Prinsip Dasar MRI
Pada dasar-dasar MRI ini akan dibahas mengenai
pengertian
MRI, instrumentasi dasar MRI (magnet utama, gradien
koil, pemancar
(transmitter), koil penerima (receiver) dan komputer)
a. Pengertian MRI
MRI merupakan sebuah teknik radiologi yang menggunakan
magnetisasi, radiofrekuensi, dan computer untuk
menghasilkan
gambaran
struktur tubuh (www.cis. Rit. Edu/htbooks/nmr/chap-1.
htm).
MRI adalah suatu alat diagnostik gambar berteknologi
tinggi yang
menggunakan medan magnet, frekuensi radio tertentu dan
seperangkat komputer untuk menghasilkan gambar
irisan-irisan
penampang
tubuh manusia (Journal Reshaping the way you look at
MRI (2005).
b.
Instrumentasi Dasar MRI (
Ness Aver, 1997 )
Komponen Utama
MRI yaitu : magnet utama, gradient coil,
transmitter
coil, receiver coil, dan komputer.
1) Magnet
Utama
Magnet utama
dipakai untuk membangkitkan medan
magnet
berkekuatan besar yang mampu menginduksi jaringan
tubuh
sehingga menimbulkan magnetisasi.
Beberapa jenis magnet utama, antara lain :
a) Magnet Permanen
Magnet permanen terbuat dari beberapa lapis batang
keramik
ferromagnetik dan memiliki kuat medan magnet maksimal
0,3
Tesla. Magnet
ini di rancang dalam bentuk tertutup maupun
terbuka (C
shape) dengan arah garis magnetnya adalah
antero-posterior.
b) Magnet
Resistif
Medan magnet dari jenis resistif dibangkitkan dengan
memberikan arus listrik pada kumparan. Kuat medan
magnet
yang mampu dihasilkan mencapai 0,3 Tesla.
c) Magnet
Super Conductor
Magnet ini
mampu menghasilkan medan
magnet hingga
berkekuatan 0,5 Tesla-3.0 Tesla, dan sekarang banyak
dipakai untuk kepentingan klinik. Helium cair
digunakan untuk
mempertahankan kondisi superkonduktor agar selalu
berada
pada temperatur yang diperlukan.
2) Koil Gradien
Koil gradien dipakai untuk membangkitkan medan magnet
gradien yang berfungsi untuk menentukan irisan,
pengkodean
frekuensi, dan pengkodean fase. Terdapat tiga medan
yang saling
tegak lurus, yaitu bidang x,y, dan z. Peranannya akan
saling
bergantian berkaitan dengan potongan yang dipilih
yaitu aksial,
sagital atau coronal. Gradien ini digunakan untuk
memvariasikan
medan pada pusat magnet yang terdapat tiga medan yang
saling
tegak lurus antara ketiganya (x,y,z).
Kumparan
gradien dibagi 3, yaitu :
a) Kumparan
gradien pemilihan irisan (slice) – Gz
b) Kumparan
gradien pemilihan fase encoding - Gy
c) Kumparan
gradien pemilihan frekuensi encoding - Gx
3) Koil
Radio Frekuensi
Koil radio
frekuensi ( RF Coil ) terdiri dari 2 yaitu koil
pemancar dan
koil penerima. Koil pemancar berfungsi untuk
memancarkan
gelombang radio pada inti yang terlokalisir
sehingga
terjadi eksitasi, sedangkan koil penerima berfungsi untuk
menerima
sinyal output setelah proses eksitasi terjadi ( Peggy and
Freimarck,
1995 ).
Koil RF
dirancang untuk sedekat mungkin dengan obyek agar
sinyal yang
diterima memiliki amplitudo besar.
Beberapa jenis koil RF diantaranya :
a) Koil Volume
( Volume Coil )
b) Koil
Permukaan ( Surface Coil )
c) Koil Linier
d) Koil Kuadrat
e) Phase Array
Coil
4) Sistem
Komputer
Sistem komputer bertugas sebagai pengendali diri dari
sebagian besar peralatan MRI. Dengan kemampuan piranti
lunak
yang besar komputer mampu melakukan tugas-tugas multi
(multi
tasking), diantaranya adalah operator input,
pemilihan slice,
kontrol sistem gradien, kontrol sinyal RF dan
lain-lain. Komputer
juga berfungsi untuk mengolah sinyal hingga menjadi
citra MRI
yang dapat dilihat pada layar monitor, disimpan ke
dalam piringan
magnetik, atau bisa langsung dicetak.
c. Dasar Fisika MRI
1) MR Active Nuclei (Westbrook,C, dan
Kaut,C, 1999)
Prinsip yang mendasari MRI adalah gerakan spin dari
nucleus aktif MR yaitu inti-inti atom spesifik dalam
tubuh manusia
yang memiliki
nomor massa
ganjil (baik jumlah proton maupun
neutronnya
yang ganjil). Beberapa nucleus aktif MR yaitu hidrogen
(1 proton dan
tanpa neutron), Carbon-13, Phosfor-31, sodium-23,
oksigen-17,
nitrogen-15. Hidrogen adalah nucleus aktif MR yang
banyak digunakan dalam MRI karena hydrogen dalam tubuh
sangat banyak dan protonnya mempnyai moment magnetic
yang
besar.
Dalam kondisi normal moment magnetic inti hydrogen
arahnya random. Namun apabila ditempatkan dalam suatu
medan
magnet yang kuat, moment magnetic inti-inti atom akan
menyesuaikan arah dengan medan magnet statis. Sebagian
besar
inti hydrogen akan parallel dengan medan magnet statis. Inti atom
hidrogen yang mempunyai energi rendah akan parallel
terhadap
medan magnet statis dan inti –inti atom hidrogen yang
mempunyai
energi tinggi akan anti parallel dengan medan magnet
Faktor-faktor
yang mempengaruhi penyesuaian inti-inti
atom hidrogen terhadap medan magnet statis adalah kuat
lemahnya medan magnet statis dan energi thermal inti
atom, yakni
bila energi thermal lebih lemah tidak cukup kuat untuk
berlawanan
dengan medan magnet statis (Bo), dan bila energi
thermal tinggi
akan cukup
untuk anti parallel. Inti yang paling banyak
mendominasi
jaringan biologi tubuh manusia adalah atom
hidrogen (1
proton dan tanpa neutron). Atom hydrogen sangat
banyak
terdapat dalam jaringan biologi tubuh manusia dan
protonnya
mempunyai moment magnetic yang besar. Hal ini
menyebabkan
sinyal hidrogen yang dihasilkan 1000 kali lebih
besar daripada
atom lainnya dalam tubuh, sehingga atom inilah
yang digunakan
sebagai sumber sinyal dalam pencitraan MRI.
2) Presesi
Tiap-tiap inti
hidrogen membentuk NMV spin pada sumbu
atau porosnya. Pengaruh dari Bo akan menghasilkan spin
sekunder atau ”gerakan” NMV mengelilingi Bo. Spin
sekunder ini
disebut precession, dan menyebabkan magnetik moment
bergerak secara circular mengelilingi Bo. Jalur
sirkulasi
pergerakan itu disebut ”precessional path” dan
kecepatan
gerakan NMV
mengelilingi Bo disebut ”frekuensi presesi” . Satuan
frekuensinya
MHz, dimana 1 Hz= 1 putaran per detik.
Kecepatan atau
frekuensi presesi proton atom hidrogen
tergantung pada kuat medan magnetik yang diberikan
pada
jaringan. Semakin kuat medan semakin cepat presesi
proton dan
frekuensi presesi yang tergantung pada kuat medan
magnetik
disebut dengan frekuensi Larmor yang mengikuti
persamaan :
ω = γ B
dimana ω adalah frekuensi Larmor proton, γ adalah properti
inti
gyromagnetik, dan B adalah
medan magnet eksternal
(Westbrook,C, dan Kaut,C, 1999).
Gambar 2.
Presesi
3)
Resonansi
Adalah
fenomena yang terjadi apabila sebuah obyek
diberikan pulsa yang mempunyai frekuensi sesuai dengan
frekuensi Larmor. Apabila tubuh pasien diletakkan
dalam medan
magnet eksternal yang sangat kuat, maka inti-inti
atomnya akan
berada pada arah yang searah atau berlawanan dengan
medan
magnet luar dan inti-inti itu akan mengalami
perpindahan dari
suatu energi ke tingkat energi yang lain. Proses
perpindahan
energi ini seringkali merubah arah dari NMV, akibatnya
vektor
dapat berubah
arah dari arah longitudinal atau parallel medan
magnet luar,
ke arah yang lain. Peristiwa ini terjadi apabila inti
atom menyerap
energi untuk berpindah energi yang lebih tinggi
atau melepaskan energi untuk berpindah ke tingkat yang
lebih
rendah. Energi untuk terjadinya proses ini di dapat
dari energi
pulsa radiofrekuensi. Pulsa radio frekuensi ini harus
mempunyai
frekuensi tertentu untuk dapat berperan dalam proses
transisi, dan
harus disesuaikan dengan kekuatan medan magnet
eksternal.
Untuk magnet dengan kekuatan 1 Tesla (10.000 gauss),
frekuensi
RF yang diperlukan adalah 42,6 Mhz, sedangkan untuk 1,5
Tesla
diperlukan 63,9 Mhz
Besar nilai magnetisasi dari obyek atau jaringan yang
berada dalam medan magnet eksternal merupakan hubungan
linier yaitu semakin besar nilai medan magnet
eksternalnya maka
akan semakin besar nilai magnetisasinya. Jika medan magnet
eksternal dalam suatu jaringan sebesar 1 Tesla,
presisi atom
dalam jaringan ( sebagai contoh atom hidrogen dan
karbon )
mempunyai
frekuensi presisi yang berbeda pula, yaitu besar
frekuensi
presisi Larmor atom hidrogen adalah 42,6 MHz,
sedangkan
untuk karbon nilainya adalah 10,7 MHz, sehingga
dapat
disimpulkan bahwa sinyal yang diterima koil receiver RF
yang
dipancarkan terhadap pasien adalah 42,6 MHz. Hal ini
menimbulkan
fenomena resonansi yang di dalamnya didapatkan
sinyal.
4) MR
Signal
Adalah sebagai
akibat resonansi NMV yang mengalami inphase
pada bidang
transversal. Hukum Faraday menyatakan jika
receiver koil
ditempatkan pada area medan
magnet yang bergerak
misalnya NMV
yang mengalami presesi pada bidang transversal
tadi akan
dihasilkan voltage dalam receiver koil. Oleh karena itu
NMV yang bergerak menghasilkan medan magnet yang
berfluktuasi dalam koil. Saat NMV berpresesi sesuai
frekuensi
Larmor pada bidang transversal, maka akan terjadi
voltage.
Voltage ini
merupakan MR signal. Frekuensi dari signal adalah
sama dengan
frekuensi Larmor, besar kecilnya sinyal tergantung
pada banyaknya
magnetisasi dalam bidang transversal. Bila
masih banyak NMV, akan menimbulkan sinyal yang kuat
dan
tampak terang pada gambar, bila NMV lemah akan sedikit
menimbulkan sinyal dan akan tampak gelap pada gambar.
5) Sinyal FID
Pada saat mengalami relaksasi, NMV akan mengeluarkan
energi
dalam bentuk sinyal. Ekposi pulsa 90o RF menghasilkan
sinyal
yang dikenal dengan nama peluruhan induksi bebas ( Free
Induction
Decay = FID ), tetapi
sinyal ini sulit dicatat. Untuk
mendapatkan
sinyal echo yang memiliki energi besar dibutuhkan
lagi pulsa
180o. Sinyal echo ini yang akan ditangkap koil sebagai
data awal
proses pembentukan citra.
Pembentukan citra ini ketika energi RF diberikan pada pasien
menyebabkan obyek akan mengalami eksitasi dan sinyal
terakuisisi dalam daerah yang terlokalisasi menjadi
dua dimensi.
Metode yang digunakan tersebut dikenal dengan metode
Transformasi
Fourier 2 dimensi.
Masing-masing
sinyal yang didapatkan oleh masing-masing
elemen voxel akan terukur dalam peralatan MRI
menjadi suatu
nilai Signal
to Noise Ratio (SNR), yaitu perbandingan yang
diperoleh masing-masing elemen voxel terhadap
noise. SNR ini
akan menentukan citra yang diperoleh. SNR akan
menggambarkan besar intensitas signal yang didapat
pada
elemen voxel.
Besarnya matriks menentukan jumlah pixel atau
satuan
pembentuk citra. Ukuran matriks bertambah besar maka jumlah
pixel akan bertambah banyak tetapi ukuran pixel
bertambah kecil.
Jika ukuran
matriks bertambah besar maka resolusi spasial
meningkat
(bertambah baik), karena ukuran pixelnya menjadi lebih
kecil. Namun
hal tersebut akan mengurangi banyaknya sinyal
yang diterima
oleh setiap pixel sehingga memperoleh
perbandingan
SNR yang baik (Friedman & Barry, 1989).
6)
Relaksasi
Selama
relaksasi NMV membuang seluruh energinya yang
diserap dan kembali pada Bo. Pada saat yang sama,
tetapi tidak
tergantung moment magnetik NMV kehilangan magnetisasi
transversal yang dikarenakan dephasing. Relaksasi menghasilkan
recoveri
magnetisasi longitudinal dan decay dari magnetisasi
transversal.
a) Recoveri
dari magnetisasi longitudinal disebabkan oleh proses
yang dinamakan
T1 recoveri
b) Decay dari
magnetisasi transverse disebabkan oleh proses
yang dinamakan
T2 decay
7) T1
Recovery
Disebabkan
oleh inti-inti atom yang memberikan energinya pada
lingkungan
sekitarnya atau lattice, dan disebut spin lattice
relaksasi.
Energi yang dibebaskan pada sekeliling lattice
menyebabkan
inti-inti atom untuk recoveri ke magnetisasi
longitudinal.
Rate recoveri adalah proses eksponensial dengan
waktu yang konstan yang disebut T1. T1 adalah waktu pada saat
63%
magnetisasi longitudinal untuk recoveri.
8) T2 Decay
Disebabkan
oleh pertukaran energi inti atom dengan atom yang
lain.
Pertukaran energi ini disebabkan oleh medan
magnet dari
tiap-tiap inti
atom berinteraksi dengan inti atom lain. Seringkali di
namakan spin-spin relaksasi dan menghasilkan decay
atau
hilangnya
magnetisasi transverse. Rate decay juga merupakan
proses
eksponensial, sehingga waktu relaksasi T2 dari jaringan
soft tissue
konstan. T2 adalah waktu pada saat 63% magnetisasi
transverse menghilang.
Besarnya dan proses waktu frekuensi T1 dan T2 sangat
berpengaruh pada sinyal keluaran yang akan
ditransformasikan
sebagai kontras gambar, sebab kurva T1 akan menentukan
magnetisasi
transversal. Peluruhan T2 ( waktu relaksasi T2 )
adalah efek
yang paling berkontribusi pada gambar citra, sebab
pada proses dephase
proton akan dihasilkan suatu induksi sinyal.
Pengulangan
pulsa sekuen terjadi sebelum kurva recovery
menjadi maksimal sehingga obyek jaringan dengan T1
pendek (
cepat kembali ke kondisi kesetimbangan ) akan
mempunyai
jumlah recovery yang banyak dibandingkan dengan
jaringan yang
mempunyai waktu yang panjang, sehingga dalam citra MRI
akan
di dapatkan gambar yang hitam pada pembobotan T1 spin
echo.
Setelah pulsa RF 90o diberikan pada obyek, magnetisasi
longitudinal
akan diputar 90o ke bidang transversal dan terjadi
proses
relaksasi T2. Jaringan yang mempunyai nilai T2 pendek,
dephase yang terjadi sangat cepat sehingga
intensitas sinyal yang
dihasilkan sangat besar dan jaringan dengan waktu
relaksasi T2
pendek ini akan kelihatan hitam pada pembobotan nilai
T2. Proses
relaksasi T1 dan T2 adalah suatu kerja yang berlawanan
yaitu
pada saat proses pertumbuhan kembali magnetisasi
longitudinal
diimbangi
dengan peluruhan yang cepat pada kurva relaksasi T2.
Dua efek relaksasi T1 dan T2 terjadi ketika objek
diberikan
gelombang radio RF yang merupakan bentuk pulsa sekuen.
Pulsa sekuen dalam pencitraan MRI dibentuk untuk
mengetahui bagaimana efek T1 pada pembobotan citra T1,
efek
T2 pada pembobotan citra T2 dan pembobotan citra proton
density. Rangkaian pulsa RF dephasing phase
echo dalam
mendapatkan
citra MRI dilakukan pengulangan untuk satu
pemeriksaan.
Waktu pengulangan antara pulsa sekuen yang satu
dengan yang
berikutnya disebut dengan Time Repetition (TR),
sedangkan
waktu tengah antara pulsa 90o dan sinyal maksimum
(echo)
disebut dengan Time Echo (TE).
Parameter T1
dan T2 sebagai sifat intrinsik jaringan serta
TE dan TR sebagai parameter teknis yang digunakan akan
mengontrol derajat kehitaman pada citra MRI. Pada T2
Weighting
derajat kehitaman gambar akan dikontrol oleh TE dan
T2,
sedangkan untuk T1 Weighting derajat kehitaman akan
dikontrol
oleh TR dan T1 serta proton density weighting akan
tergantung
dari densitas proton dalam jaringan yang menentukan
besar
kecilnya
sinyal. Secara umum T1 weighting akan menunjukkan
struktur anatomi, dan T2 weighting menunjukkan
struktur patologi
(Westbrook & Kaut, 1995)
d. Pembentukan Citra (Westbrook,C, dan
Kaut,C, 1995)
Pembentukan
citra pada MRI dibentuk melalui proses
pengolahan
sinyal yang keluar dari obyek. Sinyal baru bisa diukur bila
arah vektornya
diputar dari sumbu z ( Mz ) menuju sumbu xy ( Mxy ).
Pemutaran arah vektor magnet jaringan dan pengambilan
sinyalnya
dijelaskan
melalui serangkaian proses di bawah ini.
1) Pulsa RF
( Radio Frequency )
Pulsa RF merupakan gelombang elektromagnetik yang
memiliki
frekuensi antar 30-120 MHz. Apabila spin diberikan
sejumlah
pulsa yang mempunyai frekuensi sama dengan frekuensi
Larmornya ,
maka terjadilah resonansi. Spin akan menyerap
energi pulsa
dan mengakibatkan sudut presesi semakin besar.
Peristiwa
tersebut dikenal dengan nama Nuclear Magnetic
Resonance.
2) Waktu
Relaksasi Longitudinal (T1)
Relaksasi
longitudinal disebut juga dengan relaksasi spin-kisi..
Waktu
relaksasi longitudinal menghasilkan pembobotan T1 yaitu
citra yang kontrasnya tergantung pada perbedaan T1 time.
T1
time adalah waktu yang diperlukan NMV untuk kembalinya
63%
magnetisasi longitudinal dan dikontrol oleh TR Karena
TR
mengontrol seberapa jauh vector dapat recover sebelum
diaplikasi
RF berikutnya, maka untuk mendapatkan pembobotan T1,
TR
harus dibuat pendek sehingga baik lemak maupun air
tidak cukup
waktu untuk kembali ke Bo, sehingga kontras lemak dan
air dapat
tervisualisasi dengan baik. Jika TR panjang lemak dan
air akan
cukup waktu
untuk kembali ke Bo dan recover magnetisasi
longitudinal
secara penuh sehingga tidak bisa mendemontrasikan
keduanya dalam
gambar.
3) Waktu
Relaksasi Transversal (T2)
Waktu yang dibutuhkan komponen magnetisasi transversal
(Mxy)
untuk meluruh hingga 37 % dari nilai awalnya dinamakan
waktu
relaksasi transversal atau T2. Nilai T1 dan T2 adalah
konstan
pada kuat medan magnet tertentu. Waktu relaksasi
transversal
menghasilkan pembobotan T2 yaitu citra yang kontrasnya
tergantung perbedaan T2 time. Untuk mendapatkan T2 weighting,
TE harus panjang untuk memberikan kesempatan lemak dan
air
untuk decay, sehingga kontras lemak dan air dapat tervisualisasi
dengan baik. Jika TE terlalu pendek maka baik lamak
dan air tidak
punya waktu untuk decay sehingga keduanya tidak akan
menghasilkan kontras gambar yang baik.
e. Kualitas Citra MRI (Westbrook,C,
dan Kaut,C, 1995)
1) Signal
To Noise Ratio (SNR)
SNR
adalah perbandingan antara besarnya signal amplitudo
dengan
besarnya noise dalam gambar MRI. Noise dapat
disebabkan oleh system komponen MRI dan dari pasien.
semakin
besar signal maka akan semakin meningkatkan SNR.
SNR dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu densitas
proton dari
daerah yang diperiksa, voxel volume, TR, TE, flip
angel, NEX,
receive
bandwidth dan koil.
a) Densitas
Proton.
Daerah dengan
densitas proton yang rendah menghasilkan
signal yang
rendah sehingga SNR yang dihasilkan juga
rendah. Sebaliknya
daerah dengan densitas proton yang tinggi
akan
menghasilkan sinyal yang tinggi sehingga SNR yang
dihasilkan juga tinggi.
b) Voxel Volume
Voxel volume berbanding lurus dengan SNR,
semakin besar
voxel volume maka semakin besar SNR yang
dihasilkan.
c) TR, TE, Flip Angle
Pada pulse sekuence spin echo, SNR yang
dihasilkan akan
lebih baik karena menggunakan flip angle 90
derajat sehingga
megnetisasi
longitudinal menjadi magnetisasi transversal
dibandingkan
dengan gradient echo yang flip anglenya kurang
dari 90
derajat. Flip angle berpengaruh terhadap jumlah
magnetisasi
transversal.
TR merupakan
parameter yang mengontrol jumlah
magnetisasi
longitudinal yang recoveri sebelum RF pulse
berikutnya. TR
yang panjang memungkinkan full recovery
sehingga lebih
banyak yang akan mengalami magnetisasi
transversal
pada RF pulse berikutnya. TR yang panjang akan
meningkatkan SNR dan TR yang pendek menurunkan SNR.
Gambar 3. Time
repetition (TR) (Westbrook, 1999).
Sedangkan TE
merupakan parameter yang mengontrol jumlah
magnetisasi
transvesal yang akan decay sebelum echo itu
dicatat.
Gambar 4. Time
echo (TE) (Westbrook, 1999).
d) NEX
NEX ( Number
of excitation) merupakan angka yang
menunjukkan
berapa kali data disampling.
e) Receive
bandwidth
Adalah rentang
frekuensi yang terjadi pada sampling data
pada obyek
yang di scan. Semakin kecil bandwidth maka
noise akan semakin kecil tetapi akan berpengaruh pada
TE
minimal yang dipilih.
f) Koil
Pada prinsipnya semakin dekat koil dengan organ maka
SNR
yang dihasilkan semakin tinggi.
2) Contras To Noise Ratio (CNR) (Westbrook,C,
dan Kaut,C, 1995)
Adalah perbedaan SNR antara organ yang saling
berdekatan.
CNR yang baik dapat menunjukan perbedaan daerah yang
patologis dengan daerah yang sehat. Dalam hal ini, CNR
dapat
ditingkatkan dengan cara:
a) Menggunakan kontras media
b) Menggunakan pembobotan gambar T2
c) Memilih magnetization
transfer
d)
Menghilangkan gambaran jaringan normal dengan spectral
presaturation.
3) Spatial
Resolution (Westbrook,C,
dan Kaut,C, 1995)
Adalah kemampuan untuk membedaan antara dua titik
secara
terpisah dan jelas. Spatial resolution dikontrol oleh voxel. Semakin
kecil ukuran
voxel maka resolusi akan semakin baik. Spatial
resolution
dapat ditingkatkan dengan:
a) Irisan yang
tipis
b) Matrik yang
halus atau kecil.
c) FOV kecil
d) Menggunakan
rectangular FOV bila memungkinkan
Spin Echo
FID spin
echo
900
RF pulse
frequency
encode readout
signal
gradient
1800
RF pulse
4) Scan
Time.
Scan time adalah waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan
akuisisi data.
Scan time berpengaruh terhadap kualitas gambar,
karena dengan waktu scanning yang lama akan
menyebabkan
pasien bergerak dan kualitas gambaran akan turun. Beberapa hal
yang
berpengaruh terhadap scan time adalah TR, jumlah phase
enchoding dan jumlah akuisisi (NEX).
f. Pulsa
sekuen
1) Spin
Echo
a) Pengertian Spin
Echo
Spin echo konvensional adalah sekuen yang paling
banyak
digunakan pada pemeriksaan MRI. Pada spin echo
konvensional, segera setelah pulsa RF 90 diberikan,
sebuah
FID segera terbentuk. Dengan menggunakan kekuatan
radio
frekuensi yang
sesuai, akan terjadi transfer NMV bersudut 90
kemudian
diikuti dengan rephasing pulse bersudut 180.
Gambar 5.
Urutan sekuence pada pulse sekuence spin echo
(Westbrook,
1999).
Spin echo menggunakan eksitasi pulsa 90o yang
diikuti oleh
satu atau
lebih rephasing pulsa 180o, untuk menghasilkan
spin echo.
Jika hanya menggunakan satu echo gambaran T1
Weighted Image
dapat diperoleh dengan menggunakan TR
pendek dan TE
pendek. Sedangkan untuk menghasilkan
proton density
dan T2 Weighted Image, diaplikasikan dua spin
echo dengan
dua pulsa RF 180o rephasing, echo pertama
dengan short
TE dan long TR, untuk menghasilkan proton
density, echo
kedua dengan long TR dan long TE
menghasilkan
T2. Pada spin echo raw image data dari
masing-masing
echo di simpan pada K-space dan banyaknya
pulsa 180o
rephasing yang diaplikasikan sesuai dengan
banyak echo
yang dihasilkan per TR.
b) Parameter Spin Echo dan mekanisme T1 dan T2
i. Time Echo (TE) adalah waktu antara eksitasi
pulsa dengan
echo yang terjadi.
ii. Time
Repetition (TR) adalah waktu antara masing-masing
eksitasi
pulsa.
Waktu
relaksasi T1 berkaitan kembalinya NMV ke posisi asal
sudut 90. Dengan memvariasikan TR dan TE, sekuen dapat
digunakan untuk menandai kontras T1 atau T2 atau hanya
untuk melihat spin density. Perpaduan antara TR dan TE
dengan nilai-nilai T1 dan T2 yang dimiliki oleh
jaringan inilah
yang menyebabkan terjadinya pembobotan (weighting).
Jika
digunakan TE panjang, maka perbedaan waktu T2 pada
jaringan akan menjadi tampak. Jaringan dengan T2 yang
panjang (misalnya air) akan membutuhkan waktu yang
lebih
panjang untuk meluruh (mengalami decay)
sehingga sinyalnya
akan tampak lebih terang pada citra dibandingkan
sinyal dari
jaringan dengan T2 yang pendek (lemak). Dengan cara
yang
sama, TR mengontrol kontras T1, maka jaringan dengan
T1
panjang (air) akan membutuhkan waktu yang lebih
panjang
untuk kembali ke nilai magnetisasi semula. Oleh karena
itu
dengan T1 panjang akan membuat jaringan tampak lebih
gelap dibandingkan jaringan dengan T1 pendek (lemak).
Secara ringkas, pembobotan T2 membutuhkan TE dan TR
panjang, pembobotan T1 membutuhkan TE dan TR pendek,
sedangkan pada proton density membutuhkan TE
pendek dan
TR yang
panjang
2) Pulse
sekuen Fast Spin Echo
a) Pengertian Fast
Spin Echo
Fast spin
echo adalah spin echo
tapi dengan waktu scanning
yang dipersingkat. Waktu scanning dipersingkat
dengan
melakukan lebih dari satu phase enchode per TR
yang dikenal
dengan echo Train Length yakni aplikasi
beberapa RF pulse
per TR dan pada masing-masing rephasing atau refocusing
dihasilkan satu
echo sehingga dapat melakukan phase
enchode yang lain.
b) Parameter
FSE
i. Echo
Train Length
Yaitu jumlah rephasing
pulsa atau multiple pulsa 180
dalam setiap
TR. Nilai ETL atau turbo factor yang dapat
digunakan saat ini berkisar antara 2 sampai dengan 32.
ii. Echo
Train Spacing (ETS) dan effective Time Echo (ETE)
Yaitu waktu
antara echo atau antar pulsa 180 atau waktu
interval
antara aplikasi RF 180 pada FSE. Biasanya nilai
ETS berkisar
antara 16 – 20 ms. Effective TE yaitu waktu
antara echo
dan pulsa RF yang menyebabkannya.
3) Echo
Planar Imaging ( EPI ) (Westbrook,C, dan Kaut,C, 1995)
Sekuen echo
planar imaging (EPI) melakukan pengisian K
space dalam satu repetisi dengan menggunakan TR
yang
sangat
panjang. Echo dapat dihasilkan dengan multiple pulsa
180o (disebut
dengan spin echo EPI [SE-EPI]) atau dengan
menggunakan
gradient ( disebut dengan gradient echo EPI [GEEPI]).
Jika seluruh
baris pada K space terisi dalam satu kali
repetisi maka
ini dikenal dengan nama single shot EPI (SS-EPI).
SS-EPI dapat
menghasilkan gambar jauh lebih cepat
dibandingkan SS-FSE karena penggunaan TR yang lebih
panjang atau dengan penggunaan gradient echo dibanding
pada
spin echo dan karena itu
dapat mengisi K space dalam hitungan
detik. Tetapi sekuen SS-EPI sering terjadi artefact seperti
chemical
shift, distorsi dan blurring.
Karena hal ini maka sekuen
EPI lebih
sering dilakukan dengan mode multi-shot dimana
dengan menggunakan metode ini maka seperempat atau
setengah K space diisi setiap periode TR.
EPI dan versi fast dari sekuen GRE saat ini
merupakan
mode akuisisi yang paling cepat pada MRI, sehingga
dengan
teknik ini pemeriksaan MRI real-time, dinamik
dan fungsional
MRI dapat dilakukan.
Gambar 6. Diffusion
Weighted Spin Echo – EPI (Peggy
Woodward dan
William Orrison, 1995)
4) Diffusion
Weighted Imaging (Westbrook,C,
dan Kaut,C, 1995)
Diffusi adalah
istilah yang dipergunakan untuk
menggambarkan
pergerakan molekul secara acak pada jaringan.
Gerakan ini
dibatasi oleh batas-batas seperti ligamen, membran
dan macromolecul. Kadangkala terjadinya pembatasan
difusi
adalah secara langsung tergantung pada struktur
jaringan. Pada
stroke dini
segera setelah terjadinya iskemia tapi sebelum
terjadinya infark atau kerusakan permanen pada
jaringan otak,
sel-sel membengkak dan menyerap air dari ruang
extraseluler.
Ketika sel-sel penuh oleh molekul air dan dibatasi
oleh membran,
maka diffusi yang terjadi akan terbatas dan nilai
rata-rata difusi
pada jaringan tersebut akan berkurang.
Gambar 7. Jaringan dengan cairan yang berdifusi
normal ( gambar kiri ), dan jaringan yang
diffusinya terbatas ( gambar kanan )
(Westbrook, 1999).
Imejing dengan sekuen spin echo dapat
memperlihatkan
struktur dengan tanda-tanda diffusi pada jaringan.
Gambaran
diffusi dapat diperoleh dengan lebih efektif dengan
mengkombinasikan dua pulsa gradient yang
diapplikasikan
setelah eksitasi. Pulsa gradient digunakan untuk
saling
mempengaruhi jika spin-spin tidak bergerak sementara
spin-spin
yang bergerak tidak dipengaruhi. Ini sebabnya mengapa
pada
gambaran diffusi sinyal yang mengalami atenuasi
terjadi pada
jaringan normal dengan pergerakan difusi yang random,
dan
sinyal yang intensitasnya tinggi terjadi pada jaringan
dengan difusi
yang terbatas ( restriksi ) misalnya pada stroke dini.
Banyaknya atenuasi tergantung pada amplitudo dan
(mungkin) arah dari aplikasi gradien difusi.
Pulsa gradient dapat diaplikasikan searah dengan sumbu
X,Y, dan Z. Arah difusi pada sumbu X,Y, dan Z
dikombinasikan
untuk
menghasilkan gambaran difusi weighted. Ketika gradien
difusi hanya
diaplikasikan sepanjang sumbu Y , atau pada arah
sumbu X,
perubahan sinyal yang terjadi hanya sedikit dan
mungkin hanya
merefleksikan arah difusi pada axons. Istilah
isotropic
diffusion dipakai untuk
menggambarkan bahwa gradien
difusi diaplikasikan
pada ketiga sumbu tersebut. Gradien difusi
harus sangat
panjang dan sangat kuat untuk dapat memperoleh
citra dengan
pembobotan difusi (diffusion weighting). Sensitivitas
difusi
dikontrol oleh parameter ’b’. ’b’ menentukan atenuasi difusi
dengan
memodifikasi durasi dan amplitudo dari gradien difusi. ’b’
dapat
dinyatakan dalam satuan s/mm2. Rentang nilai ‘b’ value
adalah 500
s/mm2 sampai 1000 s/mm2 (Catherine Westbrook &
Carolyn
Kaut,1999).
Semakin tinggi
nilai ‘b’ value maka intensitas sinyal difusi
dan sensitifitas difusi akan meningkat, intensitas
sinyal difusi yang
meningkat pada jaringan otak normal akan tampak lebih
gelap
pada citra
otak yang ditampilkan (GE Signa Horizon DW-EPI
Operator
Manual, 1998). Penilaian intensitas sinyal difusi pada
jaringan otak
normal dinilai pada white matter dan grey matter dan
jika terdapat
kelainan stroke maka jaringan otak yang difusinya
terbatas akan menghasilkan intensitas sinyal yang
terlihat terang
dibandingkan jaringan yang normal (GE Signa Horizon
DW-EPI
Operator Manual, 1998).
Untuk pencitraan difusi jika menggunakan sekuen multishot
maka perubahan phase akan berbeda untuk garis-garis
yang
berbeda pada K space dan hal ini akan menghasilkan
artefak
yang terlihat
sepanjang phase direction. Karena alasan ini maka
citra MRI
dengan pembobotan difusi pada umumnya diperoleh
dengan teknik SE-EPI yang dilakukan dengan gradient
yang kuat.
Echo tambahan yang dikenal sebagai navigator echo
dapat
dihasilkan dan kemudian digunakan untuk mengkoreksi
artefak
selama post processing.
Aplikasi klinis pencitraan difusi secara langsung
adalah
untuk mendiagnosa stroke. Lesi-lesi iskemik yang masih
dini
dapat diperlihatkan dengan pencitraan MRI difusi
sebagai daerah
dengan diffusi
air yang lebih lambat akibat akumulasi air
intraseluler
dan/atau akibat pengurangan ruang extra seluler.
Pencitraan MR
difusi dapat memperlihatkan lesi-lesi iskemik baik
yang irreversible
maupun yang reversible, sehingga potensial
dapat membedakan jaringan otak yang masih dapat
diperbaiki
dengan jaringan yang mengalami kerusakan irreversible
sebelum
dilakukan
tindakan therapy.
Gambar 8.
Beberapa citra Diffusion Weighted Image (DWI)
(Westbrook,
1999).
Terima kasih infonya. Agak complicated juga utk dimengerti, tp sangat bermanfaat
ReplyDeleteMakasih beh.
ReplyDeleteGood banget
Cpet sembuh dan makin sehat beh
makasih babeh
ReplyDeletecepet sembuh dan sehat terus ya beh
It's hard to understand but it's really usefull
ReplyDelete