu
yang diperlukan untuk decay hingga 37% dan dikontrol oleh TE. Untuk mendapatkan
T2 weighting, TE harus panjang untuk memberikan kesempatan lemak dan air untuk
decay, sehingga kontras lemak dan dan air dapat tervisualisasi dengan baik.
Jika TE terlalu pendek maka baik lemak dan air tidak punya waktu untuk decay
sehingga keduanya tidak akan menghasilkan kontras citra yang baik. Penjelasan
tersebut secara ringkas dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Sebagaimana T1, jaringan yang berbeda dalam tubuh manusia mempunyai nilai
karakteristik intrinsik berupa T2 yang berbeda pula. T2 atau yang disebut juga dengan waktu relaksasi transversal atau spin-spin (Bontrager, 2001) .
Didefinisikan sebagai waktu
yang dibutuhkan magnetisasi transversal untuk meluruh 37% dari nilai awalnya
(Bushberg, 2002).
Pada pulse sekuens spin echo
untuk mengontrol kontras T2 dapat digunakan long TR long TE yaitu TR : +2000 ms,
TE : +60 ms (Westbrook, 1998)
C.
Pulse Sequence Pada MRI Thorakal.
Pulse sequence adalah pengaturan
pemilihan dari radiofrekuensi dan pulse
gradient yang tepat, biasanya berulang
beberapa kali selama scanning, dimana interval waktu antara pulse dan amplitudo dan gelombang
gradient dikontrol oleh penerimaan signal NMR
(nukleic magnetic resonance) dan
karakteristik yang mempengaruhi gambaran MRI (mr-tip, 2008).
- Spin Echo
Dalam Spin Echo dengan memberikan pulse RF (radio frekuensi) 90º terhadap NMV (nuclei magnetisasi
vector) mengakibatkan magnetisasi longitudinal berubah ke dalam bidang
transversal, kemudian mengalami dephasing.
Setelah waktu berikutnya diberikan pulse
RF 180° sehingga NMV mengalami dephasing berlawanan dengan bidang
transversal. Pada saat mengalami dephasing 180° akan terbentuk echo dan waktu yang terjadi disebut time echo (TE). Spin echo terbentuk
ketika terjadi magnetisasi transversal in phase signal maksimum yang
menginduksi coil. Spin echo terdiri dari T1 dan T2.
Pulse sequence
menghasilkan gambaran T1 weighted jika mempunyai nilai TR dan TE pendek. Kontras
image terjadi apabila terjadi perbedaan waktu T1 dalam lemak dan air karena
banyak echo, atau T2 dalam jaringan
karena sedikit echo yang terjadi. T1 weighting memberikan gambaran anatomis organ dan T2 weghting memberikan
gambaran patologis karena adanya cairan (odema/hemorhage) dalam jaringan
Gambar 2.11 Phase Encode pada Spin Echo
konvensional (Westbrook dan Kaut, 1998)
- Fast Spin Echo
Fast spin echo (FSE) sama dengan spin echo
akan tetapi waktu scanning jauh lebih singkat. Pada spin echo sequencenya adalah 90°kemudian diaplikasi 180° (refocusing echo), dan hanya satu phase encoding step per TR pada masing-masing slice sehingga hanya satu baris K-space yang terisi per TR.
Pada fast spin echo
waktu dikurangi dengan cara melakukan lebih dari satu phase encoding step per
TR yang dikenal dengan echo train dan kemudian mengisi lebih dari satu baris K-space per TR.
Fast spin echo banyak digunakan
untuk image T2 weighted karena waktu bisa lebih singkat. Fast
spin echo digunakan pada pemeriksaan sistem syaraf pusat, pelvis dan musculoskeletal.
Penggunaan Fast spin echo pada thorax dan abdomen kadang dapat
menimbulkan respiratori artefak sehingga perlu adanya teknik respiratori compensation.
Gambar 2.12 Phase Encode pada Fast Spin Echo (Echo
Train) (Westbrook dan Kaut, 1998)
Tabel
2.2 Nilai-nilai Parameter Pada sekuens
Fast Spin Echo Echo (Terry M. Button, Ph.D, 149.28.118.44/meetings/lakegeorge_2003/button2.ppt, diakses
23 des 2008)
Parameter
|
Nilai
|
TR Panjang
|
2500 ms+ (4000ms+)
|
TR Pendek
|
500 ms (400-600ms)
|
TE Pendek
|
10 ms (min -20ms)
|
TE Panjang
|
100 ms
(90ms+)
|
|
Sekuens
|
Parameter
|
|
TR
|
TE
|
|
T1
weighting
|
Pendek
|
Pendek
|
T2 weighting
|
Panjang
|
Panjang
|
Proton Density
weighting
|
Panjang
|
Pende
|
a. Keunggulan Sekuens Fast Spin Echo
Waktu menjadi lebih singkat, SNR masih
relatif bagus, dapat untuk membuat citra high resolution dengan waktu yang
relatif singkat, motion artefak dapat diminimalkan, adanya rephasing pulse yang membuat distorsi pada objek metalik dapat
dikurangi. Keuntungan FSE yang utama adalah pengurangan waktu scan yang sangat
signifikan terutama untuk pembobotan T2. (Hashemi
dan Bradley, 1997)
b.
Keterbatasan
Sekuens Fast Spin Echo
Berkurangnya jumlah slice,
adanya “contras averaging”
(K-space averaging) yang dapat menyebabkan cerebro spinal
fluid menjadi lebih terang. Kerugian dari fast spin echo terutama adalah adanya
blurring atau kekaburan yang berhubungan dengan pemilihan ETL yang digunakan. Hal ini dapat ditanggulangi
dengan pemilihan ETL yang rendah.
D. Anatomi
Anatomi tulang sangat komplek, tersusun
oleh berbagai tipe jaringan. Korpus vertebra memberikan support mekanik,
sedangkan diskus intervertebralis menjadi bantalan gerakan. Berbagai ligamen
menghubungkan struktur – struktur tersebut. Medula spinalis yang dikelilingi
oleh LCS ( Liquor Cerebro Spinalis ), berada pada lingkungan yang terlindung
dalam kolumna spinalis.
Pada setiap segmen, sepasang nervus spinalis
keluar melalui forament neuralis. Terdapat pula jaringan vasculer yang luas,
dimana arteri-arteri secara segmental mendarahi tulang, otot, meningens, dan
medula serta terdapat pula jaringan vena drainase yang terbentang di dalam
kanalis vertebralis dan melingkari korpus vertebra. Tiap struktur tersebut
memiliki karakteristik sinyal yang berbeda tergantung pulsasi sekuen yang
digunakan.
Gambar 2.13 Anatomi
Tulang belakang (http://yourtotalhealth.ivillage.com/spinal-anatomy.html,
diakses 23 des 2008)
E. Artefak pada MRI
Artefak adalah area sinyal
abnormal pembentuk gambar yang bukan
berasal dari anatomi dan patologi pasien.
Menurut ( Markisz dan
Aqulia ,1996) , penyebab artefak dibagi menjadi beberapa faktor, yaitu :
- Faktor pasien.
a.
Faktor utama
penyebab artefak dari pasien yaitu Artefak motion
/ gerakan. Gerakan pasien pada saat pemeriksaan dapat menyebabkan artefak motion, begitu juga gerakan dari tubuh seperti
gerakan perut dan denyut jantung.
Gambar 2.14 Artefak
gerakan
(www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008)
Untuk mengatasi gerakan peristaltik usus dapat dikurangi dengan cara diberi obat anti
kejang sebelum scan dimulai untuk pemeriksaan abdomen. Meningkatkan NEX juga dapat membantu meningkatkan
jumlah signal. Untuk denyut jantung dapat dikurangi dengan cara memberikan gating atau teknik gradien moment nulling.
b.
Artefak phase mismapping / ghosting
Artefak phase mismapping / ghosting
disebabkan karena
pergerakan organ pada saat aplikasi phase encoding gradien dan pergerakan
searah dengan phase encode gradien pada saat akuisisi data. Penyebabnya adalah
denyut pembuluh, pergerakan dada saat respirasi, dan pergerakan jantung (Westbrook, 1999).
Artefak phase mismapping dapat dikurangi dengan cara menempatkan pre-saturation antara
asal artefak dengan FOV, menggunakan
respiratori gating, menggunakan gating EKG dan peripheral gating, menggunakan GMN (gradien
moment nulling) dan swapping
phase axis.
Gambar
2.15 Artefak Mismapping / Aliran
CSF(www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008
Gambar 2.16 Artefak mismapping / pergerakan jantung
(www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008)
c.
Magnetic susceptibility
Terjadi karena semua jaringan
mengalami magnetisasi dengan derajat yang berbeda tergantung dari karakteristik
magnetiknya. Hal tersebut akan menghasilkan perbedaan precessional frekuensi
dan phase. Perbedaan tersebut menyebabkan dephasing disekitar struktur yang
memiliki magnetic susceptibility yang sangat berbeda, sehingga akan terjadi
sinyal loss.
Biasanya pada GRE. Magnetic susceptibility bermanfaat pada pemeriksaan hemorhage
atau blood produk karena dengan adanya artefak tersebut berarti perdarahannya
masih baru. Dapat dikurangi dengan menggunakan SE / FSE dan bahan logam
dihilangkan dari pasien.
- Faktor fisiologi pasien
a.
Artefak chemical misregistration
Artefak chemical misregistration adalah artefak yang juga menghasilkan frekuensi precessional yang berbeda
antara lemak dan air. Namun, dalam hal ini artefak di sebabkan karena lemak dan
air sephase pada waktu yang sama dan kemudian out phase karena perbedaan
frekuensi precessional. Artefak ini menyebabkan cincin dari signal yang hitam
disekitar organ yang terdapat lemak dan air dalam voxel yang sama, contohnya pada ginjal. Artefak ini juga dapat
mengakibatkan kehilangan slice karena penggunaan TE yang meningkat.
Untuk mengurangi artefak misregistration
dalam pulse sequence gradien echo dipilih TE yang tepat untuk lemak dan air.
Dengan kata lain memilih TE yang menghasilkan echo ketika lemak dan air in phase. Untuk memilih nilai TE dari lemak dan air bergantung pada kekuatan medan
magnet. Contohnya untuk 1.5 T untuk mengurangi artefak misregistration digunakan TE sebesar 4.2 ms.
Gambar 2.18 Artefak chemical misregistration
(www.mr-tip.com/serv1.php,
diakses 23 des 2008)
b.
Artefak Black Boundary
Gambar 2.19Artefak Black Boundary
(www.mr-tip.com/serv1.php,
diakses 23 des 2008
c.
Artefak Entry
Slice Phenomena
Flow nuklei yang berjalan
searah dengan slice excitation
menerima beberapa RF excitation pulse
dan akan menjadi saturated. Nuklei yang bergerak
berlawanan arah terhadap slice excitation
tidak akan menerima RF excitation pulse,
sehingga akan selalu fresh pada slice tertentu.
Fenomena tersebut menghasilkan sinyal yang
berbeda antara arteri dan vena dimana flow tegak lurus dengan bidang slice
tersebut. Diatasi dengan menggunakan pre saturation
Gambar 2.20 Artefak Entry Slice Phenomena
(www.mr-tip.com/serv1.php,
diakses 23 des 2008)
- Faktor alat.
a.
Artefak cross
talk
Artefak
cross talk terjadi jika eksitasi pulse
RF tidak tepat. Pulse pada saat setengah amplitudo,
normalnya bervariasi hingga 10°/0º. Akibatnya, inti atom dalam slice berimpit
dengan eksitasi pulse RF. Slice yang
berbatasan menerima energi dari eksitasi pulse
RF dari daerah sekitarnya.
Akibat dari artefak cross talk SNR akan menurun dan
Scan time menjadi lebih panjang karena double scan time.
Gambar 2.21 Artefak
cross talk
(www.mr-tip.com/serv1.php,
diakses 23 des 2008)
b.
Artefak Aliasing
Terjadi ketika bagian antomi dalam receiver
coil berada diluar FOV. Bagian anatomi tersebut tampak spt terlipat dalam
gambar. Bisa
terjadi dalam frekuensi encoding maupun phase encoding (phase wrap)
Dapat dikurangi dengan cara: memperbesar
FOV, oversampling pada phase direction, menempatkan spatial pre sat di atas
bagian anatomi yg menghasilkan sinyal.
Gambar 2.22 Artefak Aliasing
(www.mr-tip.com/serv1.php, diakses 23 des 2008)
c.
Artefak Edy Curent
Gejala Eddy Curent
dapat menyebabkan artifak dalam gambar yang serius dan dapat menurunkan
keseluruhan kinerja magnet. Distorsi gambar terlihat pada seluruh slice.
Karakteristik artefak ini berupa daerah hitam dengan bintik-bintik terang
dengan keseluruhan kualitas gambar yang buruk.
Gambar 2.23 Artefak Edy Curent
(www.mr-tip.com/serv1.php,
diakses 23 des 2008)
d.
Artefak Central Point
Artifak Central Point merupakan titik fokus peningkatan sinyal di pusat gambar.. Hal ini disebabkan oleh Selisih dari tegangan DC di reciever.
Setelah transformasi Fourier, Selisih ini memberikan
titik terang di tengah gambar .
Gambar 2.24 artefak Central Point (www.mr-tip.com/serv1.php,
diakses 23 des 2008)
- Faktor luar.
Faktor luar yang sering menyebabkan artefak yaitu terjadinya kerusakan pada
sangkar farady sehingga gangguan frekuensi dari luar bisa masuk.
F.
Pemeriksaan MRI Thorakal
Supaya pemeriksaan MRI Thorakal optimal
perlu diperhatikan parameter-parameter yaitu
- Signal to noise ratio (SNR)
SNR adalah perbandingan antara besarnya amplitudo
sinyal dengan besarnya amplitudo noise dalam gambar MRI. Noise bisa disebabkan oleh sistem
komponen MRI dan juga dari pasien. Semakin besar sinyal yang dihasilkan akan
semakin meningkatkan SNR (Westbrook, 1999)
SNR dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu densitas proton dari
daerah yang diperiksa, voxel volume, TR, TE, dan flip angle, NEX, receive
bandwidth, dan koil.
- Contrast to noise ratio (CNR)
Contrast to noise ratio adalah perbedaan SNR antara organ yang saling berdekatan.
CNR yang baik dapat menunjukkan
perbedaan daerah patologis dan daerah sehat ( Westbrook, 1999 ).
Untuk meningkatkan CNR dapat dilakukan dengan cara :
a. Menggunakan kontras media.
b. Menggunakan T2 weighting.
c. Menghilangkan gambaran jaringan yang tidak dibutuhkan dengan spectral pre-saturation.
- Scan time
Waktu scanning dipengaruhi oleh TR (time
repetition), jumlah phase encoding, dan NEX
(Westbrook,
1999). Untuk mengurangi waktu scan time dilakukan dengan cara:
a.
Pemilihan TR .
Pada pulse sequence spin echo, SNR yang
dihasilkan akan lebih baik karena menggunakan flip angle 90 derajat sehingga
magnetisasi Longitudinal menjadi magnetisasi transversal dibandingkan dengan gardient echo yang flip
anglenya kurang dari 90 derajat. Flip angle berpengaruh terhadap jumlah
magnetisasi transversal.
TR merupakan parameter yang mengontrol jumlah
magnetisasi longitudinal yang recovery sebelum RF pulse berikutnya. TR yang
panjang memungkinkan full recovery sehingga lebih banyak yang akan mengalami
magnetisasi transversal pada RF pulse berikutnya. TR yang panjang akan meningkatkan SNR dan TR yang
pendek akan menurunkan SNR.
Secara
matematis, TR mempunyai hubungan searah dengan waktu scanning. Semakin panjang TR yang digunakan maka semakin
lama waktu scanning. Untuk pemeriksaan MRI secara umum, hubungan antara waktu pencitraan dengan parameter lain
dijelaskan melalui persamaan :
|
TR adalah waktu pengulangan pulsa,
N phase merupakan jumlah fase enkoding
per step, dan
NEX menyatakan berapa kali data dicatat selama akuisisi.
(Westbrook, 1998)
b.
Pemilihan Matriks
Matriks adalah jumlah elemen gambar (piksel) dalam
satu FOV (field of view). Ukuran matriks
ditentukan oleh dua sisi gambar, yaitu sisi yang berhubungan dengan jumlah
sampel frekuensi yang diambil, dan sisi yang berhubungan dengan fase enkoding
yang dibentuk. Misalnya matrik 256 x 192, ini berarti bahwa ada 256 sampel
frekuensi yang diambil selama readout dan sebanyak 192 fase enkoding
yang dibentuk. Banyaknya sampel frekuensi dan fase enkoding menentukan
banyaknya piksel dalam FOV. Matriks kasar memiliki sedikit piksel dalam FOV,
sedangkan matriks halus berarti banyak piksel dalam FOV (Westbrook, 1998)
c.
NEX sekecil mungkin
NEX (Number of Excitation)
NEX (Number of Excitation) merupakan angka yang menunjukkan berapa kali data
diperoleh/dicatat selama scanning.
NEX adalah nilai yang menunjukkan
jumlah pengulangan pencatatan data selama akuisisi dengan amplitudo dan fase
enkoding yang sama. NEX mengontrol sejumlah data yang masing-masing disimpan
dalam lajur K space. Data tersebut terdiri dari sinyal dan derau (noise).
Data tersebut terdiri dari sinyal dan derau. K space merupakan area
frekuensi spasial dimana sinyal berupa frekuensi yang berasal dari pasien akan
disimpan. (Westbrook, 1998). Sinonim NEX adalah NSA, Nacq = NA (number
of acquisition) atau average.
NEX adalah cara yang umum digunakan
dalam meningkatkan SNR (signal to
noise ratio). Peningkatan NEX berati akan menambah sinyal secara
linier tetapi deraunya acak, sehingga
menambah NEX sebesar 2 kali hanya akan menambah SNR sebesar √2 kali, atau SNR
= √ NEX
Gambar 2.25 Grafik peningkatan NEX teradap SNR (Westbrook, 1998)
- Penanganan Artefak
a.
Kompensasi Respiratori
Kompensasi respiratori (RC)
mengurangi phase missmaping dari gerakan permukaan dada sepanjang gradien
phase encoding selama akuisisi data. Diusahakan ditempatkan disekitar area
pernafasan di bawah melingkari dada pasien. Gerakan udara ke
belakang dan seterusnya selama inspirasi dan ekspirasi dirubah ke waveforms
(gelombang sinusoidial) dengan transduser.
Gambar
2.26 Respiratory Gating ( Panti Rapih,
2008 )
Gambar 2.27 Pengambilan slice pada Respiratory Cycle ( Instruction Manual
Hitachi, 2004)
Sistem kemudian membentuk phase
gradien encode lereng curam ketika gerakan maksimum permukaan dada dan sebaliknya gradien membentuk
lereng yang dangkal untuk gerakan minimum permukaan dada. Dalam hal ini signal
diakuisisi ketika permukaan dada sedang bergerak dan kemudian phase ghosting
(artefak ghosting) dikurangi. Bentuk lain kompensasi gerakan respirasi
disebut respiratori trigering dimana menurut Soto et al (2003) penggunaan respiratory triggered 3D maximum intensity projection fast spin echo teknik. Dengan cara yang sama
gating diakuisisi dari data gate ke respiratori. Teknik ini kadang-kadang tidak
efisien karena phase berulang, tetapi mempunyai keuntungan karena phase yang
berulang sesuai, seperti FSE (Westbrook, 1999).
b. Gating kardiac
Gating kardiac menggunakan
sinyal listrik, dengan mendeteksi dada
pasien pada trigger pada setiap eksitasi pulse RF. Dengan cara
ini tiap image selalu diakuisisi pada phase yang sama dari siklus
kardiac, sehingga phase missmaping dari kardiac dikurangi. Penempatan lead
sangat penting untuk mengoptimisasi kualitas image (Westbrook, 1999).
Gambar 2.28 Gating kardiac ( Panti Rapih, 2008 )
Gambar 2.29 Pengambilan slice pada Gating Cardiac ( Instruction Manual Hitachi, 2004)
Lead mempunyai warna yang
berbeda untuk memudahkan penggunaannya. Beberapa sistem ada juga yang
menggunakan tiga lead, tetapi prinsipnya sama dalam penempatanya, dapat
di letakkan di anterior atau posterior tetapi lebih mudah anterior
karena biasanya untuk menemukan landmark (Westbrook, 1999).
a.
Lead hitam : Kiri atas dada di
bawah klavikula
b.
Lead putih : Midline pada superior sternum
c.
Lead merah : Pada space intercostal
inferior ke kiri puting susu
d. Lead hijau : Kanan berdekatan
dengan lead merah tetapi tidak sampai bersentuhan dengan lead
merah.
Lead hitam mungkin
dihilangkan jika dalam sistem tidak tersedia. Ketika lead terpasang dan
masuk ke dalam sistem, cek gambaran pada EKG. Gambaran mungkin bervariasi
sesuai rata-rata ritme dan out put kardiac.
Gambar 2.30 Pemasangan cardiac gating ( Instruction Manual Hitachi, 2004)
- Peripheral gating
Peripheral gating
(gating Pe) menggunakan sensor photo yang dilekatkan pada jari biasanya pada
jempol untuk mendeteksi peningkatan volume kapiler selama sistol yang akan
mempengaruhi jumlah cahaya ke sensor dan menghasilkan dalam bentuk gelombang
(Westbrook, 1999).
Gambar 2.31 Pulsa Gating ( Panti Rapih, 2008 )
Gambar 2.32 Pemasangan Pulsa Gating ( Instruction Manual Hitachi, 2004)
Gambar 2.33 Pengambilan Slice pada Pulsa Gating ( Instruction Manual Hitachi, 2004)
Gelombang gating Pe tidak mempunyai karakteristik seperti EKG tetapi
puncak gelombang pada R-wave sekitar 250 ms yang ditampilkan di monitor.
Gambar 2.34 Gambar Artefak pada penggunaan Pulsa Gating ( Panti Rapih, 2008 )
- Presaturation
Pre sat akan menolkan sinyal dari
nuklei yang menghasilkan artefak dengan aplikasi RF 90 pada jaringan yang dipilih sebelum pulse sequence dimulai.
Gambar 2.35 Gambar Artefak
pada penggunaan Presaturation ( Panti Rapih, 2008 )
Gambar 2.36 Pre sat out side dan
inside ( Instruction Manual Hitachi, 2004 )
Magnetic moment nuklei tersebut
akan dinversi 180 oleh excitation pulse
dan tidak menghasilkan sinyal. Presaturation
dapat dilakukan dengan presesional
frekuensi tertentu seperti fat dan water untuk menolkan sinyal dari fat dan
water tersebut. Yang biasa disebut dengan chemical
/spectral pre saturation.
Gambar 2.37 Gambar pemakaian Pre Saturation ( Panti Rapih, 2008 )
No comments:
Post a Comment